Opini  

Dari Gane untuk Wallacea Menegaskan Hak atas Referendum Kebudayaan

Oleh: Rizky Ramli

Ketua Umum HMI Komisariat Ilmu Budaya

_____________

TULISAN ini lahir dari keprihatinan atas cara pemerintah provinsi dan kabupaten memandang wilayah seperti Gane sebagai ruang tak bertuan, Padahal Gane bukan wilayah kosong. Ia adalah pusat pengetahuan ekologis, simpul sejarah, dan jantung kebudayaan Wallacea yang hidup. Tetapi dalam mata perencana di Pemerintah Provinsi Maluku Utara, Gane seperti tidak cukup menjanjikan (tak punya tambang dan tak punya investor besar).

Dalam situasi seperti inilah penting untuk menegaskan kembali hak masyarakat lokal dalam menentukan arah hidupnya. Tulisan ini menawarkan bukan hanya kritik, tetapi juga jalan keluar melalui referendum kebudayaan sebuah mekanisme politik dan kultural untuk memastikan bahwa suara masyarakat tidak selalu dikalahkan oleh peta investasi.

Gane, Simpul Historis Jalur Maritim Wallacea

Secara geografis, Gane adalah semenanjung yang menjorok ke Laut Seram dan Teluk Bacan, menjadi simpul penting dalam sejarah maritim kawasan Wallacea. Alfred Russel Wallace mungkin tidak singgah di Gane, namun wilayah ini menyimpan denyut utama dari logika Wallacea (kehidupan yang tumbuh di tengah perlintasan, pertemuan, dan keberagaman).

Sejak abad ke-16, Gane telah memainkan peran strategis dalam jaringan pelayaran rempah antara Seram, Bacan, Obi, dan Ternate. Jalur ini tidak hanya berfungsi sebagai lintasan dagang, tetapi juga jaringan kekuasaan Kesultanan Bacan dan Ternate.

Adnan Amal (2016) menulis “Gane dan wilayah pesisir lainnya menjadi simpul penting yang tidak hanya menghubungkan pulau-pulau besar, tetapi juga memastikan kelangsungan jaringan maritim kerajaan-kerajaan lokal seperti Bacan dan Ternate.” (Amal, 2016, hlm. 87)

Namun dalam dokumen perencanaan Pemprov Maluku Utara atau RPJMD Halmahera Selatan, jejak sejarah ini nyaris tak berarti. Gane tak masuk kategori kawasan strategis provinsi. Ia tak dilirik sebagai zona pertumbuhan. Seolah-olah, karena ia tidak menyumbang royalti tambang atau tak punya jalur ekspor industri, maka ia boleh diabaikan. Padahal, seperti ditunjukkan oleh kajian Asnawi Rachman (2018) dan Farid Muharam (2021), Gane Dalam dan Gane Luar, Saketa, dan Wosi adalah kampung maritim dengan struktur sosial yang kompleks berbasis marga (soan) yang berfungsi dalam menjaga kelestarian alam (hutan dan laut). Jika pemerintah daerah serius ingin membangun dari akar, Gane justru bisa menjadi model, bukan catatan kaki.

Bahkan dalam tradisi lisan masyarakat Gane, tersimpan kisah-kisah tentang pelayaran nenek moyang mereka ke Bacan dan Seram, baik untuk berdagang, menjalin pernikahan politik, maupun menyebarkan ajaran Islam. Struktur sosial lokal yang berbasis marga (soan) dan sistem pengelolaan ruang laut yang bertingkat menjadi bukti bahwa wilayah ini bukan sekadar “desa pesisir”, melainkan bagian dari arsitektur sosial-ekologis kerajaan-kerajaan maritim Maluku.

Maka secara historis dan kultural, Gane adalah wilayah strategis yang menopang denyut ekonomi dan identitas Wallacea. Ia bukan ruang kosong, tapi ruang yang sengaja disenyapkan dari peta pembangunan modern.

Arkeolog dan sejarawan lokal meyakini bahwa pelabuhan-pelabuhan kecil di pesisir Gane seperti di Gane Dalam dan Gane Luar menyimpan potensi bukti arkeologis interaksi kuno. Belum banyak yang dieksplorasi, tetapi bekas-bekas jalur air, struktur pemukiman tua, dan artefak lokal menunjukkan bahwa wilayah ini punya sejarah mobilitas tinggi.

