Opini  

Halmahera Utara dan Kekuatan Cerita

Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________________

dengan cerita, kita bangun daerah bukan hanya dari atas ke bawah, tetapi dari dalam ke luar…

Di antara hamparan gugusan pulau-pulau di timur Nusantara, Halmahera Utara berdiri seperti sajak yang belum selesai ditulis. Halmahera Utara bagai menyimpan sunyi dan lintasan sejarah dalam waktu yang terus bergerak.

Di balik rimbun hutan dan deru lautnya yang tua, terselip kisah-kisah yang menunggu untuk dijemput, untuk dihidupkan kembali lewat kata. Lewat kekuatan cerita.

Cerita adalah jantung yang berdetak dalam diam. Ia adalah ingatan kolektif yang melampaui peta administratif, lebih dalam dari dokumen pembangunan, dan lebih hidup dari sekadar statistik pertumbuhan ekonomi.

Ketika kita bicara tentang pembangunan Halmahera Utara, kita tidak hanya bicara tentang jalan, jembatan, dan angka PDRB. Kita bicara tentang roh tempat ini—tentang narasi yang mengikat komunitas, membentuk identitas, dan menanam harapan.

Mulai dari desa-desa di Malifut, Kao, Tobelo, Galela, hingga Loloda Kepulauan misalnya, orang tua bercerita tentang laut dengan tradisi larangan menangkap ikan di waktu tertentu demi menjaga keberlanjutan ekosistem.

Bukan hanya kearifan ekologis, tapi juga kisah etika, relasi, dan hormat terhadap alam yang diucapkan dalam bentuk mitos dan tabu. Cerita ini bukan masa lalu yang usang, melainkan masa depan yang menunggu untuk dirangkul kembali (Ellen, 2007: 237).

Pembangunan yang tidak memulai dari cerita, tak lebih dari proyek-proyek bisu yang bisa jadi merusak tubuh dan jiwa tanah ini.

Cerita adalah fondasi kultural. Dengan cerita, kita bangun wilayah Halmahera Utara bukan hanya dari atas ke bawah, tetapi dari dalam ke luar. Sebagaimana kata Walter Benjamin dalam bukunya : “Illumination : Essays and Reflection” : “Pendongeng mengambil apa yang ia ceritakan dari pengalamannya sendiri atau yang dilaporkan oleh orang lain dan kemudian ia menjadikannya pengalaman bagi mereka yang mendengarkan kisahnya”
(Benjamin, 1968: 87).

Saatnya kita menatap Halmahera Utara dengan cerita-cerita baik.

Pertama, melalui pendidikan berbasis lokal. Cerita rakyat, sejarah kerajaan yang hidup dalam ruang refleksi masyarakat dan sebagainya, atau asal-usul desa bisa menjadi bahan ajar yang menyuburkan rasa cinta pada tanah sendiri. Ketika anak-anak mengenal nama-nama leluhur dan legenda kampung mereka, mereka tumbuh tidak hanya sebagai murid sekolah, tetapi sebagai penjaga warisan.

Kedua, cerita menjadi nafas dalam ekowisata berbasis komunitas. Gunung Dukono, atau kisah Hibualamo bukan hanya titik geografis, tetapi lanskap yang dipenuhi makna. Di sinilah pentingnya mengangkat kembali narasi-narasi lokal dalam brosur wisata, dalam tur berbasis cerita rakyat, sebagaimana ditunjukkan dalam riset-riset penelitian bahwa “wisata naratif” mampu menciptakan pengalaman yang lebih berkelanjutan dan mengakar.

Ketiga, dalam politik lokal yang humanis, pemimpin daerah bukan hanya eksekutor anggaran, melainkan penjaga narasi kolektif.

Mereka harus menulis sejarah bersama rakyat, bukan hanya di meja birokrasi. Dalam konteks ini, cerita menjadi alat untuk mendengarkan, merangkul, dan membangun rasa bersama. Cerita adalah demokrasi yang bersuara dari bawah.

Cerita juga punya daya penyembuh. Dalam masyarakat yang pernah dibaluri konflik di awal tahun 2000-an, cerita merupakan alat rekonsiliasi, dan perekat relasi. Kisah tentang perjumpaan, bukan perpecahan; Kisah tentang menjalin dan menganyam kehidupan sosial; serta kisah tentang gotong royong, bukan dendam, tapi meleburkan keegoan.
Di sinilah teori Paul Ricoeur tentang “naratif sebagai bentuk rekonsiliasi” menemukan gaungnya (Ricoeur, 2004: 456).

Di tengah geliat modernisasi dan tuntutan global, Halmahera Utara punya satu senjata: cerita yang harus diperkaya.

Mari kita membangun tanah ini tidak hanya dengan cetak biru pembangunan, tapi dengan dongeng, hikayat, kisah, cerita, dan suara para tetua yang tak pernah lelah, tak pernah lekang mengisahkan tanah airnya.

Karena siapa yang kehilangan ceritanya, akan kehilangan dirinya.
Halmahera Utara harus dibangun dari cerita-cerita yang baik. (*)