Opini  

Bidaah dalam Kekuasaan

Oleh: Bachtiar S. Malawat

_______________________

TULISAN dengan judul Bidaah ini penulis angkat berdasarkan cerita film Bidaah fiksi Malaysia yang viral baru-baru ini. Penulis merasa tertarik untuk menulis hal-hal yang terbilang menarik jika dikaitkan degan persoalan lain untuk menambah khazanah pengetahuan yang modern. Seperti halnya penulis pernah menulis tentang prostitusi yang dikontekskan pada politik, pendidikan dan organisasi. Kali ini penulis menulis tentang bidaah namun dalam sudut kekuasaan.

Kekuasaan dalam tafsir yang waras, adalah amanah. Tapi di Maluku Utara, kekuasaan lebih menyerupai wahyu palsu yang jatuh ke tangan nabi gadungan. Apa yang disebut pemimpin, lebih sering bermain peran sebagai Walid bukan hanya dalam konteks drama, tetapi dalam kenyataan hidup. Mereka menutup mata rakyat, menyuruh membayangkan wajah kekuasaan, dan menyebut itu cinta tanah air.

“Pejamkan mata, bayangkan muka Walid,” ujar si pemimpin dalam serial Bidaah. Kata-kata itu kini menjadi realitas psikologis rakyat Maluku Utara yang digiring ke jurang ketidaktahuan. Yang mereka lihat bukan masa depan, tapi wajah kekuasaan yang rakus dan kosong dari tanggung jawab.

Bidaah dalam makna asalnya berarti inovasi yang menyimpang dari garis ilahiah. Dalam kekuasaan, bidaah adalah semua tindakan yang membajak kepercayaan publik dengan dusta sistematis, memanipulasi struktur untuk kepentingan keluarga, partai, dan kantong pribadi. Inilah dosa struktural yang menjelma institusi kekuasaan yang tak mengenal malu.

Maluku Utara adalah provinsi kaya. Tanahnya mengandung emas, nikel, dan kekayaan laut yang tak pernah habis. Namun rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan struktural. Menurut BPS (2024), jumlah penduduk miskin di Maluku Utara mencapai 6,32% atau sekitar 83 ribu jiwa. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Malut 2024 melesat hingga 11,88%, tertinggi di Indonesia. Tapi siapa yang menikmati angka itu?

Data dari BPK RI menunjukkan bahwa dana transfer pusat ke Malut tiap tahun melebihi Rp 4 triliun. Namun pembangunan infrastruktur dasar di desa-desa tertinggal seperti di Obi, Gane, dan Loloda masih terhambat. Anak-anak sekolah berjalan kaki puluhan kilometer, puskesmas kekurangan obat, dan nelayan sulit menjual hasil tangkapannya karena akses transportasi yang buruk.

Selain itu, demikian juga dengan pendidikan di Maluku Utara telah menjadi korban dari kejahatan kekuasaan. Kepala-kepala daerah berlomba membangun gedung megah dan menyebut itu keberhasilan. Tapi ketika ditanya soal kualitas guru, penerapan kurikulum, atau akses internet di daerah terjauh, mereka akan bicara anggaran yang “belum cair” atau “tanggung jawab pusat”. Mereka paham sekali bagaimana menari di atas kebodohan massal yang mereka ciptakan sendiri.

Tak ada kekuasaan yang bekerja sendiri. Ia butuh birokrasi sebagai alat eksekusi. Di Maluku Utara, birokrasi telah berubah menjadi semacam istana bayangan tempat para “Walid” kecil membangun imperium.

Ketika terjadi dugaan korupsi dalam program pendidikan, tidak ada kajian ilmiah yang muncul dari kampus. Ketika terjadi intervensi politik dalam penempatan guru, mahasiswa tak bersuara. Mereka seolah tertidur dalam buaian administrasi dan takut akan kehilangan akses bantuan.

Selain itu, tidak ada yang lebih menyakitkan dari melihat anggaran publik dijadikan lahan rampasan. Menurut laporan BPK RI Perwakilan Malut (2023), setidaknya terdapat 162 temuan keuangan yang merugikan negara hingga Rp 81 miliar dalam APBD Provinsi Maluku Utara dan 10 kabupaten/kota.

Contoh paling nyata adalah proyek pembangunan infrastruktur yang mangkrak. Di Pulau Gebe, jalan lingkar yang menghabiskan anggaran Rp 12 miliar tidak selesai sejak 2021. Di Halmahera Selatan, proyek rumah sakit tipe C di Obi senilai Rp 34 miliar hanya menyisakan tiang pancang dan papan nama.

Ada satu ironi besar, kekuasaan di Maluku Utara kini diwariskan layaknya harta warisan. Anak pejabat jadi pejabat. Istri pejabat jadi anggota DPR. Keponakan bupati jadi kepala dinas. Ipar jadi sekretaris daerah, Ini bukan demokrasi, ini monarki yang menyamar.

Kita sedang hidup dalam sistem dinasti politik yang brutal. Mereka menikahi jabatan seperti menikahi tanah. Kekuasaan diwariskan dari ruang makan ke ruang sidang. Tak peduli apakah punya kapasitas atau tidak, yang penting punya nama keluarga.

Dalam kosmologi timur, kekuasaan bukan sekadar jabatan. Ia adalah titipan leluhur dan representasi martabat kolektif. Seorang raja, bobato, atau kepala daerah tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyat, tapi juga kepada roh-roh yang menjaga negeri. Maka penyimpangan kekuasaan adalah pengkhianatan terhadap sejarah dan identitas.

Sayangnya, kekuasaan hari ini kehilangan arah spiritualnya. Ia berubah menjadi mesin hasrat pribadi. Jabatannya adalah kebanggaan, bukan tanggung jawab. Kekayaan dianggap rezeki jabatan, bukan amanah. Loyalitas lebih penting dari kejujuran. Akibatnya, kekuasaan kehilangan kesakralannya.

Di akhir episode Bidaah, Walid akhirnya terungkap sebagai pembohong. Tapi dalam dunia nyata, kita tak bisa menunggu ending dramatis. Kita harus menciptakan ending itu sendiri.

Maluku Utara butuh revolusi kesadaran. Butuh generasi yang tidak tunduk pada baliho, tidak silau pada gelar, dan tidak takut berkata benar. Maka, bukalah matamu wahai rakyat tertindas. Jangan bayangkan wajah Walid.

Bayangkan wajah anak-anakmu yang harus sekolah di ruang kelas tanpa kursi. Bayangkan wajah ibumu yang harus membayar seragam meski katanya pendidikan gratis. Bayangkan wajah dosenmu yang terpaksa diam agar tak kehilangan proyek. Dan dari situ, kita bisa mulai bergerak. Akhir kata. Tandang Ke Gelanggang Walau Seorang. (*)