Daerah  

BADKO HMI Maluku Utara Soroti Masalah Kesehatan dan Ketenagakerjaan

Akbar Lakoda. (Istimewa)

TERNATE, NUANSA – Badan Koordinasi (BADKO) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Maluku Utara menyoroti masalah di sektor kesehatan dan ketenagakerjaan di wilayah Malut. Sebagaimana diketahui, kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat.

Maluku Utara per 1 Agustus 2024 telah mencapai partisipasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyentuh angka 99,57 persen. Pencapaian tersebut menjadikan Maluku Utara sebagai salah satu provinsi yang memproleh Universal Health Coverage (UHC) Award 2024 kategori pertama.

Angka ini menunjukan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Namun faktanya, pelayanan kesehatan jauh dari kategori baik. Hal ini juga telah ditekankan oleh salah satu senator dapil Maluku Utara, Hasby Yusuf.

Ketua Umum BADKO HMI Malut, Akbar Lakoda, mengatakan perbedaan standar operasional prosedur (SOP) antara BPJS dan rumah sakit mengakibatkan tingkat pelayanan yang sangat buruk, bahkan bisa dibilang rumah sakit berorientasi pada profit, baik rumah sakit daerah maupun Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

“Sentralisasi kebijakan di level BPJS dan rumah sakit menjadi sumber masalah, karena orientasi bisnis rumah sakit seringkali bertentangan dengan prinsip pelayanan publik. Hal ini bisa dilihat dari beberapa keterangan yang menyebutkan mereka harus membayar tunggakan iuran baru bisa mendapat pelayanan dari rumah sakit,” ujarnya, Sabtu (22/2).

Selain itu, kata Akbar, angka kematian tidak murni karena takdir kematian sebenarnya adalah kekurangan fasilitas dan obat serta pelayanan yang kurang baik. Idealnya, sistem ini harus dimonitor dan dievaluasi kembali agar tanggung jawab sosial dalam menciptakan keadilan dan kesetaraan dapat diwujudkan.

Di Halmahera Selatan, terdapat peraturan bupati yang mengatur alokasi dana desa untuk pembayaran BPJS Ketenagakerjaan. Namun, dana desa yang tersedia tidak mampu mencakup seluruh pekerja rentan di desa. Situasi ini mencerminkan adanya malpraktik dalam kebijakan.

“Kepala BPJS seharusnya bertanggung jawab dalam memastikan cakupan layanan yang adil bagi semua pekerja. Kebijakan terkait harus diperjelas dan dikoordinasikan dengan pemerintah kabupaten dan provinsi agar tidak membebani desa secara berlebihan,” tegas Akbar.

Di sisi lain, sambung Akbar, perusahaan PT IWIP memiliki angka tingkat kecelakaan kerja sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 400 kasus. Belum lagi kasus yang tidak terpublis karena sikap ketertutupan IWIP terkait kecelakaan kerja dan jaminan kesehatan terhadap pekerja merupakan hal yang perlu diseriusi oleh pemerintah.

“Seharusnya perusahaan-perusahaan membayar semua hak-hak pekerja. Sayangnya, banyak yang mengabaikan aspek keselamatan tenaga kerja. BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh hanya menerima iuran, tetapi juga harus aktif dalam pengawasan dan sosialisasi agar perusahaan bertanggung jawab terhadap keselamatan pekerja. Ketidakpedulian perusahaan terhadap keselamatan kerja harus ditinjau kembali dan diatasi dengan kebijakan yang lebih baik,” tegas Akbar.

Sembari menambahkan, ketimpangan layanan BPJS Maluku Utara dan PT IWIP harus menjadi perhatian utama. Karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi dalam memastikan akses pelayanan kesehatan dan ketenagakerjaan yang setara bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, tanpa perbaikan sistem dan pengawasan ketat, keadilan sosial yang diamanatkan oleh konstitusi tidak akan terwujud secara nyata. (tan)

Exit mobile version