Hukum  

Kesultanan Tidore: Penggunaan Senjata Tajam dalam Aksi Tidak Dibenarkan

Sidang lanjutan 11 warga Maba Sangaji

TIDORE, NUANSA – Sidang lanjutan perkara dugaan menghalangi pertambangan dengan terdakwa 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, kembali digelar di Pengadilan Negeri Soasio Tidore, Rabu (10/9).

Sidang dengan agenda pembuktian saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) itu menghadirkan empat saksi, salah satunya adalah saksi dari pihak Kesultanan Tidore, Amin Faroek, yang juga Jojau atau Perdana Menteri Kesultanan Tidore.

Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, saksi Amin Faroek menyatakan tidak mengenal para terdakwa. Terkait dengan aksi kekerasan dengan membawa nama adat dan membawa senjata tajam, Amin menjelaskan bahwa dalam melakukan ritual adat, tidak memakai senjata kecuali dari keamanan atau dapat disebut kapitan dari adat.

Mengenai senjata tajam yang digunakan untuk masuk ke area perhutanan, pertanian dan dapat juga digunakan sebagai bela diri serta digunakan juga sebagai alat dapur. Dalam menyuarakan aksi dengan adanya itikad baik untuk kebaikan hutan diperbolehkan, akan tetapi yang disesali adalah aksi unjuk rasa dengan membawa senjata tajam.

Amin mendukung tuntutan untuk hak-hak para terdakwa, namun dari pihak kesultanan menyayangkan para terdakwa membawa senjata tajam seperti tombak dan panah wayar. Sehingga dari senjata tajam tersebut sangat disesali oleh pihak kesultanan.

Ia mengungkapkan, Qimalaha diumpamakan seperti kepala lurah yang bekerja seperti kedutaan adat yang berada di bawah naungan adat dan aturan Kesultanan Tidore. Amin menyebut Qimalaha tidak berhak memegang senjata dalam ritual adat, yang berhak memegang senjata tajam adalah kompeni atau para kapitan-kapitan.

Soal aksi unjuk rasa atau penyampaian aspirasi, menurutnya bukan bagian dari ritual adat yang berlaku di Kesultanan Tidore, khususnya di Sangaji Maba.

Amin juga menjelaskan pemasangan panji yang bisa disebut bendera adat harus mendapatkan restu atau izin dari Kesultanan Tidore, karena Maba Sangaji merupakan daerah otonom dari Kesultanan TIdore. Selain itu, yang berhak untuk menyimpan bendera adat hanya ketua adat Maba Sangaji. Bendera tersebut dipakai dalam acara yang khusus serta izin dari ketua adat Maba Sangaji.

“Terkait aksi yang dilakukan pada tanggal 16 sampai 18 Mei itu tidak diketahui oleh Kesultanan Tidore,” katanya.

Dalam sidang tersebut, saksi Amin juga menjelaskan mengenai jenis-jenis tanah adat. Diantaranya tanah Aha Kolano, yang berarti tanah milik kesultanan. Tanah Hale eto se daerah adalah tanah jelajah, di mana tanah tersebut telah dijelajahi oleh perangkat-perangkat adat yang berada di wilayah masing-masing.

Tanah Hale Co Catu adalah tanah yang diberikan oleh sultan kepada tokoh masyarakat yang memiliki jasa besar sebagai penghargaan. Tanah Hale Joram adalah tanah yang diberikan sultan untuk perkebunan/pertanian kepada masyarakat. Tanah Hale Gubu adalah pekerangan yang diberikan sultan untuk membangun rumah. Tanah Halifuru merupakan tanah bebas merupakan hutan atau tanah yang dilindungi negara.

Bahwa tanah tersebut diakui pihak kesultanan, tapi tidak serta merta merupakan tanah dari suatu adat dalam hal ini sebatas klan atau marga Qimalaha Maba Sangaji. Bahwa tata cara ritual adat dikembalikan ke wilayah masing-masing yang pada khususnya dikembalikan kepada adat Maba Sangaji, akan tetapi harus sepengetahuan kesultanan.

Tanah adat dikelola oleh masyarakat adat secara turun-temurun, tidak serta merta diberikan kepada orang asing. Tanah dapat dijual apabila terdapat perihal yang mendesak dengan catatan harus melalui musyawarah. Dalam tata cara ritual adat, bisa dilakukan di tempat khusus sesuai dengan situasi dan kondisi yang mendukung. Ritual adat yang dilakukan harus dengan restu Kesultanan Tidore.

Sementara itu, para terdakwa keberatan atas keterangan saksi di persidangan. Para terdakwa menyebutkan bahwa tindakan yang dilakukan tidak ada kesewenang-wenangan, yang di mana mereka tidak membawa parang pada saat prosesi ritual adat, serta yang mengetahui kondisi dari tanah adat mereka sendiri yaitu para kapitan-kapitan, karena adat Maba Sangaji yang mempunyai wilayah kelola. (ska)