Daerah  

Kepala DKP Malut soal Rumpon Ilegal di Obi: Ada Kubu Pro dan Kontra

Abdullah Assagaf (kofia putih) saat ditemui perwakilan kelompok nelayan Desa Soligi.

LABUHA, NUANSA – Persoalan penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan di Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, rupanya belum terpecahkan. Pasalnya, ada kelompok nelayan yang setuju dengan penggunaan rumpon, ada pula yang tidak setuju.

Di sisi lain, kelompok nelayan yang tidak setuju dengan penggunaan rumpon alasannya, nelayan-nelayan kecil akan susah mencari ikan lantaran adanya rumpon tersebut.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara, Abdullah Assagaf, menilai beroperasinya rumpon ilegal di perairan Obi itu lantaran adanya kubu pro dan kontra. Bukan hanya itu, problem ini sudah terjadi dari tahun ke tahun.

“Itu akar masalahnya (ada masyarakat yang pro). Insya Allah pertengahan Februari kami turun tindak. Sekarang kami masih fokus di Sula,” tutur Abdullah saat ditemui koordinator persatuan nelayan Desa Soligi, M. Jamri, Senin (6/2) malam.

Menurut Abdullah, dalam pengawasan rumpon ilegal, perlu kolaborasi dan saling bahu-membahu antar pihak terkait yang dianggap penting untuk mampu meminimalisir lalu-lalang kapal-kapal dari Bitung, Sulawesi Utara.

“Pengawasan illegal fishing tidak bisa dititikberatkan pada OPD teknis saja, karena armada dan sumber daya kami masih terbatas,” timpalnya.

Ia menuturkan, selama ini DKP kabupaten/kota selalu beralibi dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. Padahal pengawasan perikanan tidak selalu melekat di DKP provinsi. Akibatnya, yang terjadi adalah pemerintah kabupaten/kota selalu beralasan bahwa kewenangan pengawasan di bawah kendali Pemprov.

“Kita di pemerintah provinsi dapat mengeluarkan surat tugas pengawasan kalau ada permohonan dari kabupaten/kota. Selama inikan tidak dilakukan. Dinas yang membidangi perikanan itu wajib hukum mengawasi, bukan saling lempar tanggung jawab. Saya meminta kepada DKP kabupaten/kota agar tidak lagi menjadikan Undang-undang nomor 23 tahun 2014 sebagai kendala pengawasan,” tegas Abdullah. (ano/tan)