Opini  

Penyebab Perebutan Takhta Kesultanan Ternate

Raihun Anhar.

Oleh: Raihun Anhar, S.Pd

Pemerhati Umat

KEADAAN Kesultanan Ternate sedang tidak baik-baik saja dikarenakan datangnya mantan istri Sultan Muddafar Sjah (Nita Budhi Susanti) yang mengaku sebagai wali kolano yang berhak menduduki kekuasaan di Kesultanan Ternate. Ia juga membawa kedua anak kembarnya yang diklaim sebagai penerus takhta.

Namun Sultan Hidayatullah yang saat ini berkuasa meminta untuk menindak secara hukum Nita yang mengklaim dirinya sebagai wali kolano dikarenakan anak kembarnya belum baligh. Hal ini dinilai menyalahi hukum oleh Kimalaha Marsaoly karena putusan Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung, anak kembar itu bukan anak biologis dari Sultan Mudaffar Sjah (Dilansir dari Tandaseru.com). Selain hal itu, muncul juga poster yang memprovokasi kedua pihak, namun diimbau untuk keduanya tidak terprovokasi.

Perebutan Takhta adalah kesalahan para Sultan dalam kepemimpinan

Perebutan takhta adalah hal yang wajar dalam kekuasaan baik yang terjadi di Kesultanan Ternate dan kerajaan lainnya. Mengapa? Karena manusia memiliki naluri baqo (mempertahankan diri) dan salah satu contohnya adalah yang terjadi di Kesultanan Ternate. Nita mengklaim sebagai wali kolano yang berhak menduduki kekuasaan, sedangkan saat ini Sultan Hidayatullah sedang berkuasa dan tidak ingin kekuasaannya digantikan oleh Nita.

Harta, takhta dan wanita adalah godaan dan cobaan. Kali ini kita bahasannya menyentuh pada takhta dan wanita, mengingat wanita (Nita) yang mengklaim dirinya sebagai wali kolano (penerus takhta). Entah yang benar mana dan salah yang mana kita sebagai rakyat tak tahu kebenarannya.

Namun perlu diingat bahwa hal ini disebabkan oleh kesalahan para Sultan dahulu, di mana mereka mewariskan kekuasaan itu pada anak-anak mereka atau dikenal dengan putra mahkota. Mereka para Sultan juga menikahi wanita lebih dari satu yang tentu banyak anaknya. Walhasil, akan terjadinya perebutan kekuasaan. Jadi dapat dikatakan bahwa perebutan kekuasaan ini disebabkan kesalahan para Sultan dalam memahami sistem pemerintahan.

Kepemimpinan bukan warisan dan pemimpin dipilih karena totalitas keimanannya

Perebutan kekuasaan diawali dengan sistem putra mahkota atau pewarisan kekuasaan. Hal ini merupakan kesalahpahaman para Sultan dahulu akan kepemimpinan. Dahulu Rasulullah Saw memimpin kaum muslim, namun setelah Rasulullah Saw wafat, tidak digantikan oleh anak-anak melainkan masyarakat muslim memilih Abu Bakar As Siddiq sebagai Khalifatu Rasulullah atau penggantinya Rasul sebagai pemimpin kaum muslim. Kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Para Khalifah dipilih bukan berdasarkan kekeluargaan mereka dengan Rasulullah Saw, namun hal itu dilihat dari kemampuan mereka dan keimanan mereka. Dahulu para sahabat memilih Abu Bakar sebagai Khalifah karena Rasulullah Saw pernah bersabda tentangnya “Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, akan lebih berat keimanan Abu Bakar” (HR. Al Baihaqi).

Begitu pun setelah Abu Bakar sakit dan meminta para sahabat untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin kaum muslim, dan mereka semua menyerahkannya kepada Abu Bakar kemudian dipilihlah Umar bin Khattab. Umar bin Khattab saat mengetahui dirinya dipilih oleh Abu Bakar mengatakan ini kecelakaan untuknya karena ia tahu betapa beratnya menjadi pemimpin. Namun ia bisa menjadi pemimpin yang dicintai umat Islam karena keimanannya kepada Allah dan Rasulullah Saw. Ia berhasil menjadi Khalifah yang ditakuti musuh dan dikenal akan keadilannya kepada seluruh rakyat Khilafah (negara Islam).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perebutan kekuasaan disebabkan oleh kesalahan para Sultan dahulu dan hal ini tidak diajarkan dalam Islam. Kepemimpinan bukanlah pewarisan namun dilihat dari totalitas keimanan pemimpinnya. Sebagaimana Allah perintahkan untuk masuk Islam secara totalitas/keseluruhan “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah ayat 208).

Dengan memiliki pemimpin yang totalitas dalam beriman, maka akan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sebagaimana di masa kepemimpinan Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz yang tidak ditemukan lagi orang yang berhak menerima zakat. Selain sejahtera keimanan, rakyatnya juga terjaga sehingga tidak ada cerita muslim tapi tidak salat lima waktu, muslim tapi pacaran, muslim tapi enggan menutup aurat, dan hal lain yang tidak mencerminkan keimanan seorang muslim.

Maka dari itu, kita butuh pemimpin yang totalitas dalam beriman dan sistem pemerintahan yang bukan dengan sistem pewarisan. Islam mempunyai sistem pemerintahan yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi dan para ulama yaitu sistem khilafah ala minhaji nubuwa atau para ulama menyebutnya Imamah.

Dengan begitu, perintah Allah akan mudah kita jalankan dan syariat Islam bisa diterapkan dengan totalitas. Mengingat Allah Swt telah menyingung kita dalam firman-Nya “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”. Wallahualam bii sawwab. (*)

Exit mobile version