Opini  

Peningkatan ISPA di Halmahera Tengah Akibat Hilirisasi Nikel

Oleh: Julia Buamona
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

______________

DI balik geliat industri tambang dan hilirisasi nikel di Halmahera Tengah, tersembunyi luka yang terus menganga. Luka itu bernama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yang tiap tahun tidak pernah absen menghantui masyarakat lingkar tambang. Sejak kawasan ini menjadi wilayah konsesi pertambangan, khususnya bagi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), angka penderita ISPA melonjak tajam. Data dari Mongabay.co.id mencatat: tahun 2022 ada 1.100 kasus, naik drastis pada 2023 menjadi 3.344 kasus, dan pada 2024 tercatat 2.137 kasus. Ini bukan angka statistik semata ini nyawa manusia.

Aktivitas hilirisasi nikel bukan sekadar cerita pembangunan dan investasi. di balik asap pembakaran batu bara dan suara bising mesin tambang, ada kehidupan yang perlahan terampas. ISPA hanya satu dari sekian banyak dampak ekologis dan sosial yang ada. Banjir, pencemaran udara, rusaknya kualitas air laut dan sungai, semua itu menjelma menjadi beban harian masyarakat Weda Tengah dan sekitarnya. Tidak hanya lingkungan yang sakit, manusia pun ikut mengeluh dan menggigil di balik dinding rumah sederhana mereka.

Puskesmas Lelilef mencatat fakta yang mencengangkan: di tahun 2020, terdapat 434 kasus ISPA. Tapi pada 2023, angka itu melesat tajam menjadi lebih dari 10.579 masalah. Sebuah lonjakan yang mengkhawatirkan. Banyak pihak meyakini, keliru satu penyebab utamanya artinya emisi dari Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU) yang digunakan pada proses industri di kawasan tambang. Udara yang dulu bersih dan segar, kini penuh menggunakan partikel halus yang tidak kasat mata, namun mampu menyelinap masuk ke paru-paru anak-anak dan orang tua di desa-desa lingkar tambang.

Di desa-desa seperti Weda Tengah dan Weda Utara, masyarakat mulai merasakan bahwa keberadaan tambang membawa lebih banyak luka daripada berkah. Dulu, mereka menggantungkan hidup dari laut dan kebun. kini, mereka hidup berdampingan dengan debu, polusi, dan suara mesin yang tak pernah berhenti. Para ibu mulai cemas tiap anaknya batuk-batuk di malam hari. Para ayah apakah tanah dan air yang dulu menjadi sumber penghidupan, kini berubah menjadi sumber penyakit?

Ini bukan sekadar soal ISPA. Ini tentang tanggung jawab moral serta humanisme. Perusahaan tambang tidak bisa terus menutup mata. Hilirisasi nikel wajib disertai dengan perlindungan terhadap kesehatan dan lingkungan. Pemerintah juga tidak bisa tinggal diam. Data serta kabar sudah kentara: warga sakit, lingkungan rusak. Maka perlu ada langkah nyata dan tegas agar industri ini tidak menjadi mesin pembunuh yang berjalan pada atas penderitaan rakyat kecil.

Rakyat lingkar tambang bukan angka di laporan CSR. Mereka merupakan manusia yang berhak atas udara higienis, air sehat, serta kehidupan yang layak. Sudah saatnya perusahaan bertanggung jawab penuh atas dampak aktivitasnya. Tidak relatif hanya menanam pohon seremonial atau memberikan masker. Dibutuhkan pengawasan yang ketat, pemulihan lingkungan, dan proteksi kesehatan yang menyeluruh.

ISPA yang meningkat tiap tahun ialah peringatan. Peringatan bahwa pembangunan tanpa etika, hanya akan sebagai kutukan bagi generasi hari ini serta esok. Hilirisasi nikel tidak boleh jadi alasan buat membiarkan masyarakat terengah-engah di bawah langit yang tidak lagi biru. (*)