Oleh: Bachtiar S. Malawat
Mahasiswa Pendidikan IPA Unutara
_________________________________
SETELAH menulis ‘Prostitusi dalam tubuh Politik dan Organisasi’, saya kembali merasa tertantang untuk menulis terkait prostitusi namun dalam tubuh pendidikan. Studi ini menjadi kefokusan dan daya tarik tersendiri bagi penulis dalam menyelam tentang bagian-bagian pendidikan yang belum pernah dijabarkan di buku-buku pendidikan manapun. Bukan tanpa sebab, namun penulis berangkat dari sebuah kenyataan hidup dan analisis terkait permasalahan pendidikan hari ini. Selain itu, penulis juga merupakan mahasiswa pendidikan, sehingga penulis menyadari bahwa pentingnya memberikan pandangan terhadap perkembagan dinamika kehidupan dalam aspek pendidikan.
Pendidikan merupakan proses tanpa akhir yang diupayakan oleh siapapun, terutama negara sebagai penanggung jawab. Sebagai sebuah upaya meningkatkan kesadaran dan ilmu pengetahuan, pendidikan telah ada seiring dengan lahirnya peradaban manusia. Dalam hal inilah, letak pendidikan dalam kehidupan masyarakat sebenarnya, pendidikan mengikuti corak sejarah manusia. Tidak heran jika R.S Petres menandaskan bahwa pada hakekatnya pendidikan tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat.
Dengan kata lain bahwa pendidikan hadir sebagai upaya untuk memanusiakan manusia (Paulo Freire), olehnya tugas pendidikan untuk memelihara kehidupan dan mendorong kemajuan masyarakat. Dalam konteks mendorong kemajuan masyarakat ialah yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak memahami mampu memahami, dari sini tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education Is Not Preparation life: education is self itself.
Dari aktivitas memahami dan mengetahui tentu akan melahirkan ilmu pengetahuan yang sebanding degan apa yang dilakukan setiap orang, kebiasaan ini menunjukkan proses pendidikan yang berjalan normal baik terhadap guru dan murid juga lingkungan masyarakat. Marx dalam teori pendidikan kerakyatan memberikan penjelasan secara rinci aktivitas pendidikan harus menyeluruh. Ini bukan tanpa sebab, menurutnya masyarakat akar rumput juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang layak sebagai upaya mampu menjawab problematika yang terjadi. Selain itu, teori ini juga memberikan satu sikap tegas dan kritikan atas model pendidikan formal dan tradisional yang tidak merata.
Protitusi dalam tubuh pendidikan tidak menyoal tentang layanan seks yang dilakukan pendidik terhadap anak didik, prostitusi pendidikan membahas terkait kebiasaan orang-orang yang menyalahgunakan pendidikan sebagai proses memperoleh ilmu pengetahuan, berangkat dari orang-orang yang melakukan praktek melacur (perdagangan/jual beli) upaya mendapatkan hak dan kewajiban yang mengatasnamakan pendidikan hingga kapitalisasi pendidikan. Akibatnya kebanyakan orang rela melakukan apa saja untuk memperoleh gelar, pangkat, gaji degan cara-cara yang tidak baik seperti membayar dll.
Merujuk pada pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa prostitusi pendidikan ialah bentuk praktek pendidikan yang kotor dan tidak terpuji. Aktivitas ini telah hadir dalam budaya pendidikan kita di Indonesia saat ini, tidak hanya terjadi pada tenaga pengajar melainkan juga terhadap masyarakat khususnya para orang tua. Orang-orang ini cenderung memahami pendidikan dengan cara yang sempit. Alhasilnya, lahirlah pikiran-pikiran negatif dalam menjalankan pendidikan.
Cara pandang sempit terhadap pendidikan semacam inilah yang membawa dampak buruk bagi keberlangsungan pendidikan. Di kalangan masyarakat, pendidikan hanyalah di sekolah, cara berpikir formalistik inilah yang merasuk dalam pemikiran hingga pada akhirnya masyarakat beranggapan bahwa pendidikan hanyalah di sekolah tanpa memikirkan pendidikan di luar sekolah, hal jeleknya adalah ketika orang tua tidak lagi mendidik anaknya karena beranggapan sudah mendapatkan pendidikan di sekolah. Alhasil sekolah menjadi lembaga yang sah bagi masyarakat sebagai jalan mobilitas sosial.
