Opini  

Paradoks Kebaikan Umat Manusia dalam Kajian Psikologis 

Oleh: Kurniyaji Holle
Ketua Bidang Riset & Komunikasi Konseling Ikatan Konseling Maluku Utara

___________________

SELAMA berabad-abad lamanya, manusia menjalankan tugasnya sebagai pembawa kemajuan di alam semesta, semua tugas yang dijalankan tak lain dan tak bukan hadir dari sebuah impian tentang kemajuan. Tak tanggung-tanggung impian tentang kemajuan membawa manusia pada revolusi besar-besaran mulai dari pengembangan ilmu pengetahuan, hingga menciptakan teknologi yang apabila ada manusia yang lahir di 2,5 jt tahun yang lalu hidup di zaman sekarang akan merasa bahwa sekarang dia hidup di dalam surga. Namun setiap revolusi yang diciptakan manusia tidak lepas dari tindakan kejahatan, seperti genosida dan peperangan. Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana impian tentang kemajuan yang diciptakan oleh manusia justru menjadi sebuah kenistaan yang teramat jahat dan jauh dari prinsip kemanusiaan.

Bagaimana anda dan saya menilai sebuah kebaikan? Dasar dari terjadinya konflik antar manusia karena adanya perbedaan sudut pandang, ideologi dan keyakinan akan sesuatu. Yah, sebuah penjelasan yang lumrah untuk dipahami oleh seluruh umat manusia. Perbedaan yang mendasar menjadi sebuah ajang pembuktian mulai dari pembuktian antar personal hingga pembuktian antar kelompok. Kenapa saya mulai dengan pertanyaan di atas? Sebab akar dari permasalahan yang memicu konflik antar manusia adalah kebaikan. Kita bisa membagi kebaikan ke dalam dua sifat, ada kebaikan yang sifatnya subjektif dan intra subjektif. Kebaikan subjektif adalah kebaikan yang tertanam dalam diri seorang individu berdasarkan perkembangan proses mentalnya yang dipengaruhi oleh faktor sosial, keluarga, lingkungan, dan proses pendidikan. Sedangkan kebaikan intra subjektif adalah kebaikan yang tertanam dalam sebuah kelompok yang membentuk sebuah kepercayaan akan suatu paradigma yang diyakini benar.

Penerimaan informasi yang meluas, yang terjadi selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad tidak menjadikan manusia sebagai makhluk yang teguh pada nilai kebaikan yang sebenarnya. Semua orang mengikuti kecenderungan diri, hingga pergelutan antar kebaikan kian terjadi di mana- mana. Saya menyebut pergelutan antar kebaikan karena di setiap manifetasi nilai-nilai kebaikan yang ingin diterapkan selalu saja manusia bertemu dengan pertentangan antar manusia yang lain. Pergolakan yang terjadi menjelma ke dalam beragam bentuk. Mulai dari perdebatan ilmu pengetahuan, peperangan antar suku bahkan Negara, hingga genosida untuk menghancurkan suatu kaum. Uniknya, konflik yang terjadi kian membawa manusia pada kemajuan tak peduli seberapa besar mereka melakukan penaklukan pada akhirnya manusia era sekarang menjadi penikmat dari konflik yang terjadi di masa lalu. Bahkan di era saat ini konflik yang terjadi belum mereda, sebagian menganggap bahwa dia dan leluhurnya adalah korban sehingga membuat dia mulai memperjuangkan nilai-nilai kebaikan yang diyakininya, alhasil paradoks tentang kebaikan semakin dirasakan.

Bagaimana kita akan menjawab pertanyaan di atas? Jawaban atas pertanyaan itu tidak bisa kita simpulkan secepat mungkin, kita perlu menelaah secara mendalam terkait makna kebaikan sehingga kita tidak terjebak pada definisi kebaikan yang telah kita buat sendiri berdasarkan keyakinan kita. Berikut adalah penjelasan-penjelasan yang dapat membantu kita menemukan kesimpulan dari pertanyaan tersebut.

Sebagaimana penjelasan yang telah saya uraikan sebelumnya, dalam kajian psikologis indigenous kebaikan intra subjektif disebut dengan istilah emics. Dalam definisinya emics adalah suatu perilaku seseorang yang dianggap sebagai kebenaran namun kebenaran itu belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Emic merupakan sebuah pengaruh yang membuat seseorang meyakini tentang asal muasal dirinya. Keyakinan inilah yang menciptakan beragam karakteristik setiap manusia di muka bumi ini. Keterkaitan antara emic dan kebaikan intra subjektif dapat terlihat lebih terang tatkala kita mengetahui bahwa pada umumnya manusia menilai kebaikan berdasarkan kecenderungan diri yang dia yakini melalui pengaruh yang disebut emic. Pengaruh ini menjelma menjadi informasi yang diterima dalam proses perkembangannya di suatu lingkungan tempat dia hidup.