Gane Hari Ini, Antara Otonomi dan Ketimpangan Pembangunan

Gane hari ini hidup di antara dua kutub, otonomi sosial yang kuat, dan ketimpangan kebijakan yang terus diperpanjang oleh kelambanan pemerintah provinsi dan kabupaten. Secara sosial, masyarakat Gane masih memiliki daya tahan yang tinggi. Mereka mengelola kebun, menjaga laut, merawat soan. Namun secara struktural, mereka terus dikalahkan oleh logika perencanaan yang terlalu elitis dan berbasis ekstraksi.

Ambil contoh konkret dari data Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara sejak tahun 2019, tercatat bahwa lebih dari 3.000 hektare kawasan hutan di wilayah Gane telah dilepaskan dari status kawasan lindung untuk dialihfungsikan menjadi lahan konsesi perusahaan perkebunan sawit. Proses ini berlangsung melalui mekanisme pelepasan kawasan yang secara legal memang dimungkinkan, namun secara prosedural mengandung persoalan serius tidak adanya forum konsultasi publik yang layak, serta minimnya pelibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

Dalam banyak kasus, masyarakat Gane mengetahui perubahan status lahan mereka setelah alat berat masuk ke wilayah kebun, bukan dari proses dialog formal. Hal ini melanggar prinsip FPIC yang secara normatif dijamin dalam hukum lingkungan nasional dan internasional, khususnya untuk masyarakat adat dan lokal yang terdampak langsung oleh investasi skala besar.

Sementara pemerintah kabupaten tampak aktif dalam memfasilitasi kebutuhan administratif dan teknis para investor dari perizinan, rekomendasi tata ruang, hingga penyediaan akses jalan tuntutan masyarakat Gane untuk konsultasi terbuka, pengakuan hak ulayat, dan kompensasi yang adil justru diabaikan. Ketimpangan ini tidak hanya menunjukkan bias kebijakan daerah terhadap orientasi investasi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana proses pembangunan dijalankan secara sepihak dan tidak inklusif.

Dampaknya sudah mulai terasa secara ekologis dan ekonomi. Di Gane Barat dan Gane Timur, sejumlah sungai yang sebelumnya menjadi sumber air bersih masyarakat kini mulai menunjukkan tanda-tanda pencemaran. Lumpur dan limbah dari pembukaan lahan menyebabkan pendangkalan dan keruhnya aliran sungai. Sementara itu, tanah-tanah ulayat yang seharusnya dilindungi melalui struktur adat, kini dijual murah oleh individu atau perantara tanpa persetujuan kolektif komunitas. Proses komodifikasi tanah ini turut merusak relasi sosial dan solidaritas marga dalam masyarakat Gane.

Secara ekonomi, hasil-hasil pangan lokal seperti kelapa dan sagu menunjukkan tren penurunan baik dari segi kuantitas maupun nilai tukar. Perubahan lanskap ekologis telah memengaruhi produktivitas kebun rakyat, sekaligus menimbulkan ketergantungan baru terhadap komoditas yang tidak berakar pada sistem produksi tradisional. Di saat yang sama, keuntungan dari aktivitas perkebunan skala besar tidak kembali kepada masyarakat lokal, melainkan terpusat pada korporasi dan elite administratif yang mengelola perizinan.

kesenjangan yang dialami masyarakat Gane tidak hanya bersifat fisik atau spasial, tetapi juga mencerminkan ketimpangan fiskal dalam struktur anggaran daerah. Salah satu indikator paling krusial adalah alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) komponen anggaran yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam seperti hutan, kebun, dan hasil bumi lainnya. DBH seharusnya menjadi instrumen korektif yang digunakan untuk mendukung pembangunan di wilayah terdampak, terutama dalam memperkuat infrastruktur dasar, layanan publik, dan pemulihan ekologi. Sayangnya, hal tersebut belum terjadi di Gane.

Berdasarkan dokumen APBD Halmahera Selatan Tahun Anggaran 2024, tercatat bahwa meskipun DBH dari sektor kehutanan dan perkebunan mencapai puluhan miliar rupiah, alokasinya justru lebih terkonsentrasi ke wilayah-wilayah administratif pusat dan kawasan dengan nilai fiskal tinggi, sementara Gane Raya (Gane Timur, Gane Dalam, dan Gane Barat) menerima porsi yang sangat kecil dan tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan maupun dampak ekologis yang ditanggung masyarakat.

