Opini  

Pancasila dan Peran Strategis Kampus dalam Membangun Karakter Bangsa

Oleh: Aulia Amatullah Asrif La Jamulia

____________________

DI tengah arus globalisasi dan derasnya pengaruh budaya luar, perguruan tinggi memegang peran strategis sebagai benteng nilai-nilai kebangsaan. Pancasila seharusnya menjadi landasan utama dalam membentuk generasi muda yang berkarakter dan cinta tanah air. Namun, pertanyaannya: sudahkah Pancasila benar-benar diimplementasikan secara nyata di lingkungan kampus?

Pancasila bukan sekadar hafalan lima sila yang diulang saat upacara. Ia adalah pedoman hidup bangsa yang semestinya tercermin dalam sikap, kebijakan, dan budaya kampus sehari-hari. Sayangnya, tidak sedikit mahasiswa yang apatis terhadap isu kebangsaan, menganggap Pancasila sebagai formalitas, dan lebih terpengaruh tren luar negeri tanpa menyaringnya melalui nilai-nilai luhur bangsa.

Idealnya, kampus sebagai pusat pendidikan tinggi harus menjadi contoh nyata penerapan nilai-nilai Pancasila. Ia harus menjunjung tinggi toleransi antaragama dan suku, membudayakan dialog demokratis, serta menjadi lahan tumbuhnya keadilan, empati sosial, dan semangat kebangsaan. Dalam semangat Pancasila, kampus tidak hanya mencetak lulusan cerdas secara akademis, tetapi juga pribadi bermoral, peduli sesama, dan siap mengabdi kepada bangsa.

Namun, realitanya belum semua kampus menjadi lahan subur bagi nilai-nilai tersebut. Masih dijumpai praktik diskriminatif, terbatasnya ruang dialog lintas identitas, budaya individualistik, dan organisasi mahasiswa yang kehilangan arah serta terjebak dalam pragmatisme politik. Pancasila seringkali hanya hadir dalam pidato seremonial, tanpa mewujud dalam kebijakan dan budaya kampus. Di sinilah tantangannya: menjadikan kampus sebagai ruang hidup Pancasila yang nyata, bukan sekadar simbolis.

Menjadikan Pancasila sebagai napas kehidupan kampus tidak hanya sebuah kewajiban moral, tetapi juga amanat hukum dan ilmiah. Pasal 3 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa pendidikan tinggi bertujuan membentuk manusia berkepribadian dan berkarakter kebangsaan. Sementara Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003 mewajibkan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi sebagai sarana internalisasi Pancasila. Secara teoritis, Notonagoro (1975) menegaskan bahwa Pancasila merupakan dasar filsafat negara yang harus menjadi pedoman dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Pancasila bukan hanya sumber nilai, tetapi juga kerangka pembentuk karakter individu dan arah pembangunan nasional.

Penerapan nilai-nilai Pancasila di lingkungan kampus sebaiknya dimulai dari aspek-aspek sederhana namun fundamental. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat diwujudkan melalui sikap saling menghargai antarumat beragama dan ruang dialog antar-iman. Sila Kedua dan Ketiga, tentang Kemanusiaan dan Persatuan, seharusnya tercermin dalam budaya kampus yang inklusif, bebas diskriminasi, dan menghargai keragaman.

Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, idealnya hidup dalam proses pemilihan organisasi mahasiswa, forum diskusi, dan pengambilan keputusan bersama.

Sedangkan Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menuntut adanya kepekaan sosial: apakah kampus memberi ruang bagi mahasiswa dari kelompok rentan? Apakah program kampus menyentuh kebutuhan masyarakat luas?

Organisasi kemahasiswaan menjadi wadah strategis untuk menanamkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila secara konkret. Melalui organisasi, mahasiswa tak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktikkan musyawarah, keadilan, gotong royong, dan penghargaan terhadap perbedaan inti dari nilai-nilai Pancasila. Dalam pengambilan keputusan, budaya deliberatif mencerminkan Sila Keempat. Organisasi juga melatih empati dan semangat pengabdian, sejalan dengan Sila Kedua dan Kelima. Mahasiswa yang aktif dalam organisasi berlandaskan semangat Pancasila akan tumbuh menjadi pemimpin yang berintegritas, toleran, dan berpihak pada keadilan sosial. Organisasi, dengan demikian, bukan sekadar tempat “sibuk-sibuk”, melainkan ruang pembentukan karakter bangsa.

Untuk membentuk generasi berkarakter, Pancasila harus diintegrasikan secara utuh dalam sistem pendidikan kampus. Bukan hanya sebagai mata kuliah Pendidikan Pancasila yang teoritis, tetapi juga melalui budaya organisasi, kegiatan mahasiswa, hingga sikap dan keteladanan dosen. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus dibina agar tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak secara moral dan sosial.

Kampus adalah miniatur Indonesia. Jika Pancasila benar-benar hidup dan mengakar di lingkungan kampus, maka harapan lahirnya generasi yang cerdas, berkarakter, dan nasionalis bukan sekadar utopia, melainkan kenyataan yang bisa diwujudkan. (*)