Opini  

Masalah Sampah: Butuh Konsistensi Kebijakan Politik 

Oleh: Irawan Asek
Alumni Teknik Sipil Universitas Khairun

_____________________

DATA Waste Management in ASEAN Countries, UNEP 2017 mencatat bahwa timbulan sampah negara ASEAN cukup tinggi, yaitu mencapai 1.14 kg/kapita/hari dengan Indonesia dinobatkan menjadi negara penghasil sampah terbesar dengan jumlah 64 juta ton/tahun. Populasi Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Di samping itu, perubahan pola konsumsi juga memberikan kontribusi dalam menimbulkan jenis sampah yang semakin beragam. Permasalahan sampah yang kompleks di Indonesia tersebut tentu akan berdampak terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan manusia. Namun pembicaraan tentang proses tata kelola sampah sering kali diabaikan. Padahal persoalan sampah sudah seharusnya menjadi bagian penting dari keseluruhan isu tata kota. Persoalan tata kelola sampah bukan masalah monopoli satu daerah, namun telah menjadi masalah semua daerah yang ada di Indonesia. Selama ini, sampah masih dipandang sebagai barang sisa yang tidak berguna. Dalam prosesnya, pengelolaan sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir, yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Padahal timbunan sampah dengan volume yang besar di TPA berpotensi melepas gas metana (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.

Jangan lupa, bahwa Indonesia punya sejarah “Tragedi Luwigajah”. Dimana tragedi tersebut merupakan salah satu bencana lingkungan paling tragis yang terjadi pada 21 Februari 2005 di TPA Luwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat. Sampah yang menumpuk hingga setinggi sekitar 60 meter di TPA Luwigajah itu tanpa pemrosesan yang baik, sehingga ketika hujan deras dan penumpukan gas metana dari sampah organik yang membusuk, terjadilah ledakan gas yang memicu longsor sampah. Dampaknya, 157 orang meninggal dunia, puluhan rumah tertimbun, dan lingkungan sekitar tercemar parah. Penumpukan sampah berlebihan tanpa pemrosesan yang baik dan sistem pengelolaan sampah secara open dumping yang tidak memenuhi standar keselamatan dianggap sebagai penyebab utama bencana tersebut.

Jika melihat kembali dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H Ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 28H Ayat (1) dalam Undang-Undang Dasar tersebut karena menganggap lingkungan yang sehat itu menjadi cita-cita bagi setiap negara. Sebab pada dasarnya, lingkungan yang sehat dapat berpengaruh baik pada kesehatan manusia, kesehatan manusia yang membaik dapat berpengaruh juga terhadap peradaban yang lebih baik. Di sisi lain, amanat Undang-Undang Dasar tersebut juga memberikan konsekuensi bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah, meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan pihak lain.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, secara normatif kebijakan pengelolaan sampah dengan pendekatan mengurangi dari sumbernya dan daur ulang melalui penerapan prinsip 3R: reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), telah dimulai. Namun realitasnya, pengelolaan sampah selama ini hanya bertumpu pada pendekatan metode kumpul-angkut-buang dengan mengandalkan keberadaan TPA. Metode semacam itu berpotensi menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan kualitas lingkungan. Padahal ada semangat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang bertujuan menjadikan sampah sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Artinya, sampah bukan sebagai limbah yang dibuang begitu saja, tapi harus dipandang sebagai bahan yang masih punya nilai ekonomi, energi, atau fungsi lain. Jelas di pasal 3 dalam Undang-Undang tersebut juga telah disebutkan bahwa, “pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi”.

Itu artinya, paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan sampah. Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan. Beberapa daerah di Indonesia sudah mulai bergerak menggunakan paradigma baru, namun masih bersifat sporadis. Beberapa daerah yang lain masih menggunakan paradigma lama. Itu karena tidak ada konsistensi melihat masalah sampah sebagai persoalan yang urgen. Untuk membuktikan inkonsistensi dalam tata kelola sampah, bisa dilihat dari proses kebijakan publik (publik policy) setiap periodesasi pemerintahan. Karena pengelolaan sampah tidak terlepas dari proses penetapan kebijakan pemerintah.

Secara terminologi, kebijakan menurut Miriam Budiardjo (2013), adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan tersebut memiliki aspek kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah. Kebijakan publik dapat dilihat dari tiga lingkungan kebijakan, yaitu perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian kebijakan (evaluasi). Pada tahap penilaian atau proses evaluasi, apakah suatu kebijakan telah berlaku secara efektif atau belum, ada unsur-unsur yang berperan di dalamnya. Pada tahap inilah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, ternyata hanyalah peraturan yang tidak memiliki kekuatan proyeksi bagaimana seharusnya pengelolaan sampah di Indonesia.

Sudah saatnya, pemerintah pusat harus bertekad menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah secara terus-menerus. Oleh karenanya, pemerintah harus punya komitmen serta konsisten dalam bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan demi memastikan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Bahwa dalam pengelolaan sampah diperlukan kejelasan tanggung jawab, sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien. Salah satu tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan sampah adalah menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat, karena masalah sampah terkait erat dengan perilaku masyarakat (social behavior). Walaupun sebenarnya, Indonesia telah memiliki aturan kebijakan di era Presiden Joko Widodo, yaitu Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang selanjutnya disebut Jakstranas, dengan target 30% pengurangan sampah dan 70% penanganan sampah pada tahun 2025 sekarang. Namun terkait hal ini, lagi-lagi belum dapat dilaksanakan secara optimal.

Sebagai pengingat, bahwa Indonesia telah memiliki Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang merupakan bukti komitmen pemerintah dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan dan Perjanjian Paris (Paris Agreement) untuk menanggulangi dampak perubahan iklim. Selain itu, Indonesia juga memiliki komitmen pada G-20 dengan maksud menurunkan emisi gas rumah kaca melalui upaya sendiri dan dukungan internasional dari sektor kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi, transportasi, industri, dan pengelolaan limbah. Melalui komitmen tersebut, Indonesia didorong untuk mampu mengatasi ancaman perubahan iklim melalui penurunan emisi karbon. Semua itu sebagai upaya mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan agenda pembangunan global yang disepakati oleh negara-negara di dunia demi kemaslahatan umat manusia dan planet bumi hingga tahun 2030.

Jadi, pemerintah memegang peranan penting dalam mitigasi pengelolaan sampah di Indonesia. Sebagai masyarakat, kami percaya bahwa pemerintah seharusnya memiliki kemampuan dalam mengatasi masalah sampah. Salah satu faktor kunci yang menentukan masalah sampah bisa tertangani di setiap daerah adalah infrastruktur politik dan atau komitmen kepemimpinan. Pertanyaannya adalah: ada tidak pemimpin hari ini yang punya konsen terhadap isu sampah? Mempunyai tekad kuat untuk menuntaskan persoalan sampah dan menganggap sampah sebagai bagian penting dari keseluruhan isu tata kota? Wallahu a’lam. Pertanyaan tersebut bukan bermaksud menggelitik untuk mengkritik, tetapi memberi secercah harapan terkait perkara sosial, ekonomi, ekologi, bahkan edukasi tentang pengelolaan sampah untuk menunjang pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Masyarakat yang berkelanjutan tergantung pada kualitas lingkungan yang sehat. Karena itu, lingkungan adalah warisan berharga yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang. (*)

Exit mobile version