Oleh: Jesly Potoboda
________________
PERKEMBANGAN teknologi, khususnya AI, telah memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. AI memungkinkan otomatisasi dalam pembelajaran, analisis data siswa secara real-time, dan penyediaan materi belajar yang cepat. Transformasi ini berdampak besar pada peran guru dan pengalaman belajar siswa. Guru kini tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, karena AI mampu mengambil alih beberapa fungsi pedagogis tradisional, seperti evaluasi dan distribusi konten. Perubahan ini dapat menimbulkan krisis nilai, di mana tujuan pendidikan berpotensi bergeser dari pembentukan karakter dan moral menjadi fokus pada efisiensi dan hasil kuantitatif.
Untuk memahami fenomena ini secara komprehensif, perlu ditinjau dari tiga perspektif filosofis: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Kajian ontologis menelaah hakikat keberadaan AI dan dampaknya terhadap realitas pendidikan. Kajian epistemologis menyoroti bagaimana pengetahuan dibangun, divalidasi, dan diaplikasikan melalui interaksi manusia-teknologi. Kajian aksiologis membahas nilai, moral, dan implikasi pendidikan, termasuk tanggung jawab guru, peneliti, dan institusi pendidikan. Tulisan ini bertujuan memberikan analisis mendalam mengenai AI dalam pendidikan sekaligus menegaskan pentingnya kesadaran etika profesi guru di era digital.
AI dalam pendidikan menciptakan realitas baru yang kompleks, di mana interaksi manusia-teknologi menjadi bagian inti proses pembelajaran. Kehadiran AI menggeser peran guru dari satu-satunya sumber pengetahuan menjadi fasilitator yang membantu siswa mengakses, memahami, dan menilai informasi dari teknologi. Ontologi pendidikan menegaskan bahwa AI bukan sekadar alat netral, tetapi entitas yang memengaruhi persepsi tentang pengetahuan yang sahih dan kompetensi yang bermakna.
AI mampu memproses data belajar siswa, memprediksi kebutuhan pembelajaran, dan menyajikan materi secara cepat. Namun, hal ini memunculkan pertanyaan filosofis: apakah tujuan pendidikan tetap membentuk manusia secara utuh atau hanya mentransfer informasi? Fenomena ini menciptakan pembelajaran hibrid, di mana interaksi manusia, teknologi, dan konten berlangsung secara simultan. Dalam konteks ini, guru tetap memiliki peran strategis sebagai pembimbing moral dan mediator nilai-nilai kemanusiaan, peran yang tidak dapat digantikan oleh teknologi.
Dari perspektif epistemologi, AI mengubah cara pengetahuan dibangun dan divalidasi dalam pendidikan. AI mampu menghasilkan informasi dan analisis data dengan cepat, namun tidak selalu bebas dari kesalahan atau bias. Guru memiliki peran penting sebagai penyaring epistemik, mengevaluasi kebenaran, relevansi, dan aspek etis dari informasi yang dihasilkan AI. Pengetahuan kini terbentuk melalui interaksi reflektif antara manusia dan mesin, bukan sekadar aliran satu arah dari guru ke siswa.
Literasi AI menjadi krusial bagi guru dan siswa agar memahami keterbatasan algoritma, mengenali bias data, dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Teori konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan terbentuk melalui pengalaman aktif dan interaksi sosial, termasuk interaksi dengan teknologi. Sedangkan pragmatisme Dewey menekankan pembelajaran berbasis pengalaman dan refleksi, sehingga pengetahuan dapat diterapkan secara bermakna dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, epistemologi pendidikan berbasis AI menuntut keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan pengembangan kemampuan reflektif, moral, dan kritis siswa.
Kajian aksiologis menyoroti nilai, tujuan, dan moral dalam konteks AI di pendidikan. AI dapat mengalihkan fokus pendidikan dari pembentukan karakter menjadi orientasi pada efisiensi dan capaian kuantitatif. Maka dari itu, integritas akademik, keadilan, dan humanisme harus menjadi prinsip utama. Guru memiliki tanggung jawab membimbing siswa dalam menggunakan AI secara etis, menanamkan empati, toleransi, dan kesadaran sosial.
Institusi pendidikan perlu membuat kebijakan yang menjamin penggunaan AI adil dan inklusif, serta mencegah kesenjangan digital. Ilmuwan dan pengembang teknologi bertanggung jawab merancang AI yang mendukung nilai pendidikan, bukan menggantikan peran guru sebagai pembimbing moral. Dengan demikian, implementasi AI harus berfokus pada pemberdayaan manusia, memperkuat kompetensi etis, dan membentuk karakter siswa yang beradab.
AI dalam pendidikan membawa perubahan fundamental pada realitas, konstruksi pengetahuan, dan nilai-nilai pendidikan. Dari sisi ontologi, AI mengubah peran guru dan pola interaksi pembelajaran. Epistemologinya menekankan literasi AI dan evaluasi kritis terhadap informasi. Kajian aksiologis menegaskan tanggung jawab moral guru, lembaga, dan ilmuwan untuk menegakkan integritas, humanisme, dan keadilan. Dengan demikian, AI seharusnya memperkuat, bukan menggantikan, peran guru dalam membentuk karakter dan kompetensi moral peserta didik. Kesadaran etika profesi guru menjadi kunci agar pendidikan tetap berorientasi pada nilai kemanusiaan di era digital. (*)








