Oleh: Isman Baharuddin
Pegiat Pilas
________________________
SAYA membuka tulisan sederhana ini dengan cerita pendek (cerpen) ‘Grafiti’ karya Indra Ismawan (2019) secara singkat. Salah satu cerpen dalam bukunya yang berjudul ‘Seorang Demonstran dan Ibunya’.
Suatu pagi Mbak Kromo berang karena mendapati dinding rumahnya ada gambar grafiti. Dia kemudian mengeluh kepada Pak RT, menceritakan kondisi dinding rumahnya dengan kesal. Keduanya saling tanya siapa dalang dari semua itu? Tak berselang lama Mbak Kromo beranjak pulang tanpa jawaban, kemudian membersihkan Grafiti tersebut dengan lapisan cet yang baru. Keesokan harinya masih dikejutkan dengan hal yang sama. Kali ini Dia tidak sendirian, semua warga di RT tersebut ikut memprotes karena mengalami masalah serupa.
Singkat cerita, mereka berbondong-bondong pergi ke Kelurahan. Di sana sudah berkumpul ratusan warga, dan mengeluhkan masalah yang sama. Pak Lurah bersama warga menuju kantor Polsek. Dan ternyata di sana juga sudah berkumpul warga dari Kelurahan tetangga, mengadukan masalah serupa. Kota sudah dirabungi grafiti. Di mana-mana ada grafiti. Lambat laun warga terbiasa dengan kehadiran grafiti-grafiti tersebut. Hingga suatu pagi, Mbak Kromo terkejut karena grafiti di dinding rumahnya hilang. Temboknya putih bersih. Semua mengadu kehilangan gambar grafiti mereka dan berteriak “grafiti kami dirampok”.
Cerpen tersebut mengilustrasikan bagaimana kesalahan bisa dianggap benar karena sudah minim protes, banyak yang menganut dan harus menganggap begitu adanya. Jika dikembalikan pada jalur yang sebenarnya, kita merasa aneh karena terlampau lama berada di posisi yang salah.
Karut-marut Pembangunan Jembatan Sulamadaha-Hiri
Jembatan impian masyarakat Hiri sebagai akses penghubung ke pusat kota telah lama disuarakan, beberapa kali lokasi pilihan harus berpindah dengan alasan beralih menjadi tempat wisata sekalipun sudah ada nomenklatur sebagai jembatan penyeberangan. Tiga titik sebelumnya di pantai Jiko Malamo, hol Sulamadaha, dan pantai Tobololo. Dua kali berganti wali kota tak tuai kejelasan, tahun 2024 jembatan impian tersebut diwujudkan setelah berbagai bentuk kritikan dilontarkan masyarakat Hiri.
Awal tahun 2025 telah dianggap rampung dan siap dioperasikan. Jembatan Sulamadaha menuju Hiri baru-baru ini diresmikan oleh Wali Kota Ternate, M Tauhid Soleman. Sayangnya, euforia hadirnya fasilitas publik yang dinantikan sejak lama itu kembali disesali, karena satu hari setelah diresmikan, jembatan tersebut diterpa badai dan membahayakan keselamatan warga yang ingin menggunakan fasilitas publik yang dikerjakan oleh Dinas PUPR Kota Ternate.
Hal ini diakibatkan karena desain jembatan yang keliru, bahkan salah menempatkan posisi breakwater. Jauh sebelumnya sudah diprotes oleh lembaga Aliansi Masyarakat Pulau Hiri (AMPUH) sebelum dilakukan pekerjaan, akan tetapi tidak diindahkan dinas PUPR Kota Ternate (baca: Proyek Pelabuhan Hiri Bermasalah, Kepala Dinas PUPR Ternate Harus Dievaluasi, pada laman HALMAHERAPOST.com).
Kondisi tersebut menandakan tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam membangun daerah. Sebagaimana yang dimaksud Mohtar Mas’ud dalam buku Negara, Kapital, dan Demokrasi (2003) pemerintah memandang partisipasi masyarakat dengan menggunakan pandangan ekonomi dalam artian masyarakat hanya sebagai pengguna fasilitas, tidak dengan pandangan politik yang demokratis sehingga masyarakat harus turut dilibatkan dalam rancangan pembangunan. Kesalahan yang dibenarkan ini bakal merambah ke semua aspek kebijakan jika dibiarkan.
Setelah menuai protes dari masyarakat, di mana anggota DPRD untuk menjalankan tiga fungsi utama mereka? Yang harus terlihat garang dalam mengawal kepentingan rakyat? Bahkan komentar pun tidak didapat. Ketakutan besar kita, jangan sampai lembaga yang harusnya ditakuti hilang fungsinya karena ada relasi lain yang tidak terekspos. Secara perlahan-lahan perilaku tersebut berlangsung, kemudian jadi terbiasa dan akhirnya harus menerima kondisi tersebut. sebagaimana cerita fiktif ‘Grafiti’ oleh Ismawan di atas.
Peran DPRD dalam mengawal kinerja pemerintah untuk pembangunan daerah sangat penting, wakil rakyat diharapkan dapat mengatasi masalah orang-orang yang diwakilkan. Fungsi DPRD sebagaimana tertuang dalam UU nomor 23 serta UU nomor 17 tahun 2014, terkait dengan legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Seharusnya, apa yang menjadi keresahan, wakil rakyat dapat memediasi sehingga ada kesesuaian antara keinginan masyarakat dan pembangunan yang direncanakan pemerintah.
Jika tidak demikian, masyarakat menganggap DPRD ibarat jaring laba-laba yang berbahaya dan menjadi ancaman untuk hewan-hewan tertentu yang terbilang kecil dan kembali terancam oleh kekuatan hewan yang lebih besar. Untuk menghindari klaim tersebut jangan tebang pilih dalam mengawal kerja-kerja setiap organisasi perangkat daerah (OPD).
Sekian!!!