Opini  

Orang Taliabu Tidak Bersalah

Oleh: Rifan Basahona

Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Ternate

___________

SEBUAH kabar duka yang membanjiri seluruh platform media sosial hari ini sangat menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia, lebih-lebihnya masyarakat Maluku Utara, insiden ledakan kapal cepat speedboat Bela 72 yang menjadi tumpangan salah satu calon Gubernur Maluku Utara Benny Laos beserta rombongannya dalam perjalanan kampanye di Pulau Taliabu tepatnya di Pelabuhan Regional Bobong ini menjadi isu yang lagi hangat hari ini.

Kenapa demikian, sedangkan tragedi serupa sudah menjadi hal yang lumrah dalam setiap perjalanan panjang manusia, musibah ataupun sebuah kematian itu sudah menjadi kepastian, sudah digariskan waktunya oleh Yang Maha Kuasa Allah SWT, bahwa tiap-tiap yang bernyawa pasti merasakan yang namanya kematian, tidak menentukan waktu dan tidak melihat siapa dia.

Tentu hal ini berkaitan erat dengan sosok Benny Laos semasa hidupnya, siapa yang tidak mengenal Bapak Benny Laos? Masyarakat Maluku Utara tentunya tahu betul, beliau adalah salah satu konglomerat terkenal di Maluku Utara, punya peran kemanusiaan terhadap pembangunan Maluku Utara, juga pernah menjabat sebagai Bupati Pulau Morotai periode 2017-2022, dan juga sebagai salah satu figur yang bertarung di pilkada Maluku Utara saat ini, dan tentunya masih banyak rekam jejak kemanusiaan yang tinggi sehingga tidak salah jika kepergiannya meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi orang-orang yang mengenal beliau.

Di balik tragedi tersebut banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik, di antaranya bahwa amalan-amalan kita semasa hiduplah yang akan mengantarkan perjalanan kita menuju sang Ilahi Allah SWT. Jika hubungan dengan sesama manusia dan orang-orang sekitar baik, maka kepergian kita akan disertakan dengan keharuan serta bahasa-bahasa kebaikan.

Serta banyak yang turut belasungkawa dan mengirimkan doa-doa kebaikan kepada kita, seperti sebuah pepatah gajah mati meninggalkan gadingnya manusia mati meninggalkan namanya. Nama ini yang akan terus dikenang ketika yang dibangun semasa hidup adalah bahtera kebaikan, begitu pun sebaliknya, jika yang dibangun adalah bahtera keburukan maka itulah yang mengantarkan kepergian kita menuju sang Khaliq. Sudah seharusnya musibah ini membuka mata, hati, serta pikiran agar bisa menjaga sikap bahasa serta tindakan dalam berkehidupan.

Namun ironinya di balik peristiwa tersebut malah terjadi bencana kemanusiaan baru yang lahir dari pandangan segelintir oknum-oknum pragmatis. Di sisi lain, mereka seakan-akan menjadi sosok yang paling berduka namun pada sisi yang lain mereka juga melahirkan duka-duka yang baru bagi orang lain.

Dapat kita saksikan di media sosial hari ini, banyak ujaran kebencian dan narasi rasisme terhadap masyarakat Pulau Taliabu seakan dalang dari ledakan speedboat Bela 72 adalah murni perbuatan orang-orang Taliabu. Padahal hingga hari ini dari pihak kepolisian pun belum menemukan bukti yang jelas apa penyebab dari peristiwa tersebut.

Keprihatinan seharusnya kita berikan kepada mereka masyarakat Pulau Taliabu karena hari ini situasi dan kondisi daerah tersebut berada sangat jauh dari sebuah kesejahteraan mulai dari akses jalan yang sering-sering menghebohkan platform media sosial dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, serta jaringan internet yang belum merata. Hal ini yang perlu kita suarakan agar menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk segera bertindak cepat.

Masyarakat Pulau Taliabu juga memiliki nilai dan budaya dalam berkehidupan dan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, secara agamais kita memandang ini sebagai kuasa Tuhan yang mematikan dan menghidupkan, di lain sisi ini adalah masalah yang berkaitan dengan kinerja-kinerja pemerintah setempat dalam memberikan fasilitas yang layak, bukan masalah yang dibuat oleh masyarakat setempat, masyarakat taliabu tidak bersalah mereka juga sedang berduka olehnya itu mari kita duduki masalah ini secara bijak.

Problem kongkrit yang ada di Taliabu dengan insiden ledakan speedboat Bela 72 ini adalah dua variabel yang perlu diduduki secara rasional sehingga tidak menimbulkan narasi-narasi liar yang cenderung politis dan sengaja dijadikan sebagai isu untuk menjatuhkan etnis yang lain.

Kita tidak bisa mengaitkan ledakan speedboat Bela 72 dengan perilaku masyarakat Pulau Taliabu. Kalau memang itu benar terjadi, maka itu bukan masyarakat Taliabu, tapi oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga ini tidak bisa dipolitisasi dan dibesar-besarkan sampai-sampai kita terjerumus dalam sebuah narasi yang rasisme.

Mari kita berpolitik dengan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan sebagai realisasi dari nilai-nilai demokrasi sehingga dapat melahirkan pemimpin yang mampu mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat di setiap daerah sehingga dapat menghindari masalah-masalah yang terjadi. Cukup ini menjadi sebuah pelajaran hidup, disamping itu biarkan hukum yang bekerja untuk menuntaskan masalah ini.

Jadilah masyarakat yang rasional dan bijak dalam menggunakan media sosial, jangan jadi masyarakat yang pragmatis. Setiap bahasa dan narasi yang kita keluarkan lewat media sosial pribadi perlu dipertimbangkan, jangan berbicara sebelum mendapatkan informasi yang baik dan akurat terhadap sebuah peristiwa.

Mari kita sama-sama membantu pihak-pihak terkait untuk segera menyelesaikan persoalan ini, jangan biarkan ini menjadi isu-isu yang lebih besar, apalagi hari ini kita berada dalam pesta politik pemilihan kepala daerah yang bisa jadi akan dipolitisir oleh segelintir orang untuk kepentingan politik mereka dan akan memicu konflik yang lebih besar. (*)

Exit mobile version