Oleh: Mardania Gazali
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Khairun
———
AKHIR Oktober lalu, Mahkamah Konstitusi mengetuk palu sebuah perkara, yang bagi saya, pantas mendapat tepuk tangan. Putusan MK nomor 169/PUU-XXII/2024 memutuskan bahwa minimal 30 persen perempuan harus berada dalam jajaran pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD).
Permohonan yang diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia, Perludem, Kalyanamitra dan Titi Anggraini ini, mengingatkan saya pada satu kenyataan yang sering luput dari sorotan publik.
Memang benar, perempuan sudah hadir di parlemen, jumlahnya meningkat dari masa ke masa. Pada periode 2024-2029 misalnya, DPR RI mencatat perempuan menempati 127 dari 580 kursi atau sekitar 21,9% dari total anggota parlemen (DPR RI, 2024). Angka ini bisa dibilang capaian historis karena menjadi representasi perempuan tertinggi sepanjang sejarah pemilu kita.
Saat ini pucuk pimpinan lembaga legislatif dipegang oleh seorang perempuan. Namun fakta itu tidak serta merta menandakan kesetaraan telah mengakar di tubuh parlemen. Kehadiran satu atau dua figur perempuan di posisi tertinggi sering kali dijadikan bukti simbolik keberhasilan representasi, padahal secara struktural, pola distribusi kekuasaan masih belum berubah banyak.
Kehadiran perempuan di parlemen tidak selalu berbanding lurus dengan posisi strategis yang mereka tempati. Di beberapa komisi tertentu, keterlibatan perempuan cukup terlihat, namun di ruang-ruang pengambilan keputusan strategis, keberadaan perempuan sering kali jauh lebih sedikit. Bukan tidak ada, tapi tidak cukup untuk menggeser dinamika ruang yang sejak lama dipersepsikan sebagai domain yang maskulin. Diistilahkan oleh Titi Anggraini, terdapat praktik “domestikasi politik” (Kompas, 1/9/2025).
Putusan ini adalah langkah koreksi atas pola representasi perempuan yang selama ini berjalan setengah hati. Prinsip affirmative action yang diterapkan pada syarat pencalonan legislatif, sudah selayaknya juga diberlakukan di ruang-ruang where power actually circulates.
Bias Representasi
Kita tahu bahwa sistem pemilu mewajibkan partai politik memenuhi 30 persen kuota perempuan dalam daftar calon. Namun begitu perempuan berhasil menembus parlemen, tidak ada jaminan bahwa perempuan akan didorong menuju meja-meja strategis dimana arah negara dibicarakan. Sebab, tidak ada aturan yang mengikat tentang keterwakilan perempuan dalam struktur institusional parlemen. Prinsip kesetaraan gender itu, meminjam istilah MK, mandek di hulu, tak mengalir sampai ke hilir muara kekuasaan.
Di sinilah struktur internal parlemen memainkan peran. Penempatan anggota dalam AKD sepenuhnya berada di tangan fraksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DRD dan DPRD (red: UU MD3).
Dalam praktiknya, keputusan itu sangat politis, dan tidak jarang juga pragmatis. Fraksi tentu mempertimbangkan kekuatan negosiasi, kesetiaan politik, dan hal lain yang mungkin tidak kita tahu. Di tengah semua itu, perempuan masih sering ditempatkan di posisi yang aman, tapi tidak terlalu menentukan.
Banyak peneliti menyebut fenomena ini sebagai glass ceiling – istilah yang diperkenalkan oleh Marilyn Loden pada tahun 1978, atau beberapa yang lain menyebutnya glass walls. Yaitu hambatan tembus pandang yang membuat seseorang tetap berada di “ruang aman”, namun tidak dapat melangkah ke ruang yang lebih strategis. Metafora ini digambarkan dalam segregasi pekerjaan perempuan, dan relevansinya terasa kuat dalam tubuh parlemen Indonesia hari ini.
Jika kita lihat data, tidak sulit menemukan polanya. Perempuan lebih banyak duduk di bidang sosial, kesehatan, pendidikan, atau ketenagakerjaan, sementara itu AKD yang membidangi isu strategis, seperti anggaran, hukum, pertahanan, dan reformasi regulasi tetap didominasi laki-laki. Bukan karena perempuan tidak mampu, tapi karena struktur penempatan internal tidak memberi peluang yang cukup.
AKD dalam DPR RI periode 2024-2029 terdiri dari 13 komisi, 7 badan, dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), masing-masing dipimpin oleh 1 Ketua serta 4 Wakil Ketua. Dari 105 jumlah total posisi pimpinan AKD, hanya 23 yang diduduki oleh perempuan.
Implikasi Putusan MK 169/2024
Pertama, dampak putusan ini akan terasa dalam tubuh parlemen ketika pemerintah dan DPR menindaklanjutinya dalam perubahan regulasi. Sebab, Mahkamah Konstitusi pada prinsipnya adalah negative legislator, dapat membatalkan norma, namun tidak dapat membuat norma baru secara penuh. Putusan MK akan memberi pengaruh substantif ketika DPR mengindahkan untuk mengubah desain internalnya dan memastikan kuota perempuan 30% itu hidup dalam aturan dan praktik penempatan AKD.
Kedua, putusan ini menggeser cara kita memaknai kuota perempuan. Selama dua dekade, kuota hanya hadir di tahapan pencalonan (kuota elektoral). MK sekarang mendorong lahirnya kuota institusional. Ini tentu pergeseran paradigma yang besar.
Ketiga, putusan ini menjadi momentum pembuktian komitmen partai politik terhadap representasi perempuan. Partai akan diuji apakah benar-benar membuka ruang kekuasaan di AKD bagi perempuan, atau justru menjadikan kuota sebagai formalitas belaka. Di titik ini, merit system juga dipertaruhkan. Apakah fraksi berani menata ulang kriteria penempatan berbasis kapasitas, bukan sekadar loyalitas.
Demokrasi tanpa representasi setara bukanlah demokrasi yang utuh. Apabila ruang-ruang strategis tetap didominasi wajah dan suara yang homogen, maka janji demokrasi akan timpang.
Disinilah Putusan MK 169/2024 mengambil perannya sebagai koreksi struktural parlemen. Putusan ini membuat kita mengakui bahwa demokrasi tidak cukup berhenti pada siapa yang duduk di parlemen, tetapi siapa juga yang benar-benar dapat menggerakkan tuas keputusan.
Apabila DPR dan partai politik mampu menjadikan putusan ini sebagai momentum, bukan beban, maka bisa membuka pintu bagi praktik politik yang lebih adil, yaitu politik yang tidak hanya mengundang perempuan masuk, tapi juga memberi ruang setara untuk berperan. Bila tidak, maka kita akan kembali pada pola lama, dimana representasi tumbuh di atas kertas, namun layu di dalam struktur. (*)








