Oleh: M Zidan Andi
____________________
DESA adalah denyut awal dari negara. Bila ia sakit, maka negara sedang mengalami gejala rapuh dari dalam. Dan ketika desa mulai kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya, maka yang terancam bukan hanya struktur pemerintahan lokal, melainkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Desa Busua bukan sekadar nama wilayah administratif. Ia adalah rumah dari harapan banyak orang. Di dalamnya hidup warga yang bekerja keras, yang ingin melihat desanya maju, transparan, adil, dan bermartabat. Tapi apa jadinya jika pemimpinnya tidak mendengar, dan lembaga pengawasnya tidak bergerak?
Marah rakyat bukan sekadar teriakan di jalan. Ia bukan hanya gema yang mengudara lalu hilang. Ia adalah pandangan tajam yang mempertanyakan kekuasaan—tentang siapa yang duduk di kursi, merasa layak tanpa pernah bertanya: apa yang sudah kuberikan? Apa yang sudah kukorbankan? Kita entah bagaimana bisa sampai di titik ini—di negeri yang subur dengan janji, tapi tandus dalam aksi. Di mana rasa memiliki digantikan oleh rasa berhak (entitlement). Di mana pengorbanan tidak lagi dihargai, hanya menjadi cerita abu-abu yang dilupakan.
Tan Malaka pernah berkata, kemerdekaan bukan hadiah manis yang diletakkan begitu saja di atas meja. Ia adalah penjara bagi mereka yang sadar, bahwa menjadi merdeka berarti bersiap kehilangan segalanya demi melihat bangsanya berdiri tegak—bukan terhuyung di bawah bayang-bayang kerakusan.
Rakyat marah karena mimpi bersama telah dirampas. Rasa percaya diganti dengan perasaan dipermainkan. Mereka yang dulu berjuang bersama kini justru lupa arti perjuangan. Mereka yang dulu berdiri di garis depan kini nyaman duduk di kursi aman.
“Barang siapa menghendaki kemerdekaan umum,” kata Tan, “maka ia harus sedia kehilangan dirinya sendiri.” Tapi kini, kehilangan bukan lagi dianggap sebagai kehormatan, melainkan sebagai ancaman. Tak ada lagi semangat pengorbanan, yang ada hanya ketakutan kehilangan jabatan.
Hari ini, rakyat bukan hanya kecewa, tapi juga muak. Kemarahan itu adalah bara yang pelan-pelan menyala. Dan mereka sadar, bahwa kemerdekaan sejati hanya dimiliki oleh mereka yang bersedia mati—bukan secara fisik, tapi mati dari ego, dari kenyamanan pribadi, demi hidup bersama yang lebih baik.
Berbuat baik di zaman ini terasa seperti tindakan subversif. Di tengah gelapnya kekuasaan, niat baik dipandang sebagai ancaman. Pemerintah desa yang seharusnya melayani, malah mencurigai. Kritik dianggap makar. Transparansi dituduh pembangkangan.
Negara, melalui aparat dan birokrasi kecilnya di desa, kadang menunjukkan wajah otoriter. Ia membungkam, menekan, dan menakuti. Tapi berbuat baik tidak butuh izin. Kebenaran tidak menunggu restu. Ia lahir dari nurani yang bebas.
Maka ketika rakyat tetap bersuara, itu bukan karena ingin membuat gaduh. Tapi karena ada ketidakadilan yang terlalu lama dibiarkan. Karena ada kekuasaan yang terlalu lama merasa kebal. Dan karena Inspektorat maupun Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) terlalu nyaman dalam diam.
Pertanyaannya sederhana: di mana suara Inspektorat? Di mana pengawasan DPMD ketika pemerintah desa melenceng dari semangat konstitusi? Mengapa mereka yang seharusnya jadi pengawas justru tak bersuara ketika kejanggalan berlangsung?
DPMD seharusnya menjadi pelindung masyarakat desa dari kesewenangan oknum kepala desa. Ia bukan sekadar lembaga formal, tapi motor pembinaan moral dan teknis bagi pemerintahan desa. Ketika masyarakat Busua mempertanyakan arah pembangunan dan pengelolaan pemerintahan, DPMD tidak bisa terus menjawab dengan formalitas administratif. Mereka wajib hadir secara nyata, memastikan masyarakat tidak menjadi korban birokrasi yang dingin dan tak peduli.
Pemerintah desa tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa kontrol. Negara melalui Inspektorat dan DPMD punya mandat dan tanggung jawab. Ketika kedua lembaga ini tidak menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan secara serius, maka kita sedang menyaksikan pembiaran struktural terhadap potensi penyimpangan kekuasaan di tingkat akar.
Kami juga menuntut Inspektorat dan DPMD agar tidak lagi bersembunyi di balik prosedur. Jadilah lembaga yang berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan. Datanglah ke desa-desa bukan untuk mengamankan citra, tapi untuk membersihkan sistem dari segala bentuk penyimpangan.
Dan kepada masyarakat Busua, jangan diam. Demokrasi bukan hanya hak lima tahun sekali saat pemilihan. Demokrasi adalah keberanian sehari-hari untuk bertanya, mengoreksi, dan menjaga agar kekuasaan tetap waras.
Sebab jika kita semua memilih diam, maka kita turut membiarkan kebusukan itu tumbuh. Dan pada saatnya, diam kita akan menjadi dosa kolektif yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.
Maka sebelum semuanya terlambat—sebelum amarah berubah menjadi ledakan sosial, sebelum kepercayaan benar-benar runtuh—datanglah, bertindaklah, bersuaralah.
Kita tidak butuh lembaga yang hanya aktif saat ada acara seremonial atau ketika kamera media menyala. Yang dibutuhkan adalah keberanian struktural—kehadiran nyata untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar kekuasaan tidak melampaui batas.
Jangan biarkan kepercayaan masyarakat terhadap negara habis hanya karena diamnya dua lembaga yang seharusnya menjadi penjaga sistem. Jangan biarkan demokrasi di tingkat desa rusak hanya karena ketakutan untuk menegur. Jangan biarkan desa, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi dan pemberdayaan, berubah menjadi tempat pembungkaman dan dominasi.
Kita tak sedang bicara idealisme kosong. Kita bicara tentang desa. Tentang rakyat. Tentang uang negara. Tentang amanat konstitusi.
Berbuat baik, hari ini, adalah bentuk perlawanan paling jujur. Menyuarakan kebenaran adalah cara sederhana untuk menjaga kemanusiaan tetap hidup. Dan ketika otoritarianisme menjalar bahkan sampai ke struktur pemerintahan desa, maka satu-satunya cara melawan adalah dengan tetap bersuara.
Karena diam adalah bentuk pengkhianatan. Dan membiarkan ketidakadilan tumbuh adalah dosa sosial yang tak bisa ditebus dengan alasan loyalitas. (*)