Opini  

Jalan Panjang dan Jejak Kebaikan

(Catatan atas Peletakan Batu Pertama Masjid Al-Magfirah Tabanoma)

Oleh: Ichan Lutfie
____________

ANGIN pagi berembus lembut di halaman lapang itu. Di bawah langit biru yang mulai merekah, suara nada dan do’a terdengar lirih namun bergetar. Di tanah yang baru diratakan itu, seonggok batu ditempatkan dengan khidmat di sudut pondasi pertama — bukan sekadar batu, tetapi simbol harapan, ikhtiar, dan doa yang menebal di dada setiap orang yang hadir pagi itu.

Awal dari Sebuah Niat

Tak ada bangunan besar yang lahir tanpa mimpi kecil. Dan mimpi itu bermula dari obrolan sederhana di serambi rumah salah satu tokoh perempuan di kampung, yang di pelopori beberapa bulan lalu. Warga berbincang tentang kebutuhan tempat ibadah yang lebih layak. Masjid lama yang telah menua kini tak mampu lagi menampung jamaah, terutama dan secara fisik bangunannya sudah harus perbaiki. Dari percakapan hangat itu lahir gagasan membangun masjid baru.

Niat itu segera menjelma menjadi gerakan. Warga bergotong royong, bukan hanya dengan tenaga, tetapi juga dengan doa dan apa pun yang mereka punya. Ada yang menyumbang bahan bangunan, ada yang menyiapkan konsumsi untuk para pekerja, ada pula yang datang hanya untuk mengulurkan tangan membantu mengangkat batu — semua menjadi bagian dari cerita panjang ini.

Peletakan Batu Pertama: Menyemai Harapan

Hari peletakan batu pertama menjadi momentum penting. Dari anak-anak hingga orang tua, semua datang dengan wajah berseri. Di tengah hamparan tanah yang masih basah oleh embun, spanduk bertuliskan peletakan batu pertama masjid Al-Magfirah desa Tabanoma, terbentang sederhana namun penuh makna. “Mengingatkan bahwa membangun masjid di setiap langkah menuju masjid adalah langkah menuju surga,” ujar Dr. H. Kasman Hi. Ahmad, S.Ag., M.Pd, Wakil Bupati Halmahera Utara saat memberikan tausiah.

Bangunan fisik ini akan berdiri kokoh, tapi yang paling penting adalah membangun keikhlasan di hati. “Karena masjid bukan sekadar tembok dan kubah — ia adalah simbol cinta umat kepada Tuhannya,” ungkap KH. Sarbin Sehe, S.Ag., M.PdI, Wakil Gubernur Malut.

Doa pun mengalir, tangan-tangan menengadah, dan batu pertama diletakkan. Momentum itu menandai bukan hanya dimulainya pembangunan fisik, tetapi juga lahirnya kembali semangat kebersamaan di tengah masyarakat. Di antara suara lantunan doa, banyak yang meneteskan terharu — bukan karena sedih, tapi karena haru menyaksikan bahwa kebaikan masih hidup di tengah masyarakat.

Jalan Panjang Menuju Rumah Allah

Pembangunan masjid tentu bukan perkara sehari dua hari. Ia adalah perjalanan panjang — jalan yang mungkin berliku, kadang lambat, kadang penuh ujian. Namun justru di situlah letak keindahannya. Di setiap lapisan bata yang tersusun, ada kisah pengorbanan; di setiap tiang yang tegak, ada doa yang menahan lelah.

Bagi warga, ini menjadi ladang pahala yang nyata. Setiap hari, selepas bekerja di kebun, mereka meluangkan waktu membantu sekadar mengangkut bahan bangunan. Di sela-sela istirahat, terdengar tawa kecil dan gurauan ringan, tanda bahwa kerja keras bisa tetap dibungkus dengan kebahagiaan.

Tak jarang, pembangunan membutuhkan dana. Tapi setiap berikhtiar itu muncul, selalu ada tangan-tangan dermawan yang datang tanpa diminta. Kadang dari warga sekitar, perantau yang mendengar kabar tentang masjid ini turut menanam saham akhirat. “Masjid ini sudah tidak layak dan harus dibangun baru, soal pembiayaan kita jalan bersama,” ungkap Ucan—Ruslan Rizal, Sang Penggerak Pembangunan Masjid Al-Magfirah, kepada penulis saat perjalanan melintasi Jazirah Halmahera. Kebaikan itu seperti air, ia selalu menemukan jalannya sendiri.

Jejak Kebaikan yang Tak Terhapus

Masjid Al-Magfirah baru mulai dibangun, tapi jejak kebaikan sudah lebih dulu terpahat. Lewat — para tetua kampong. Anak-anak belajar arti berbagi, para remaja mengenal pentingnya gotong royong, dan orang-orang tua tersenyum melihat semangat itu tumbuh. Pembangunan ini bukan hanya menghadirkan sebuah bangunan, tapi juga membangunkan kembali nilai-nilai yang tertidur.

Setiap kali azan berkumandang di Musollah sementara, gema takbir seolah menggema lebih luas — membawa kabar bahwa rumah baru sedang dipersiapkan untuk menyambut para jamaah. Suara itu menenangkan, seolah menjadi jaminan bahwa setiap usaha tidak akan sia-sia di mata Allah.

“Masjid ini bukan hanya untuk kami yang hidup hari ini,” ujar Sesepuh Ir. H. Amran Mustary, MM dengan mata berbinar. Ia untuk anak cucu kita, agar mereka tahu bahwa iman tidak boleh berhenti dibicarakan, tapi harus diwujudkan.

Sebuah Catatan Penutup

Peletakan batu pertama Masjid Al-Magfirah hanyalah awal. Iya— awal dari perjalanan panjang. Di balik setiap butir pasir, tersimpan harapan agar tempat ini kelak menjadi pusat peradaban yang menyinari sekitar.

Ketika kelak masjid ini berdiri megah, mungkin banyak yang akan lupa siapa yang pertama kali memikul semen, memasak, yang menyumbang satu karung pasir, atau siapa yang pertama kali mengangkat batu. Tapi Allah tidak akan lupa. Setiap niat baik, sekecil apa pun, akan tetap dicatat sebagai amal yang terus mengalir.

Masjid Al-Magfirah bukan sekadar bangunan di atas tanah. Ia adalah jejak panjang kebaikan yang ditinggalkan oleh
generasi para tetua terdahulu, orang-orang yang paling indah; berbuat tanpa pamrih. (*)