Opini  

Transaksi Politik Bukti Demokrasi Cacat dan Malpraktik

Oleh: Zahra Riyanti

_______

BEBERAPA waktu lalu beredar video party beberapa pejabat yang tengah merayakan moment ‘Thanks Giving’ atas bagi-bagi jabatan oleh Capres-Cawapres terpilih Prabowo-Gibran periode 2024-2029 ini. Tampak jelas adanya kemiripan percaturan politiknya dengan Presiden Jokowi. Bagaimana tidak, terlihat dari sejumlah pendukungnya mulai ditempatkan di jajaran petinggi BUMN. Banyak pengamat politik dan juga aktivis mengkritisi praktik tersebut, sebab adanya “politik balas budi” yang kemudian hanya akan meruwetkan kinerja BUMN dan nantinya merugikan negara. Praktik bagi-bagi jabatan di BUMN bukanlah hal tabu. Sejak awal BUMN dibentuk, aroma Abuse Of Power sudah tercium jelas, namun untuk kali ini lebih pekat lagi dan mengonfirmasi betapa sistem demokrasi dijadikan instrumen pemulus gurita kekuasaan segelintir elite politik dengan sanak keluarganya

Sederet mantan petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran saat ini terlihat sudah menduduki jabatan komisaris di berbagai BUMN. Sang ketua dan wakilnya pun kini menjabat menjadi Komisaris Utama dan Komisaris di PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID). Perlu diketahui, MIND ID adalah induk BUMN tambang yang dianggap mampu mengalirkan keuntungan paling besar bagi jajaran atasnya. (BBCIndonesia, 14-7-2024). Pada akhirnya di Pertamina dan BUMN-BUMN yang “basah” lainnya, kini makin bertabur orang-orang yang dekat dengan rezim berkuasa. Wajar jika rezim hari ini dianggap kerap menjadikan jabatan komisaris sebagai “bagi-bagi kue kekuasaan’ atas jerih payah mereka selama mengawal masa kampanye lalu.

Di saat para pejabat sedang berpesta jabatan baru, sisi lain rakyat kini sedang dilema hebat menghadapi kebijakan baru yang dipaksakan secara sistematis yakni Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang berupah UMR (sekitar Rp3 juta per bulan). Yang jika dibandingkan dari segi pendapatan dengan para politikus ‘sultan’ yang duduk di kursi komisaris di sejumlah BUMN sangar begitu fantastis. Seperti pada Peraturan Menteri BUMN No. PER-3/MBU/03/2023 menetapkan penghasilan anggota komisaris BUMN bisa terdiri dari honorarium, tunjangan, fasilitas, tantiem atau insentif kinerja/khusus, dan insentif jangka panjang.

Senada dengan hal tersebut, Basuki Tjahaja Purnama, misalnya juga menyampaikan di Kick Andy Show pada Juni 2020, bahwa honorariumnya sebagai komisaris utama Pertamina saat itu adalah Rp170 juta per bulan. Ia pun menyampaikan direktur utama Pertamina bisa mendapatkan tantiem (keuntungan perusahaan yang dihadiahkan pada karyawan secara tahunan) hingga Rp25 miliar. Dirinya sendiri mendapatkan tantiem Rp11,25 miliar. Sungguh ketimpangan sosial yang luar biasa.

Selain itu, Transparency Internasional Indonesia (TII) menyebut, ada 482 komisaris dari 106 BUMN pada 2020. Sebanyak 17,63 persennya diangkat dari kalangan profesional, sisanya (82,37%) diangkat berdasarkan pertimbangan politik. Jumlah mereka begitu besar, padahal sudah menjadi rahasia umum kalau kerja mereka kebanyakan hanya “ongkang-ongkang kaki saja”. Oleh karena itu, wajar saja jika performa sejumlah besar BUMN kian menurun. Selain tidak memiliki pemimpin yang kapabel di bidangnya, para BUMN itu pun memiliki beban pengeluaran yang fantastis untuk membayar gaji para pemimpinnya. Pantas saja jika BUMN digadang-gadang sebagai “perusahaan sapi perah”, dimana rezim yang berkuasa memperbesar power dan pengaruhnya. Seakan-akan BUMN adalah milik rezim, padahal BUMN adalah perusahan plat merah yang harusnya relevan dengan kemaslahatan rakyat.

Realitas bagi-bagi jatah ‘jabatan’ kelihatan para kolega politik tersebut sudah merasa lega, jika yang belum kedapatan nampak terlihat gelisah karena sudah melakukan banyak hal untuk pemenangannya. Nyatanya, komisaris adalah “potongan kue terbesar” bagi yang paling berkontributif, sedangkan potongan kecil lainnya bisa bermacam-macam, mulai dari dapat izin tambang hingga perlindungan terhadap perusahaannya.

Demikianlah realitas politik transaksional dalam sistem demokrasi. Yang konon adalah alat untuk mengurus urusan rakyat, namun malpraktik berulang dari rezim ke rezim. Padahal Ini baru awal kontestasi, belum lagi nanti berjalannya pemerintahan. Lihat saja, bau-bau pecundang mulai tercium tatkala partai politik pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mulai merapat pada rezim. Ini karena menjadi oposisi hanya bikin buntung bukan main.

Sungguh, sebuah hal yang niscaya dalam sistem politik demokrasi tak akan dipisahkan dari politik jual beli, sebab sudah menjadi jantung berjalannya politik ini. Berharap agar tidak ada politik bagi-bagi kue politik dalam sistem demokrasi adalah bagai mimpi di siang bolong. Tidak akan pernah bisa terwujud.

Berbanding terbalik dengan potret sistem politik demokrasi saat ini, Islam justru menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang dijalankan dengan sebaik-baiknya, karena nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Jabatan juga memiliki dimensi ruhiah yang amat tinggi, sehingga siapa pun yang beriman dan bertakwa tidak akan pernah tergiur merampas hak-hak rakyat dan mengejar jabatan hanya untuk memperkaya diri.

Islam juga menundukan pelaku kekuasaan dengan memiliki motivasi memburu ridha Allah sebagai balasan amanah atas urusan kekuasaan yang dijalankannya. Dan tertanam dalam benaknya berkhianat pada rakyat adalah dosa besar yang azabnya mengerikan. Juga akan sangat wara‘ terhadap sesuatu dan pastinya sangat membenci pemimpin yang zalim.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla dan yang paling dekat tempat duduknya pada Hari Kiamat adalah pemimpin yang adil; sedangkan manusia paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempat duduknya pada Hari Kiamat adalah pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).

Selain itu, Islam pun telah memerintahkan agar menyerahkan urusan kepemimpinan kepada yang memiliki kapasitas dan kapabilitas tinggi. Dalam konteks BUMN, maka yang diamanahi memegang komisaris BUMN adalah mereka yang memahami seluk-beluk perusahaan dan berkapasitas sebagai pemimpin bukan yang obsesi kekuasaan semata.

Dengan demikian, politik transaksional tidak akan pernah terjadi apabila sistem yang menaunginya berbasis pada Al Qur’an dan As-Sunnah di bawah payung institusi Khilafah Rasyidah ‘ala Minhajjin Nubuwwah. (*)