Oleh: Yusniyati La Bungi, S.H
______________
“Nyatanya, jurusan hukum itu membuatku belajar banyak hal tentang kisah pilu orang-orang”.
Aku seorang mahasiswa hukum yang baru saja menyandang gelar S.H di salah satu kampus Islam di Kota Ternate. Saat menjadi mahasiswa, banyak sekali buku-buku hukum yang aku baca, banyak sekali nash-nash peraturan dan pasal yang aku analisa. Aku pikir sangat cukup untuk bekal setelah memasuki life after graduation. Pikirku cemas, bagaimana mempertanggungjawabkan gelar baru yang terpampang di belakang namaku. Apakah aku akan menjadi sampah masyarakat dengan ekpektasi begitu banyak oleh orang-orang sekitar. Aku tak pernah berpikir untuk menjadi yang terbaik saat lulus kuliah, sebab hal yang selalu aku pikirkan adalah “salah satu syukurku berada di sini. Bukan semata karena peluang tetapi jalanku untuk mempertanggung jawabkan makna pulang”.
Dan hari dimana aku mendapatkan gelar itu. Pikirku cemas, tidak hanya air mata yang deras, gejolak naluri terhempas membuyar. Bagaimana agar ilmu yang telah aku emban ini bermanfaat untuk orang banyak. Aku hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat dengan basis ilmu yang telah aku telaah.
Beberapa bulan berlalu, akhirnya aku dipanggil untuk bergabung di salah satu Yayasan Bantuan Hukum di Maluku Utara dengan penempatan di Kantor Pengadilan Agama sebagai Pos Bantuan Hukum. Pekerjaanku sangatlah sederhana, membantu membuat gugatan cerai atau nash-nash permohonan lainnya. Cukup mudah bukan? Dengan cepat aku beradaptasi bagaimana belajar dan memaksimalkan pelajaran yang telah aku dapatkan di kampus. Waktu berlalu begitu cepat, masa di situ terus saja berjalan. Masa kontrak pun selalu diperpanjang karena kinerja pekerjaan yang aku maksimalkan.
Namun nyatanya, bukan hanya itu poin yang bisa aku ambil dalam perjalananku meniti karir dalam dunia praktisi. Satu persatu orang datang dengan membawa cerita rapuh, luka yang masih segar, lebam yang curam, sakitnya duri yang tertancap, dan perasaan gundah yang mengantarkan para klienku untuk mau bertemu dan memutuskan untuk tetap melanjutkan keputusan mereka.
Masalah hukum keluarga ternyata sangatlah kompleks. Aku bukan lagi belajar tentang pasal-pasal dan peraturan yang berlaku. Tetapi lebih dalam dari itu. Perkara cerai, perkara waris, perkara wali, dan semua perkara yang telah aku bantu untuk membuat dokumennya, menyembunyikan banyak air mata saat berhadapan dengan para klien. Terlalu lama luka itu terpendam, defisit cinta dalam keluarga yang harusnya terpenuhi, malah dinodai lusuh oleh orang-orang terdekat. Trauma lintas generasi menjadi ajang yang tak pernah putus. Bahkan untuk anak, untuk istri, dan untuk suami.
Akhirnya aku tertegun dan merenung kembali masa-masa saat duduk di bangku universitas. Dengan tegas dan lugas dosenku mengatakan: “Jadi anak hukum, sekali-kali bacalah novel. Jangan monoton membaca buku-buku hukum”. Saat itu aku pikir bahwa “untuk apa harus membaca novel?” dan terjawablah sudah pertanyaan itu di meja kerja saat menjadi praktisi. Bahwa kita tidak bisa hanya dengan mengandalkan peraturan-peraturan yang telah dilegalkan oleh negara. Di sana, ada perasaan yang bisa terselip yang harus tetap berjalan selaras dengan peraturan yang ada.
Belajar hukum bagiku bukan lagi tentang peran atau kode etik menjadi hakim, pengacara, atau bahkan jaksa. Belajar hukum membuatku tahu agar tidak melangkah dengan gegabah saat memilih pasangan hidup. Tidak dengan semena-mena berperilaku kepada orang lain. Dan harus lebih banyak belajar. Entah itu tentang peraturan atau pun pernikahan. (*)