Opini  

Mau Dibawa ke Mana Himpunan Mahasiswa Islam?

Oleh: Julfahrul Usman
Ketum HMI Komisariat Tarbiyah IAIN Ternate

__________________

PERGOLAKAN sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mengikhtiarkan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekan dari negara-negara penjajah (kolonialisme) hingga tetesan darah menjadi bukti keberanian dan keberpihakan pada kebenaran.

Tidak sampai di situ saja, para kader-kader terbaik memposisikan dirinya sebagai mahasiswa Islam, dengan konstelasi politik dunia yang carut-marut menandakan degradasi umat Islam dalam sisi pengetahuan dan akidah yang semakin mencela dari ajaran-ajaran Islam, sehingga Ayahanda Lafran Pane dan empat balas lainnya, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisyaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, Muhammmad Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Rajak, Toha Mashudin, Bidron Hadi, mengambil peran mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Febuari 1947, dengan semangat keindonesiaan dan keislaman.

Dengan dorongan tokoh-tokoh yang mempelopori perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam dapat mengisi kemerdekaan dan Jendral Sudirman juga mengutarakan bahwa HMI adalah harapan masyarakat Indonesia. Sudah tentu Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai kontribusi besar dalam negara ini.

Adapun sifat independensi etis dan independensi organisatoris yang termaktub dalam anggaran dasar (AD) pasal 6, konstitusi Himpunan Mahasiswa Islam demi berjalannya perkaderan yang merupakan aturan main dari seluruh anggota, guna mengemban tujuan HMI dalam anggaran dasar (AD) pasal 4 sebagai prospek yang selama ini dicita-citakan.

Tujuan HMI yang tertera dalam anggaran dasar membuktikan rasa tanggung jawab yang besar atas kejayaan bangsa dan negara yang diemban oleh para anggota dengan berbagai persoalan bangsa yang telah menanti agar dapat merepresentatif untuk mengetahui HMI secara komprehensif yang senantiasa berada di kalangan masyarakat.

Adapun arus nikolim perkembagan zaman saat ini menjadi polarisasi tantangan tersendiri bagi kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam dan sudah tentu menjadi ancaman dalam pola perkaderan di tubuh himpunan, untuk dapat memposisikan diri di tengah-tengah permasalahan yang ada, sehingga dapat menjawab pertanyaan dari masyarakat. (Himpunan mahasiswa Islam adalah harapan masyarakat Indonesia).

Pada makna lain. (Ahmad Dahlan Ranuwihardjo) menjelaskan bahwa politik tanpa moralitas yang telah menjangkiti HMI secara langsung atau tidak turut menanamkan konstruksi kepribadian Machiavellianis pada individu-individu di dalamnya dan kemungkinan besar terwariskan pada generasi setelahnya.

Olehnya itu, adanya upaya keharusan pembaharuan paradigma kepemimpinan dilatarbelakangi kritik atas fenomena degradasi pimpinan HMI yang selama ini semakin merusak citra baik organisasi. Maraknya intrik-intrik politik internal organisasi tidak lain berasal dari dominasi hasrat berkuasa, menandai kegagalan epistemik atau nalar kepemimpinan yang secara amelioratif.

Eskalasi politik saat ini seharusnya mengedepankan era intelektual yang berada dalam Himpunan Mahasiswa Islam dan mengambil bagian untuk menjadi pilar guna meminimalisir seluruh hak-hak masyarakat yang patut diperjuangkan dan seharusnya berpihak kepada nilai-nilai luhur khalifatu fil ardh.

Dalam cose HMI, tipologi kader yang problem solver itu tampil dengan kemampuan teknokratik (strategi, teknis, dan taktis) berdasarkan kecakapan profesionalnya untuk dapat bertindak memecahkan persoalan-persoalan secara kongkrit, baik internal maupun eksternal dikarenakan kepekaan nurani dan rasa tanggung jawab ber-HMI. (*)