Opini  

Dilema Pertumbuhan Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan

Oleh: Awaluddin
Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, IPB

________________

MUSYAWARAH Pembangunan Nasional (Musrembangnas) RPJMN 2025-2029 yang dilaksanakan di Jakarta pada 30 Desember 2024, Presiden Prabowo menargetkan ke depan pertumbuhan ekonomi nasional harus mencapai 8%.

Sebelumnya, Presiden Prabowo telah menyampaikan peta jalan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi hanya ada dua cara melanjutkan program hilirisasi nikel, melaksanakan program swasembada pangan dan energi.

Sebagai negara dengan potensi cadangan nikel tertinggi secara global berdasarkan survei Unites States Geological (USGS) tahun 2023 diperkirakan cadangan nikel global mencapai 130 juta metrik ton, sedangkan cadangan nikel Indonesia mencapai 55 juta metrik ton, setara dengan 42,3 % dari total cadangan nikel global dan 90% potensi cadangan nikel menjamur dari daratan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Papua.

Dengan adanya hilirisasi nikel telah berhasil mempengaruhi kondisi perekonomian nasional. Seperti dilansir media kemenkeu.go.id, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada tahun 2022 sebesar Rp 4,18 triliun jika dibandingkan dengan tahun 2015 sebesar Rp 531 juta, artinya terjadi peningkatan royalti nikel delapan kali lipat yang berkontribusi sebesar 13,19% dari total PNPB di sektor sumber daya alam.

Inilah yang mendongkrak semangat pemerintah untuk melanjutkan program hilirisasi nikel sebagai bahan baku kendaraan listrik. Selain itu, mendorong percepatan transisi energi global. Pemerintah juga menargetkan hilirisasi nikel untuk menghasilkan multiplayer efek berupa manfaat ekonomi bagi daerah dan masyarakat, terutama masyarakat yang hidup di sekitar pertambangan.

Eksternalitas Negatif dari Hilirisasi Nikel

Masyarakat sekitar pertambangan merasakan multiplayer efek yang berbeda dari ekspektasi pemerintah dengan adanya hilirisasi nikel. Di mana, kompleksitas eksternalitas negatif seperti degradasi lingkungan dan konflik agraria yang terjadi secara masif di daerah penghasil nikel.

Contoh kerusakan lingkungan yang terjadi di Maluku Utara (Malut) pada tahun 2024 terjadi banjir di sekitar kawasan PT IWIP, lebih dari 6.567 orang masyarakat yang tinggal di empat Kecamatan, Lelilef, Woejerana, Woekob dan Lukolamo terendam banjir yang disebabkan adanya pembongkaran lahan seluas 188 ribu hektare sehingga mengakibatkan terjadinya deforestasi (walhi.or.id).

Sedangkan konflik agraria akibat adanya industri pertambangan yang terjadi di Halmahera Timur seperti dilaporkan media investigasi proyectmultatuli.org telah terjadi perampasan tanah adat Tobelo yang digunakan sebagai proyek industri, serupa dengan yang terjadi di Halmahera Selatan, di mana penggusuran lahan pertanian masyarakat lokal tanpa kompensasi.

Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara meningkat drastis pada tahun 2023 sebesar 20,49 % (y-on y) semenjak adanya kebijakan hilirisasi yang menjadikan Maluku Utara sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi (malut.bps.go.id).

Dalam kacamata ekonomi sumber dayaalam dan lingkungan, fenomena tersebut disebut Trade-Off, di mana kebijakan pembangunan cenderung mengejar pertumbuhan ekonomi di satu sisi, tetapi di sisi yang lain kerusakan lingkungan dan konflik sosial akibat pengelolaan sumber daya alam cenderung diabaikan.

Tingkat pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan sekitar industri pertambangan. Di lansir dari bps.go.id, angka kemiskinan Maluku Utara dari periode september 2022 sampai dengan maret 2023 sebesar 6,17 naik menjadi 6,23 % atau 0,46 ribu orang, sedangkan di pedesaan mencapai 6,45% naik menjadi 6,55% atau sekitar 1,20 ribu orang.

Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs merupakan paradigma inklusif yang mengharuskan pengelolaan sumber daya alam dengan efektifitas dan efisiensi. Demi memenuhi kebutuhan generasi saat kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi berikutnya.

Dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan sebagai pilar pembangunan berkelanjutan harus terintegrasi. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, yang berdampak pada kesenjangan sosial yang mengakibatkan konflik dan kerusakan lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan merupakan sebagai model pembangunan sejak beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2015 dilaksanakan konferensi PBB yang menghasilkan perjanjian paris agreement dengan ditetapkan 17 tujuan SDGs dan 169 target untuk mewujudkan SDGs di setiap kehidupan manusia.

Tindak lanjut dari perjanjian paris agreement pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres Nomor 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan tujuan SDGs. Salah satu tantangan implementasi SDGs Indonesia adalah ketergantungan ekonomi nasional terhadap SDA yang tidak terbarukan, terutama pertambangan mineral kritis. (*)