Alokasi dana dari hasil tersebut tidak kembali ke wilayah Gane dalam bentuk anggaran afirmatif. Sebagian besar belanja infrastruktur dan layanan publik berbasis DBH justru terserap di wilayah-wilayah administratif yang tidak secara langsung terdampak oleh konversi lahan maupun degradasi lingkungan.

Kondisi ini memperlihatkan adanya distorsi dalam logika distribusi fiskal, di mana indikator kedekatan geografis dengan pusat pemerintahan dan nilai ekonomi jangka pendek lebih diutamakan dibanding prinsip keadilan spasial dan ekologis. Akibatnya, Gane menjadi wilayah yang memberi kontribusi ekologi, tetapi tidak mendapatkan distribusi anggaran yang proporsional untuk mendukung kualitas hidup warganya.

Ketimpangan ini bukan sekadar perbedaan angka, tetapi berimplikasi nyata terhadap akses masyarakat terhadap hak dasar seperti jalan yang rusak memperlambat distribusi hasil kebun, minimnya tenaga medis menghambat pelayanan kesehatan, dan rendahnya anggaran pendidikan menghambat regenerasi sosial. Ini semua adalah konsekuensi dari tidak hadirnya logika keberpihakan dalam perencanaan anggaran daerah.

Dalam konteks inilah, penting untuk menempatkan referendum kebudayaan sebagai mekanisme korektif, bukan hanya terhadap pola pembangunan berbasis ekstraksi, tetapi juga terhadap sistem fiskal yang selama ini bias terhadap pusat. Referendum kebudayaan harus dimaknai pula sebagai klaim masyarakat atas hak anggaran, hak pembangunan, dan hak atas kompensasi ekologis yang adil. Ini adalah ketimpangan yang bukan karena kurangnya potensi, melainkan karena politik perencanaan yang bias terhadap ekstraksi.

Referendum Kebudayaan, Hak Menentukan Arah Pembangunan

Dalam diskursus pembangunan yang selama ini didominasi oleh pendekatan teknokratik dan kebijakan makro, suara masyarakat lokal kerap dianggap pelengkap belaka. Padahal, dalam konteks daerah seperti Gane, justru nilai-nilai budaya lokal dan struktur sosial masyarakatlah yang seharusnya menjadi fondasi arah pembangunan. Dari sinilah gagasan referendum kebudayaan lahir sebagai satu bentuk pengakuan terhadap hak komunitas lokal untuk menentukan bagaimana mereka ingin hidup, bertani, membangun, dan berkembang sesuai cara mereka sendiri.

Secara umum, referendum kebudayaan dapat dipahami sebagai mekanisme kolektif yang dijalankan oleh masyarakat adat atau lokal dalam mengambil keputusan strategis mengenai masa depan wilayahnya. Mekanisme ini tidak berlangsung melalui pemungutan suara elektoral seperti dalam sistem politik negara, melainkan melalui musyawarah yang bersandar pada norma adat, struktur kekerabatan, dan nilai-nilai lokal yang telah hidup secara turun-temurun. Artinya, referendum kebudayaan adalah instrumen partisipatif yang berfungsi mengartikulasikan posisi komunitas terhadap kebijakan pembangunan yang datang dari luar.

Dalam tradisi ilmu sosial, terutama dalam kajian antropologi politik, konsep ini berakar dari gagasan bahwa masyarakat bukan hanya objek pembangunan, tetapi subjek dengan otoritas kultural yang sah. Hal ini sejalan pula dengan prinsip FPIC dalam hukum internasional, yang menekankan bahwa proyek pembangunan di wilayah masyarakat adat harus terlebih dahulu dikonsultasikan secara bebas, tanpa tekanan, dan berdasarkan pemahaman penuh oleh masyarakat yang bersangkutan.

Dengan kata lain, referendum kebudayaan adalah bentuk FPIC yang dijalankan secara lokal dan kontekstual. Di Gane, misalnya, masyarakat dapat menyelenggarakan musyawarah kampung untuk membahas rencana masuknya investasi perkebunan atau tambang, lalu menyatakan secara terbuka apakah mereka menerima atau menolak proyek tersebut. Keputusan itu kemudian diformalkan menjadi rekomendasi komunitas yang diajukan ke pemerintah daerah.

