Opini  

Keberantakan Sosial di Era Komunikasi Digital

Samsir Munir.

Oleh: Samsir Munir

Mahasiswa Teknik Pertambangan UMMU

 

Dahulu, dalam masyarakat pra-digital, Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon logon echon (makhluk pemakai bahasa). Keserasian kala itu, pembicara hadir secara ragawiah bagi pendengar.

Di era digital, kedua di antaranya menjadi telepresent (hadir jarak jauh). Dalam konteks ini, manusia sebagai pengguna gawai hanyalah komponen dari sistem media komunikasi, padahal ia sendiri adalah media komunikasi, yaitu makhluk yang berfungsi sebagai media sekaligus dikendalikan oleh media.

Istilah digital berasal dari kata latin  digitalis  yang artinya jari. Jadi homo digitalis bisa diartikan manusia jari yang kerap memastikan keberadaan dirinya dengan ‘klik’.

Meski tidak atau belum terjadi perubahan secara biologis, misal berkurangnya jari akibat gawai. Dugaan F. Budi Hardiman tentang peralihan digital-evolusioner dari homo sapiens ke homo digitalis ini tentu beralasan. Serupa yang kita saksikan sekarang ponsel pintar telah menjadi ekstensi kapasitas pikiran kita. Homo digitalis bukan lagi suatu I Think, melainkan I Browse (berpikir lewat internet). Siapa aku makin identik dengan aku online, sementara aku offline semakin merosot ke belakang, dan pada akhirnya diktum aku berpikir tertukar menjadi aku klik. I Browse-pun terus mengerucutkan pikiran kita pada jari; ‘Aku Klik Maka Aku Ada’.

Informations and Communications Tecnologies (ICT) telah mengubah subjek modern menjadi pemain global yang terperangkap dalam jejaring komunikatif. Masyarakat bagi homo digitalis tidak lagi terdiri atas orang-orang sebagai pengendali komunikasi, justru kembali dikendalikan. Zaman pra-modernis di sebut Hardiman masyarakat itu satu; masyarakat korporeal yang terdiri atas orang-orang. Pada era digital tampaknya terdapat masyarakat tambahan, seperti grup WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram dan seterusnya. Kehadiran manusia terpecah kedalam dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat korporeal (di dunia nyata) dan masyarakat digital (di dunia maya).

Revolusi digital mengubah lanskap politis kontemporer. Diskusi akademis dahulu yang hanya kita dengar di kampus, kini telah menjadi isi percakapan di grup whatsApp, Facebook dll. Tidak ada lagi menara gading dan informasi cerdas terbuka bagi semua kalangan. Masyarakat tanpa kelas yang di bayangkan pengagum Marxis dan para sosialis, di mana tembok-tembok pemisah antarkelas di bongkar dan hierarki sosial di pangkas rata agar tidak ada lagi pembatas komunikasi antar-sosial masyarakat. Tampaknya, revolusi digital mendekatkan kita pada utopia semacam itu, namun semua itu akan tinggal utopis.

Selama hoaks masih mewabah dan kebenaran terus di tindas oleh demagogi paska kebenaran, sejalan dengan itu juga sosialisme digital akan menjadi lebih jauh dari isi impian Marxis yang masih melibatkan tubuh dalam revolusi proletar. Daya dorong zaman dari mesin di era kapitalisme industrial yang hanya mengganti otot manusia, kini di era surveillanse captalism mengganti otak manusia, sehingga perilaku dan emosi pengguna gawai di arahkan oleh percikan-percikan pesan yang di produksi oleh mesin digital. Kebebasan komunikatif menjelma menjadi kebebasan membenci, menghina dan mengancam. Bahkan lebih parahnya lagi, pesan-pesan provokatif disalurkan tanpa alasan karena tidak di timbang terebih dahulu.

Komunikasi digital menjadi dunia tersendiri bagi homo digitalis, ketika modernisme dan liberalisme seolah mencapai kebebasan individu sebagai target, individu itu pun menjadi tidak penting, seperti yang di sebut Yuval Noah Harari: “manusia akan kehilangan nilai mereka sepenuhnya. manusia masih akan berharga secara kolektif, tetapi akan kehilangan otoritas individual mereka, dan akan diatur oleh algoritma-algoritma eksternal”

Para pengguna gawai ketika revolusi digital, farasa haus kebenaran menjadi kurang tepat. Yang lebih tepat ialah haus informasi, dan kelimpahan informasi justru membuat  orang menjadi tidak tenang. Rafael Capurro menyebutnya dalam bahasa Jerman Informationsangst (kecemasan informasi). Tipe kecemasan ini dapat dijelaskan sebagaimana konsep Neugier (keingintahuan) dalam filsafatnya Heideger, yaitu kecenderungan kerumunan untuk tahu sesuatu agar tidak tertinggal dari yang lain. Jadi perasaan itu bukan dorongan untuk untuk menelusuri kebenaran, melainkan suatu gairah mimetis primordial untuk ikut trend.

Meski cukup jelas bagi kita semua, bahwa komunikasi digital telah banyak membantu kehidupan kita. Namun kecerdasan teknologi di haparkan tidak menyilaukan mata dalam melihat kandungan bahaya didalamnya. Kita membutuhkan komunikasi digital, tetapi mestinya juga lihai serta bijak dan bajik, memilih dan memilah dengan penuh kehati-hatian dalam meninjau baik buruknya. Perubahan bentuk komunikasi adalah perubahan diri. sehingga itu akal sehat dan sikap yang tepat merupakan cahaya penerang yang perlu dijaga dari terpaan demagogi digital yang kerap mengacaukan presepsi. (*)