Opini  

78 Tahun HMI Kehilangan Icon Intelektual-Cendekiawan: Antara Punah atau Tidak?

Oleh: Rusmin Hasan
Kader Pemikir Cak Nur

_________________________

5 FEBRUARI 1947, ialah hari berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kini, usianya sudah terbilang tak lagi muda, di tahun 2025 genap sudah usianya 78 tahun. Namun, terlihat HMI begitu-begitu saja, tidak ada hal yang spektakuler yang dibuat oleh kader HMI bahkan nyaris HMI mengalami kemunduran bahkan terbilang mulai mengalami kepunahan. Jika HMI diumpamakan sebagai “Manusia”, maka usianya sudah cukup tua, kekuatan pada tubuhnya mulai hilang, pikiran-pikiran mercusuarnya tak lagi terlihat ke publik, apalagi berkelana mencari jalan. Usia yang tidak lagi produktif untuk ukuran manusia. Jika itu disematkan pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tak ubahnya seperti tubuh manusia yang tak lama lagi akan kembali pada pangkuan Illahi.

Tentu, kita semua tidak menginginkan HMI seperti itu, namun potret HMI di era post truth hari ini, nampak terlihat demikian. Itulah kenapa, penting kiranya seluruh kader bahkan alumni harus melakukan penyelamatan bahkan evaluasi gerak maju yang transformatif pada tubuh HMI secara mendalam sekaligus melakukan otokritik dan melahirkan pertanyaan filosofis secara kritis pada HMI. Masihkah HMI harus ada? Ataukah HMI dibubarkan saja?. Toh, kehadiran HMI hanya memperpanjang konflik dualisme dan gagah-gagahkan kader? Bahkan HMI tak lagi berperan sebagai kader umat dan bangsa, yang terlihat HMI cenderung mengalami konflik internal, akibat dari arus politik praktis yang menyelimuti jiwa dan akal kader HMI. 78 Tahun HMI kehilangan iconicon cendekiawan dan intelektual muda.

Rasanya, 78 tahun HMI tak ubahnya seperti kakek tua yang tak lama lagi akan punah ditelan zaman. Penulis membayangkan kalau kader HMI di setiap RAK, Konfercab dan Kongres bahkan setiap kaderisasi Basic Training LK-1, Intermediate Training Nasional LK2, Senior Course, Bahkan Advance Training Nasional LK3 tak memproduksi dialektika pikiran-pikiran segar, kritis, progresif, berkemajuan, transformatif untuk membangun HMI. Maka, tunggu saja HMI akan mengalami kepunahan. Karena setiap kadernya tak lagi menjaga ruh dan spirit awal berdirinya HMI. HMI harus berani keluar dari nostalgia masa lampau, kita terlalu berbangga diri pada sejarah dan mengandalkan kebesaran tokoh-tokoh HMI. Kita lupa menciptakan sejarah baru buat HMI di era post truth hari ini. Alhasil, kita tenggelam pada masa lampau dan tak bangkit dari kemelut di tubuh kita sendiri yang lambat laun menciptakan kader-kader pragmatis dan oportunis, tak ada lagi kekritisan dan semangat perjuangan untuk kepentingan umat dan bangsa, yang ada perjuangan kelompok, gerbong, individu yang memiliki hasrat berkuasa semata.

78 Tahun, HMI Kehilangan Icon Intelektual-Cendekiawan

78 Tahun usia HMI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kehilangan icon-icon intelektual-cendekiawan bernas di tubuh HMI, seperti Kakanda Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Amien Rais, Yudi Latif, Syafi’i Maariif, Kuntowijoyo, Komaruddin Hidayat, Taufik Ismail, Mahmud MD, Mukti Ali, Anas Urbaningrum, Anies Baswedan dan lainnya. 78 Tahun, HMI harus kembali menancapkan dan melahirkan poros kebangkitan icon-icon intelektual muda seperti fase kebangkitan gerakan pembaharuan pemikiran pada fase tahun 1970-an, 80-an dan 90-an, di mana HMI dikenal sebagai kekuatan intelektual yang cukup disegani pada saat itu.