Namun agar tidak berhenti pada level aspirasi, mekanisme ini perlu memiliki landasan hukum. Oleh karena itu, referendum kebudayaan juga mendorong terbitnya peraturan daerah (Perda) atau Peraturan Bupati yang mengakui hak masyarakat untuk menyatakan sikap kolektif atas setiap bentuk pembangunan yang menyangkut ruang hidup mereka. Beberapa daerah di Indonesia telah menunjukkan preseden. Di Aceh, keberadaan Majelis Adat Aceh yang dilembagakan melalui qanun memberikan contoh bahwa otoritas budaya dapat difungsikan sebagai penyeimbang negara. Sementara di Papua, sejumlah kabupaten seperti Tambrauw dan Jayapura telah mengesahkan Perda yang mengakui hak masyarakat adat untuk menolak proyek pembangunan yang bertentangan dengan kepentingan ekologis dan budaya lokal.

Dengan begitu, referendum kebudayaan tidak hanya menjadi mekanisme moral, tetapi juga instrumen hukum dan politik yang melindungi masyarakat dari tekanan eksternal yang mengancam keberlanjutan hidup mereka. Di dalamnya terkandung tiga fungsi utama. Pertama, sebagai bentuk kontrol sosial terhadap kebijakan pembangunan yang bias ekonomi. Kedua, sebagai sarana penguatan identitas dan solidaritas komunitas, dan ketiga, sebagai instrumen partisipasi demokratis yang berbasis nilai lokal.

Dalam konteks Gane dan kawasan Wallacea lainnya, referendum kebudayaan memberi ruang bagi masyarakat untuk tidak sekadar beradaptasi terhadap arah pembangunan nasional, tetapi turut menentukan arahnya. Dengan demikian, pembangunan tidak lagi dipahami sebagai proyek fisik semata, melainkan sebagai proses sosial yang menghormati identitas, hak, dan struktur kehidupan masyarakat lokal.

Kondisi ini menuntut pendekatan baru, bukan hanya pembangunan top-down, tetapi pengakuan terhadap hak masyarakat lokal untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Di sinilah konsep referendum kebudayaan menjadi penting sebagai mekanisme politik dan moral untuk melindungi wilayah dari kebijakan yang tidak berpihak.

Referendum kebudayaan di Gane bukanlah bentuk pemisahan administratif, tapi cara masyarakat berkata Bahwa mereka lebih tahu apa yang terbaik bagi tanah dan laut mereka.

Referendum kebudayaan dapat dijalankan melalui pendekatan bottom-up yang dimulai dari forum masyarakat lokal, dilembagakan melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah, dan didukung oleh kerangka hukum nasional yang mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Model ini tidak hanya memungkinkan masyarakat Gane untuk mempertahankan cara hidupnya, tetapi juga menjadi contoh penerapan prinsip keadilan ekologis dan keberlanjutan sosial-budaya dalam konteks otonomi daerah.

Rekomendasi Kebijakan untuk Pemerintah Provinsi dan Kabupaten

Agar referendum kebudayaan tidak berhenti sebagai wacana, maka perlu kebijakan nyata. Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dapat:

1. Menetapkan Gane sebagai Kawasan Ekoregion Prioritas

Revisi RTRW dan RPJMD agar Gane dilindungi sebagai kawasan penting secara ekologis dan budaya, bukan sekadar ruang hampa investasi.

2. Mengesahkan Perda Perlindungan Wilayah Non-Ekstraktif

Berikan kepastian hukum bahwa wilayah seperti Gane memiliki hak untuk memilih pembangunan agroekologi, konservasi, dan ekonomi rakyat, bukan hanya tambang dan sawit.

3. Membentuk Majelis Budaya Gane

Libatkan tokoh adat, perempuan, nelayan, dan pemuda dalam proses perencanaan pembangunan lokal. Jangan hanya undang mereka saat pencitraan seremonial.

4. Integrasikan Kurikulum Budaya Lokal dalam Pendidikan Dasar

Bahasa, pengetahuan ekologi lokal, dan sejarah Gane harus masuk ke sekolah-sekolah di wilayah ini. Pembangunan tanpa penguatan identitas hanya akan menciptakan keterasingan.

Terakhir, Gane bukan wilayah tertinggal. Yang tertinggal adalah cara pemerintah melihat Gane. Mereka hanya melihat angka PAD dan izin tambang, tapi gagal melihat kebun yang lestari, laut yang bersih, dan masyarakat yang mampu bertahan tanpa subsidi.

Jika pemerintah provinsi dan kabupaten serius ingin membangun dari pinggiran, maka belajarlah dari Gane. Dan jika pembangunan hanya berpihak pada pemilik konsesi, maka Gane akan terus menjadi suara yang diredam dalam peta kekuasaan. (*)