Opini  

Pendidikan di Maluku Utara: Jalan Menuju Pembebasan dari Dogmatisme

Oleh: Muhammad Wahyudin

Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate

_________________________

PENDIDIKAN yang membebaskan dari belenggu dogmatis adalah bentuk pendidikan yang tidak lagi menempatkan peserta didik sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri. Di tengah dunia yang terus berkembang, sistem pendidikan yang kaku, otoriter, dan berbasis hafalan tak lagi relevan dengan semangat zaman. Pendidikan yang membebaskan sejatinya adalah pendidikan yang mengedepankan dialog, refleksi, dan aksi nyata dalam menciptakan kesadaran kritis peserta didik. Dalam konteks Maluku Utara, pendidikan yang demikian sangat dibutuhkan untuk mendorong kemajuan wilayah dan pembentukan generasi yang visioner, kreatif, dan berdaya saing.

Dalam pandangan Paulo Freire, seorang pendidik asal Brasil, pendidikan tidak boleh dipahami sebagai proses transfer pengetahuan semata. Freire menyebut sistem pendidikan lama sebagai sistem ‘bank’, di mana guru menjadi deposan yang menabungkan informasi ke dalam benak siswa, yang diibaratkan sebagai bejana kosong. Pendidikan model ini tidak memberdayakan, melainkan membelenggu. Freire menawarkan pendekatan yang disebut sebagai ‘pedagogi pembebasan’, di mana proses belajar adalah proses kesadaran. Dalam hal ini, pendidikan harus bersifat dialogis, membangun kesadaran kritis, dan mendorong peserta didik untuk mengenali realitas sosialnya dan terlibat aktif dalam perubahan sosial.

Di Maluku Utara, tantangan pendidikan tidak hanya terletak pada aspek teknis seperti infrastruktur, tetapi juga pada kultur pendidikan yang masih dogmatis. Banyak siswa masih dipaksa untuk mengikuti aturan-aturan kaku, menerima informasi tanpa boleh mempertanyakannya, dan tunduk pada otoritas tanpa kritik. Ini menciptakan suasana belajar yang pasif dan mematikan kreativitas. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi ruang subur untuk tumbuhnya pemikiran bebas dan inovatif. Pendidikan yang membebaskan harus membuka ruang bagi murid untuk mempertanyakan, berdialog, dan berpartisipasi aktif dalam proses belajar.

Pemikiran Soekarno tentang pendidikan juga memperkuat argumen bahwa pendidikan dogmatis adalah bentuk pembodohan. Soekarno menolak pendidikan yang hanya menghasilkan ‘tukang-tukang’, yakni individu yang hanya bisa menjalankan perintah tanpa bisa berpikir mandiri. Pendidikan yang sejati adalah yang membentuk manusia Indonesia yang berkebudayaan, memiliki daya cipta, rasa, dan karsa. Menurutnya, murid harus diberi ruang untuk mengembangkan potensinya, membangun kepribadian yang bebas, dan berani menghadapi tantangan zaman. Dalam konteks Maluku Utara, gagasan ini menegaskan pentingnya transformasi sistem pendidikan agar lebih membumi dan berpihak pada peserta didik.

Murtadha Muthahhari menyoroti kecenderungan pendidikan tradisional yang hanya berorientasi pada pengulangan pengetahuan tanpa pengembangan pemikiran kritis. Menurutnya, guru sering kali hanya mewariskan metode yang sama dari generasi ke generasi, tanpa adanya penyegaran dalam pendekatan atau refleksi terhadap kebutuhan zaman. Muthahhari mengingatkan bahwa pendidikan seperti itu melahirkan manusia yang tidak mampu membaca realitas secara jernih, apalagi mengubahnya. Bagi Muthahhari, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, menghidupkan kesadaran moral dan spiritual, serta mendorong keberanian untuk melawan ketidakadilan dan kezaliman.

Realitas pendidikan di Maluku Utara masih jauh dari cita-cita pendidikan dan pembebasan. Banyak peserta didik merasa tertekan oleh sistem yang serba normatif dan minim dialog. Guru-guru, alih-alih menjadi fasilitator pembelajaran, justru kerap menjadi penjaga ortodoksi pengetahuan. Ini terlihat dalam kecenderungan guru membatasi siswa dalam berpikir kritis dengan alasan normatif, keagamaan, atau tradisi tertentu. Ketika ide atau gagasan dari peserta didik dianggap menyimpang hanya karena berbeda, maka di situlah pembodohan sistemik sedang berlangsung. Membatasi ruang berpikir adalah bentuk kekerasan epistemik yang menghambat lahirnya kebebasan intelektual.

Penulis pun merasakan kegelisahan terhadap sistem pendidikan yang masih sarat kekuasaan simbolik. Ada masa di mana keinginan untuk berhenti studi muncul karena tidak ada ruang untuk menyuarakan gagasan secara jujur dan terbuka. Namun, pemahaman akan pendidikan sebagai jalan perlawanan membuat penulis sadar bahwa justru di sanalah letak pentingnya pendidikan kritis. Melalui pendidikan, kita bisa membebaskan diri dari ketidaktahuan, membangun keberanian untuk berpikir dan bertindak, serta melawan segala bentuk ketertindasan, baik yang bersifat fisik maupun struktural. Pendidikan adalah alat pembebasan, bukan alat penjinakan.

Refleksi Paulo Freire bahwa pendidikan harus menjembatani subjektivitas dan objektivitas sangat tepat. Manusia harus menyadari kondisinya secara subjektif, namun juga mampu melihat dunia secara objektif. Dalam praktiknya, refleksi harus diikuti oleh tindakan nyata (praktis). Itulah esensi pendidikan pembebasan. Di Maluku Utara, proses pendidikan harus bergerak ke arah ini: memberdayakan peserta didik, bukan hanya mencetak lulusan. Pendidikan yang membebaskan akan mampu melahirkan generasi pemikir, bukan sekadar pengikut.

Maka dari itu, model pendidikan yang membebaskan bukanlah model pendidikan yang lepas dari nilai, tetapi pendidikan yang menempatkan nilai sebagai proses dialog, bukan dogma. Guru dan peserta didik menjadi partner dalam pencarian makna dan kebenaran, bukan relasi satu arah antara pemberi dan penerima. Ketika pendidikan menjadi ruang yang terbuka untuk semua gagasan, selama masih dalam bingkai ilmiah dan rasional, maka di situlah pendidikan telah menjelma sebagai alat perubahan sosial.

Penutup dari refleksi ini adalah ajakan untuk semua pemangku kepentingan pendidikan di Maluku Utara agar melakukan transformasi serius dalam sistem pendidikan. Pendidikan tidak boleh lagi menjadi alat pelestarian ketimpangan atau dominasi. Pendidikan harus menjadi alat pembebas, pembangun kesadaran, dan pencetak peradaban. Dengan semangat Freire, Soekarno, dan Muthahhari, pendidikan di Maluku Utara harus bangkit dari dogma dan membebaskan manusia menuju kemerdekaan sejati dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. (*)