Tak heran, kalau di masa kebangkitan HMI, HMI bagaikan organisasi lumbung intelektual bahkan dibenarkan oleh seorang imam besar Katolik dan mengajar filsafat yakni Prof. Dr, Franz Magnis Suseno, bahwa organisasi HMI menjadi dapur dan episentrum intelektual yang memproduksi kader-kader terbaik bangsa ini.

Kita tentu berharap demikian?. Namun, makin tua organisasi ini, hilang taji intelektualnya. 78 tahun seharusnya HMI menata dirinya. Membenahi beragam persoalan yang muncul dalam internal HMI, mulai dari melakukan pembaruan pada metode kaderisasi yang makin tertinggal dan tak relevan dengan zaman, tatakelola organisasi berbasis digital abad 21, membangun kemandirian ekonomi organisasi, mengoptimalkan potensi kader melalui karya menulis, bahkan sampai pada memudarnya tradisi intelektual, dan menginternalisasi secara kritis Nilai Dasar Perjuangan (NPD HMI) secara komprehensif. Dari situlah, hemat saya, HMI akan kembali khittah untuk menghadirkan pembaruan secara fundamental untuk menciptakan iconicon Cendekiawan-Intelektual, Intelektual-Cendekiawan muda di tubuh HMI. Hanya dengan dua modalitas itulah, bagi penulis HMI akan kembali bangkit dan keluar dari keterpurukannya.

Karena itu, gerakan pembaharuan terhadap HMI, wajib untuk terus dibumikan. Agar bisa melahirkan kader yang diistilahkan David Epstein, dalam karyanya: “Range”, generalis. Bukan kader yang hanya spesialis pada satu bidan disiplin ilmu. Mengutip ungkapkan “David Epstein”, kader generalis adalah mereka yang kreatif (inovasi) yang tidak hanya spesialis pada satu bidang, melainkan mencoba pada semua bidang ilmu pengetahuan. Harapan kita di usia HMI yang ke-78 tahun ini, HMI harus kembali menegaskan kiprahnya sebagai organisasi gerakan pembaharuan bagi semangat ke-Islaman, ke- Indonesiaan dan ke-Modernan bagi kemajuan umat dan bangsa.

Di akhir cacatan kritis saya ini, saya ingin sampaikan bahwa di usia ke-78 tahun HMI, kader HMI harus belajar dan menjadikan “Nurcholish Madjid” sebagai kiblat gerakan pembaharuan bagi tubuh HMI. Karena bagi saya, salah satu kemunduran intelektual HMI disebabkan karena kita tidak lagi menjadikan Cak Nur sebagai platfrom perjuangan HMI untuk dijadikan teladan dalam membaca potret masa depan Indonesia dan kondisi umat Islam hari ini. Padahal pikiran-pikiran mercusuarnya guru bangsa kita Cak Nur sangatlah kontekstual dan relevan dengan era post truth hari ini. Bahkan telah begitu jelas digambarkan oleh Cak Nur dalam kerangka NPD HMI. Kita lupa bahwa Cak Nur telah menjadi pelita atau cahaya intelektual bagi kader HMI untuk melihat keluasan dunia, mengajarkan pada kita makna keragaman khasanah pemikiran keislaman, keindonesiaan dan kemodernan sebagai satu tarikan napas.

Bagi penulis, Cak Nur telah membawa kita dari kesempitan doktrin yang kaku kepada kelana gagasan mercusuar yang amat menantang dan berkemajuan. Cak Nur telah menjadi “Renewal of thinking patterns to understand islamic” (pembaharuan pola berpikir untuk memahami keislaman) untuk saya secara pribadi sekaligus membawa spirit kebangsaan untuk kita semua. “Masa depan peradaban berada ditangan kaum pemikir atau intelektual” (Nurcholish Madjid). (*)