Opini  

Dosen Raib dan Dampaknya bagi Mahasiswa 

Oleh: Tirta Wowotubun
Pengurus BEM FISIP Universitas Nuku

_____________________

JARANGNYA dosen masuk kelas dan melakukan pembelajaran menimbulkan masalah yang imbasnya kena pada mahasiswa. Hal tersebut dirasakan oleh banyak mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nuku. Sedari awal semester hingga akhir semester, mereka mendapati mata kuliah yang dosennya jarang masuk, bahkan tidak pernah masuk hingga akhir semester.

Kalau tidak masuk namun ada kelas pengganti atau online masih okelah, tapi pada kasus ini benar-benar tidak masuk untuk mengisi mata kuliah, jadi mata kuliah yang dikontrak malah jadi sia-sia, katanya ada rapat atau ada urusan entah itu benar atau tidak.

Dengan tidak hadirnya dosen tersebut, berimbas pada kapasitas pengetahuan mahasiswa mengenai basic jurusannya yang rata-rata masih minim dan malah seakan-akan diminta untuk belajar otodidak.

Sebagai Ketua Tingkat (Keting), saya selalu mengonfirmasi dosen terkait, jauh sebelum proses pembelajaran dilaksanakan. Namun, jarang seringkali dosen yang merespons, bahkan ada yang tidak membaca pesan tersebut. Namun ketika bertemu, mereka malah menyalahkan mahasiswa yang tidak mencari dosen di kampus.

Padahal kalau kasus ini kita korelasikan dengan salah satu buku karyanya Paulo Freire yang berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas”, di situ dia menjelaskan tentang peran guru dan siswa. Dalam pendekatan Friere, guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi. Sebaliknya guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa dalam proses pembelajaran. Freire juga menekankan pentingnya hubungan egaliter antara guru dan siswa. Dalam konteks ini, guru dan siswa dianggap sebagi mitra dalam proses belajar. Keduanya belajar dari satu sama lain, mengurangi hierarki tradisional yang sering ada di ruang kelas. Pemikiran Friere ini bisa menjadi referensi dalam proses belajar mengajar di kampus, dikarenakan banyak dosen yang lupa akan kewajibannya dan hanya menerima haknya. Dalam kasus ini akan melahirkan siklus malas belajar di kalangan mahasiswa. Nah, ini menjadi salah satu alasan kenapa Mahasiswa FISIPOL UNNU susah berkembang.

Saya sebagai bagian dari mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, mendapati dalam satu semester ada beberapa dosen yang kerap kali absen dengan alasan rapat, keluar daerah, dan sakit, respons dari teman pun nihil dan sering dianggap remeh, bahkan ada teman sekelas yang gemar karena tidak perlu masuk kelas. Kebanyakan mewajarkan, kemungkinan pada senang karena diliburkan.

Salah satu tugas dosen adalah melaksanakan pembelajaran, yang mencakup pendampingan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar serta mengevaluasi perkembangan pembelajarannya. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 60 dijelaskan bahwa seorang dosen berkewajiban: a. melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat; b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta; c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi, bukan malah mencari-cari kesalahan mahasiswa.

Pada kasus ini kalau dosennya memang memiliki niat untuk mengajar pastinya akan mengonfirmasi balik pada mahasiswa, namun ketika di-chatting untuk konfirmasi tidak dibalas, bahkan tidak di-read, dan ketika bertemu malah menyalahkan mahasiswanya.

Sebagai salah satu mahasiswa komunikasi saya melihat bahwa ini adalah imbas dari buruknya komunikasi yang terjalin antara dosen dan mahasiswa seperti apa yang dijelaskan oleh Suranto AW di dalam bukunya yang berjudul “Komunikasi Interpersonal” halaman 8, Suranto menyebutkan komponen-komponen di dalam komunikasi interpersonal, salah satunya adalah komunikan/penerima, ia menegaskan bahwa komunikan harus bersifat aktif, selain menerima pesan melakukan pula proses interpretasi dan memberikan umpan balik. Berdasarkan umpan balik dari komunikan inilah seorang komunikator akan dapat mengetahui keefektifan komunikasi yang telah dilakukan.

Sebenarnya hal ini sudah lama dialami, tapi mungkin karena banyak mahasiswa yang terlena dengan tidur siang juga rebahan, sehingga menganggap dosen yang tidak masuk kelas adalah hal yang baik dan tidak ada masalah.

Pada titik ini dosen-dosen yang sering tidak masuk kelas telah sukses membentuk karakter mahasiswanya menjadi pemalas. Bagaimana tidak, coba kita lihat pada bukunya James Clear yang berjudul “Atomic Habits”, di Bab 6 Hal.95, ditegaskan bahwa bentuk perubahan paling umum bukan dari dalam, melainkan dari luar, kita diubah oleh dunia di sekitar kita, setiap kebiasaan tergantung pada konteks. James Clear memberikan sebuah analogi sederhana mengenai hal ini, dia katakan bahwa di gereja, orang cenderung mengobrol sambil berbisik, di jalanan yang gelap, orang cenderung bersikap waspada, dengan cara ini dia mencoba menjelaskan bahwa lingkungan sangat berpengaruh untuk mengubah seseorang. Kembali pada pembahasan mengenai kondisi mahasiswa yang jadi malas, secara tidak sadar, ketidakaktifan dosen dalam proses pembelajaran dapat membetuk karakter mahasiswa menjadi pribadi yang pengangap bahwa belajar itu tidak penting.

Yang tidak saya pahami itu ada dosen yang tidak masuk dari awal semester sampai akhir, dan pada saat Ujian Akhir Semester (UAS) malah kasih soal, kalau kayak gini bagaimana cara mahasiswa menjawabnya. Bahkan terkadang demi mengamankan situasi dan kondisi, dosen-dosen itu tetap memberikan nilai B untuk main aman agar tidak dikomplain oleh mahasiswa yang juga sudah malas.

Pertanyaannya, pernahkan dosen berpikir bahwa ketika dia tidak masuk mata kuliah, apa yang akan terjadi pada mahasiswanya, namun kelihatanya ini adalah hal yang tak pernah dipikirkan oleh dosen yang jarang masuk untuk mengisi mata kuliah. Padahal peran dosen sangat krusial dalam membentuk pengalaman belajar mahasiswa. Keterlibatan aktif dosen tidak hanya meningkatkan pemahaman akademis, tetapi juga mendukung perkembangan pribadi dan profesional mahasiswa. (*)