TERNATE, NUANSA – Sekretaris Provinsi (Sekprov) Maluku Utara, Samsuddin Abdul Kadir, mewakili Gubernur Sherly Tjoanda Laos membuka dengan resmi kegiatan Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Masyarakat Sipil Maluku Utara 2025, yang berlangsung di Lantai 3 Hotel Emerald Ternate, Rabu (3/12).
Dalam sambutannya, Samsuddin menekankan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup di Maluku Utara.
“Kita harus berupaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan bahwa keanekaragaman hayati kita tetap lestari,” ujarnya.
Samsuddin juga menekankan bahwa Pemprov Maluku Utara berkomitmen untuk mendukung upaya-upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
“Kami ingin masyarakat Maluku Utara sejahtera dan memiliki akses yang adil terhadap sumber daya alam,” katanya.
Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Masyarakat Sipil Maluku Utara 2025 ini dihadiri oleh berbagai stakeholder, termasuk pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen bersama dalam menjaga keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup di Maluku Utara.
“Dengan konvensi ini, kami berharap dapat memperkuat kerja sama dan komitmen untuk menjaga keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup di Maluku Utara,” ujar Samsuddin.
Ia juga menyatakan bahwa keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup di Maluku Utara merupakan aset yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik.
“Kita harus menjaga keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup kita untuk generasi yang akan datang,” katanya.
Sebelumnya, Dian Agista, Direktur Eksekutif Burung, sebagai penyelenggara kegiatan, mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara, khususnya Gubernur Sherly dan jajaran sekretariat daerah, atas dukungan dan kerja samanya dalam penyelenggaraan konvensi ini. Juga, terima kasih kepada para narasumber, akademisi, LSM, serta seluruh peserta yang telah mendedikasikan waktu dan energi untuk hadir dalam konvensi ini.
“Maluku Utara, dengan letak strategisnya di kawasan Wallacea, merupakan harta karun keanekaragaman hayati dunia. Terumbu karang yang mempesona, hutan hujan tropis yang masih hijau, serta spesies endemik yang tak ditemukan di tempat lain, semuanya menuntut perhatian dan tindakan nyata dari kita semua,” ujarnya.
“Sebagai lembaga yang bergerak di bidang konservasi burung, kami menyadari bahwa keberadaan spesies‑spesies endemik tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan masyarakat setempat,” sambungnya.
Oleh karena itu, pihaknya berkomitmen untuk:
1. Mendukung penelitian dan pemantauan keanekaragaman hayati melalui kerja sama dengan universitas dan lembaga riset di Maluku Utara.
2. Mempromosikan edukasi lingkungan kepada generasi muda, agar mereka tumbuh menjadi generasi yang sadar akan pentingnya melestarikan alam.
3. Menyuarakan aspirasi masyarakat sipil dalam setiap proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.
Dian menjelaskan, konvensi ini merupakan platform penting bagi semua untuk menyusun roadmap kolaboratif yang dapat diimplementasikan secara nyata.
“Kami berharap, melalui dialog yang konstruktif hari ini, dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan yang inklusif, berbasis ilmu pengetahuan, dan menghormati kearifan lokal,” ujarnya.
“Akhir kata, mari kita jadikan pertemuan ini sebagai titik tolak bagi aksi nyata yang berkelanjutan. Semoga kehadiran kita di sini dapat menjadi langkah awal bagi terwujudnya Maluku Utara yang hijau, lestari, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Asisten II Sekretariat Daerah Maluku Utara, Sri Haryanti Hatari, yang mewakili sekprov sebagai keynote speaker, menekankan posisi strategis Maluku Utara di kawasan Wallacea yang kaya akan keanekaragaman hayati.
“Kepulauan kita bukan hanya menyimpan terumbu karang, hutan hujan tropis, dan spesies endemik, tetapi juga menjadi kunci bagi keseimbangan ekosistem global,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa visi pembangunan provinsi “Menjaga Keberagaman, Merealisasikan Pembangunan yang Adil, Berkelanjutan, dan Berkeadilan,” diwujudkan melalui enam misi utama, termasuk pengembangan ekonomi berbasis sektor primer, hilirisasi industri, dan pelestarian lingkungan.
“Keberagaman hayati harus menjadi inti setiap kebijakan, sehingga pembangunan tidak mengorbankan alam dan hak‑hak masyarakat,” tambahnya.
Sri Haryanti juga menyoroti beberapa tantangan utama, yakni tekanan industri pada hutan, belum meratanya pengakuan wilayah adat, serta belum terintegrasinya nilai ekologis dalam kebijakan sektoral.
“Koordinasi lintas lembaga, sinergi, dan kolaborasi adalah kunci. Tanpa komunikasi yang baik, upaya kita akan terpecah‑pecah dan tidak efektif,” tegasnya.
Ia juga mengajak semua pemangku kepentingan, pemerintah daerah, akademisi, LSM, dan masyarakat adat, untuk bersama‑sama menyusun roadmap yang inklusif dan berbasis ilmu pengetahuan.
“Kita harus bekerja dengan hati, bukan hanya dengan program. Hanya dengan kolaborasi yang kuat kita dapat menjaga warisan alam Maluku Utara untuk generasi mendatang,” tutupnya.
Konvensi ini merupakan platform penting bagi penyusunan rekomendasi kebijakan yang akan dibawa ke tingkat provinsi, serta memperkuat jaringan antar‑stakeholder dalam rangka mencapai target konservasi nasional dan internasional. (tan)