Dari sinilah paradoks tentang kebaikan terjadi, setiap orang merasa dia sedang melakukan kebaikan namun nyatanya kebaikan itu dianggap sebagai kejahatan oleh sebagian orang lainnya. Proses psikologis suatu individu yang berbeda-beda menjadikan seseorang menjadi pribadi yang berbeda-beda pula, sehingga pemaknaan tentang kebaikan dari seseorang juga menciptakan keragaman klaim yang dapat menciptakan konflik antar manusia. Saya akan memberikan contoh dimulai yang paling sederhana hingga sejarah yang menjadi poros perubahan manusia di dunia. Ketika seseorang yang lahir dalam lingkungan keluarga yang kaya, dia cenderung menjadi pribadi yang menganggap budaya konsumtif romantisisme sebagai sebuah kebaikan, lain halnya ketika dia bertemu dengan seorang yang berasal dari keluarga yang sederhana yang menganggap bahwa setiap hal harus diraih dengan usaha sendiri dan tak peduli seberapa sulitnya usaha itu dia akan terus mencoba hingga berhasil.

Bayangkan jika mereka berada di situasi yang sama sebagai sebuah tujuan, saya meminta kita untuk membayangkan bahwa kedua orang tersebut sedang ingin makan seekor ikan. Si A yang merasa dirinya dapat memakan ikan dengan cara membeli namun si B merasa bahwa ikan bisa dicari dengan memancing, alhasil si A mengikuti si B, dia pun menunggu sangat lama akhirnya dia menjadi tidak sabaran dan kesal dengan si A, akhirnya terjadi konflik di antara mereka berdua perdebatan kian intens hingga si A pun memutuskan untuk menjauh dari si B dan menganggap si B sebagai orang yang tidak mampu berpikir secara baik, dia menganggap bahwa keputusan si B adalah sebuah kejahatan karena dapat membuatnya mati kelaparan. Dari cerita ini kita dapat melihat perbedaan yang signifikan antara dua orang di satu peristiwa, keduanya meyakini nilai kebaikan yang berbeda sehingga kedua nilai kebaikan itu berbenturan dan memicu konflik di antara keduanya.

Konflik yang terjadi di dunia ini jika kita bisa melihat secara menyeluruh sebenarnya tidak terjadi karena adanya orang jahat melainkan karena terbenturnya nilai-nilai kebaikan di antara manusia. Sebagaimana contoh yang telah diceritakan di atas. Si B merasa bahwa keputusannya adalah baik, sebab dengan hal itu mungkin saja dia bisa menghemat uang, namun kebaikan itu dianggap sebagai kejahatan untuk si A, sebab keputusan itu tidak menghemat waktu. Kejahatan di nilai oleh si B, terus bagaimana kita memberikan penilaian pada cerita tersebut.

Sebuah peristiwa besar dalam sejarah juga dapat kita jadikan contoh. Salah satunya penaklukan bangsa Eropa ke negeri-negeri jajahannya. Sebut saja seperti koloni dari kerajaan Inggris yang menaklukan suku Aztek. Yang menganggap penaklukan itu sebagai sebuah kejahatan adalah mereka yang terjajah dan orang-orang yang fanatik terhadap hak asasi manusia di era modern ini, tapi coba kita lihat dasar penaklukan itu terjadi, pasukan Inggris itu melakukan penaklukan dengan niat untuk memenuhi rasa penasarannya terkait dunia. Perjalanan mereka menuju ke Aztek melahirkan sangat banyak ilmu pengetahuan yang kita kenali hingga saat ini. Kita tidak perlu ragu untuk mengakui bahwa penaklukan bangsa Inggris itu membuahkan hasil kemajuan dari berbagai aspek kehidupan di dunia ini dan kita juga tidak boleh menutup mata bahwa kemajuan yang dilakukan itu menewaskan jutaan nyawa yang sangat berharga.

Sampai di sini paradoks kebaikan sudah menjadi jelas. Pertanyaannya masih sama, bagaimana anda dan saya menilai kebaikan? (*)

Exit mobile version