Oleh: Aulia Amatullah Asrif La Jamulia
Pengurus PSM Ulil Al-Bab
________________________
ISTILAH Ibu Pertiwi sering digunakan sebagai simbol atau personifikasi dari negara Indonesia. Pertiwi, merujuk pada tanah air Indonesia, sedangkan kata Ibu menggambarkan sosok seorang wanita yang memiliki peran penting sebagai pengasuh, pendidik, dan pelindung bagi setiap anak. Jika kita kaitkan kedua istilah ini, Ibu Pertiwi menjadi gambaran bumi Indonesia yang penuh kasih, memberikan kehidupan, serta menjadi tempat bagi setiap warganya untuk belajar, berkembang, dan meraih kesejahteraan. Sebagai Ibu yang melindungi, negara diharapkan menjadi tempat yang aman bagi seluruh rakyat, menjamin hak-hak mereka, dan memberikan rasa kedamaian. Namun, ketika melihat kondisi yang terjadi di masyarakat Indonesia dewasa ini, kita mendapati adanya kontras yang mencolok. Meskipun Ibu Pertiwi seharusnya menjadi tempat perlindungan dan sumber kesejahteraan, realitas yang ada sering kali bertentangan dengan harapan tersebut. Banyak rakyat Indonesia yang masih terjerat dalam kemiskinan, ketidakadilan sosial, serta kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak. Ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin melebar juga menjadi masalah yang belum sepenuhnya teratasi. Kenyataan-kenyataan inilah yang secara tidak langsung menjelaskan bahwa peran negara sebagai Ibu Pertiwi yang memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada anak-anaknya seakan terabaikan.
Jika kita sungguh-sungguh menghayati dan mendalami makna lagu ‘Indonesia Raya’ yang sering kita nyanyikan, maka kita akan menyadari bahwa lagu ini bukan sekadar penghibur atau nyanyian belaka. Indonesia Raya adalah lagu yang sudah begitu akrab di telinga kita, didengarkan hampir di seluruh penjuru Indonesia—baik di lembaga pendidikan, ruang-ruang pertemuan formal, kantor-kantor politik, maupun di kalangan masyarakat luas. Lagu ini memiliki nilai yang sangat tinggi, yang menyimpan harapan besar bagi kesejahteraan dan masa depan bangsa yang lebih baik. Namun, ironisnya, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam lagu tersebut sering kali tidak terwujud dalam kenyataan, bahkan kadang berbanding terbalik dengan realitas yang ada.
Indonesia, Tanah Airku, kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah di atas permukaan bumi. Menurut UUD 1945, SDA tersebut seharusnya menjadi hak milik rakyat, dan konstitusi kita juga berjanji untuk mewujudkan kesejahteraan melalui pengelolaan SDA yang adil. Namun, kenyataannya sangat berbeda. Rakyat justru terintimidasi dan diperlakukan sebagai budak oleh para penguasa di negeri sendiri. Mengutip perkataan Bapak Kasim, seorang nelayan, “Tanah dan air bukan milik rakyat, karena katanya air saja dibeli”. Pernyataan ini sangat menggugah dan mencerminkan kenyataan pahit yang terjadi. Jika memang tanah dan air adalah milik rakyat, maka seharusnya segala sumber daya alam ini tidak dipungut biaya atau dibebankan kepada rakyat. Sayangnya, yang terjadi justru rakyat yang harus menanggung beban tersebut, bahkan di tanah kelahirannya sendiri, sementara para penguasa terus menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia tanpa memberi kesejahteraan yang seharusnya mereka terima.
Jika kita cermat dalam melihat situasi bangsa ini, kita akan menyadari banyak sekali dosa yang telah dilakukan oleh para pemimpin negara terhadap masyarakat, yang jumlahnya tak terhitung. Jika kita berniat untuk mencatat dan mendokumentasikan semua kesalahan tersebut, dari masa Orde Baru hingga Reformasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, jumlahnya akan sangat luar biasa. Bahkan, jika lautan dijadikan tinta, pohon dan rerumputan sebagai pena, serta tujuh lapisan langit sebagai kertas, semuanya tetap takkan cukup untuk menuliskan segala dosa itu.
Belum lama ini, demonstrasi dengan tema “Indonesia Gelap” yang digelar oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, kembali memunculkan keresahan. Salah satu isu yang mencuat adalah mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI No. 34 Tahun 2004. RUU ini akhirnya disahkan melalui sidang paripurna di Gedung DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025, yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, bersama Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Saan Mustopa. Keputusan ini mendapat penolakan dari banyak pihak, yang menilai bahwa revisi ini berpotensi mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas (kekebalan hukum) bagi anggota TNI. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa UU TNI tersebut membawa kembali TNI ke dalam ranah sosial politik dan bahkan ekonomi-bisnis, mirip dengan masa Orde Baru yang telah lama kita tinggalkan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ancaman yang dihadapi Indonesia saat ini mirip dengan bahaya yang dirasakan oleh masyarakat pada masa Orde Baru. Krisis finansial dan pembungkaman ruang kebebasan yang terjadi saat itu, kini mulai terasa kembali. Dalam situasi ini, satu-satunya solusi adalah membangun kesadaran mandiri di kalangan masyarakat, karena kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan saat ini tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat. Sistem yang ada lebih banyak dibuat demi kepentingan pribadi, yang pada gilirannya mengancam kesejahteraan dan hajat hidup seluruh lapisan masyarakat.
Gerakan Indonesia Gelap adalah akumulasi dari kemarahan rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak senonoh dan amoral, sehingga melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh Pancasila. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab bagi mereka yang berpikir dan peduli untuk bangkit, memperjuangkan, dan memperbaiki segala kerusakan yang terjadi di negeri ini.
Sebagai bangsa yang merdeka, kita seharusnya merenung dan bertanya, apakah Ibu Pertiwi benar-benar telah memenuhi perannya sebagai pelindung dan pengayom rakyatnya? Seperti halnya seorang ibu yang penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, Ibu Pertiwi seharusnya memberi tempat yang aman, memberikan kesejahteraan, dan menjamin kehidupan yang layak bagi setiap warganya. Namun, apakah kenyataannya demikian.
Dalam konteks ini, kita mulai mempertanyakan apakah negara kita telah bertindak sebagai Ibu Pertiwi yang seharusnya, atau justru menjadi Ibu Tiri yang mengabaikan hak-hak dasar rakyatnya. Ibu Tiri dalam hal ini menggambarkan sosok yang hadir hanya untuk menguasai, tanpa memberikan kasih sayang, perhatian, dan perlindungan yang seharusnya diterima oleh anak-anaknya. Tantangan besar bagi kita sebagai bangsa adalah bagaimana memperjuangkan dan memastikan bahwa Indonesia benar-benar menjadi Ibu Pertiwi yang memelihara dan melindungi setiap warganya, tanpa ada yang tertinggal dalam ketidakadilan dan penderitaan.
Jangan sampai kita melupakan kenyataan bahwa kita dilahirkan dari rahim Ibu Pertiwi, yang seharusnya kita cintai dan hormati. Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita diperlakukan seperti anak tiri di tanah kelahiran kita sendiri. (*)