Selain itu, ditambah degan wacana dan doktrin sosial bahwa yang berijazah yang dapat diterima di dunia pekerjaan. Akibatnya sebagian orang memanfaatkan hal ini sebagai peluang, lembaga pendidikan dijadikan jalan pintas untuk memperoleh ijazah tanpa harus mengikuti proses belajar mengajar. Penulis mengingat ketika masih SMA dan memasuki ujian, terlihat ada dua murid baru yang tiba-tiba mengikuti ujian nasional tanpa melakukan prose belajar. Tentu hal ini sangat memprihatinkan dikarenakan terjadi transaksi pembayaran, lembaga sekolah menjadi produk buruk untuk cara-cara yang tidak baik.
Hal ini setidaknya pernah dikritisi oleh Nuraini Sayomukti dalam bukunya Teori Pendidikan, baginya “Gaya berpikir logika formal berlawanan dengan pikiran esensial dan dialektis, sering menyesatkan. Padahal formalitas bukanlah esensi. Oleh sebab itu, ijazah ataupun sekolah tidak menunjukkan adanya mutu”. Tidak jarang orang yang bersekolah dengan tingkatan tinggi tetapi watak kecerdasannya rendah, mentalnya rusak, karakternya kerdil, pengecut, dan jiwanya koruptif. Sekolah justru melahirkan manusia-manusia dehuman yang akan merampok seluruh potensi kemanusiaan manusia yang hidup dalam sebuah negara.
Model seperti ini juga sering terjadi dalam tubuh tenaga pengajar baik guru maupun dosen, dewasa ini tenaga pengajar (guru/dosen) kebanyakan tidak mampu menghidupkan kreativitas mengajar yang berimbas pada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat kita buktikan dengan kualitas belajar mengajar yang cenderung monoton dan tidak inovasi.
Dalam dunia akademik, dosen sering memperoleh gelar degan berbagai cara, hal-hal licik yang dilakukan semisal membayar untuk memperoleh gelar profesor, insinyur, dan magister, kendati kualitas pikiran tidak sepadan dengan pemberian gelar. Hal ini sering terjadi, jika kita melihat kebelakang sejak dahulu pemberian gelar terhadap mahasiswa membutuhkan perjuangan yang amat sulit. Era ini semua berubah, transaksi terjadi di mana-mana, belum lagi aktivitas pendidikan yang sering terikat dengan patron kekuasaan yang terlalu berlebihan, akibatnya terjadi patron politik yang menciptakan relasi kuasa.
Pendidikan dipolitisasi akibat praktek transaksi dengan pihak-pihak yang menghimpit di tiang-tiang kekuasaan, padahal proses memanusiakan manusia semestinya mempunyai prinsip dan dasar pikir yang jelas dari apa yang didapatkan untuk mampu dipertanggungjawabkan. Hari ini tidak heran jika kebanyakan dosen bingung bahkan ada yang tidak tahu bagaimana cara membuat jurnal, tentu cara yang akan dilalui ialah menghalalkan segala cara dengan membayar dan sebagainya. Namun inilah yang penulis ingin katakan dari wajah pendidikan kita saat ini.
Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Paulo Freire bahwa aktivitas pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, maka penulis berkesimpulan bahwa hanya ada dua aktivitas yang paling jitu untuk mencapai manusia yang manusiawi. Dengan ini penulis ingin menyampaikan bahwa selama proses itu yang hilang dalam pendidikan kita ialah kebiasaan membaca dan menulis, aktivitas membaca dan menulis adalah dua hal yang sangat penting bagi pemikiran kritis. sebagaimana diakui oleh para ilmuan bahwa bahasa adalah kunci bagi berbagai pemikiran tingkat tinggi, kekuatan pikiran pada dasarnya berbanding lurus dengan kualitas bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan.
Jika hal ini mampu dilaksanakan konsisten maka penulis meyakinkan bahwa pendidikan Indonesia akan menunjukkan citra pendidikan yang sebenarnya. Akhir kata, penulis mengutip apa yang disampaikan oleh Presiden Turki bahwa “Kemenangan hanya dapat dicapai dengan kualitas”. (*)