Oleh: Bachtiar S Malawat
___________________________
KOTA Ternate adalah entitas geografis dan sosial yang menyimpan potensi besar dalam konteks pembangunan wilayah kepulauan. Namun demikian, realitas sosial ekonomi yang mengemuka menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang cukup mencolok. Ketimpangan ini tidak hanya bersifat spasial, melainkan juga sistemik dan terstruktur, dengan akar masalah yang berkeliaran pada pola pengelolaan pemerintahan yang penulis identifikasi sebagai “stelan cuek”, atau sikap acuh tak acuh yang sistematis dari penyelenggara negara terhadap problematika masyarakat kelas bawah.
Penulis mencermati bahwa dalam konteks pembangunan, Kota Ternate memperlihatkan dikotomi antara wilayah yang berkembang secara fisik dan wilayah yang tertinggal dalam pelayanan dasar. Di satu sisi, pusat kota menampilkan wajah modern dengan infrastruktur representatif, namun di sisi lain, wilayah pinggiran seperti Kelurahan Sasa dan Kayu Merah masih berkawan dengan masalah mendasar seperti sampah, jalan yang rusak, dan ketimpangan pelayanan publik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, indeks Gini Ternate berada pada angka 0,41, yang menunjukkan tingkat ketimpangan yang tinggi dan perlu intervensi kebijakan yang serius.
Menurut Tan Malaka (1943), salah satu ciri negara yang tidak sehat adalah adanya ketimpangan yang nyata antara pusat dan pinggiran, antara yang kaya dan yang miskin. Tan Malaka menyatakan bahwa dalam negara yang “merdeka” seharusnya tidak ada warga yang merasa teralienasi oleh sistem yang ada. Namun kenyataan yang ada di Ternate menggambarkan sesuatu yang sangat bertolak belakang, di mana ketimpangan sosial ekonomi terus meningkat meskipun retorika pembangunan terus didengungkan. Hal ini menunjukkan adanya “stelan cuek” terhadap permasalahan struktural yang ada.
Dalam pengamatan penulis, fenomena ini diperparah oleh praktik birokrasi yang lebih mengutamakan agenda seremonial dan proyek-proyek besar ketimbang pemenuhan hak-hak dasar warga. Kelembagaan pemerintahan terlihat lebih responsif terhadap aktivitas yang bersifat administratif dan politis, namun minim empati terhadap isu sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat akar rumput. Hal ini tercermin dari prioritas anggaran dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2023 yang menunjukkan alokasi perjalanan dinas yang signifikan dibandingkan anggaran untuk sektor pelayanan publik.
Salah satu ironi yang penulis amati adalah ketidakseimbangan respons antara kebutuhan riil masyarakat dan percepatan proyek non-prioritas. Misalnya, saat masyarakat mengeluhkan distribusi air bersih yang tidak merata, tanggapan yang muncul lebih sering bersifat prosedural ketimbang solutif. Sementara pengadaan barang dan jasa yang berorientasi proyek dapat dilakukan secara instan, kebutuhan esensial masyarakat harus melalui proses yang panjang dan berbelit.
Lebih lanjut, tingkat pengangguran terbuka di Kota Ternate yang mencapai 7,5% pada tahun 2024 mengindikasikan adanya stagnasi dalam penciptaan lapangan kerja yang produktif. Penulis menilai bahwa orientasi pembangunan yang terlalu terfokus pada aspek fisik telah mengabaikan penguatan sumber daya manusia, terutama dalam penyediaan lapangan kerja formal dan pelatihan keterampilan yang relevan.
Seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire (1970), pendidikan dan pelatihan seharusnya diarahkan pada pembebasan rakyat, bukan untuk menjerumuskan mereka dalam kemiskinan struktural yang lebih dalam. Pendidikan yang tidak disertai dengan kesempatan kerja yang memadai hanya akan melahirkan masyarakat yang semakin teralienasi. Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa penting bagi pemerintah untuk mengintegrasikan sektor pendidikan dengan pasar kerja lokal, agar lulusan tidak hanya terampil tetapi juga siap bekerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Secara keseluruhan, penulis menilai bahwa kebijakan pembangunan di Kota Ternate saat ini masih terjebak dalam paradigma elitis dan sentralistik. Alih-alih menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, pemerintah cenderung menjadikan masyarakat sebagai objek retorika politik dan administratif. Dalam konteks ini, “stecu” atau sikap cuek terhadap realitas sosial bukan lagi sekadar gaya kepemimpinan, melainkan telah menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang anti-demokratis.
Sebagai bentuk refleksi, penulis menawarkan beberapa masukan strategis. Pertama, reformulasi kebijakan publik yang berorientasi pada pemerataan pelayanan dasar, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Kedua, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran, dengan pengawasan partisipatif dari masyarakat sipil. Ketiga, peningkatan kapasitas aparatur birokrasi agar mampu bekerja berdasarkan data, kebutuhan lapangan, dan prinsip keadilan sosial.
Penulis juga menyarankan pentingnya revitalisasi peran pemerintah sebagai pelayan publik, bukan sekadar pelaksana anggaran. Pemerintah daerah semestinya menanggalkan “stelan cuek” yang selama ini menghambat transformasi struktural. Pemerintahan yang demokratis dan efektif hanya dapat terwujud jika terdapat kesadaran kolektif bahwa kesejahteraan masyarakat bukanlah hasil sampingan dari pembangunan, melainkan tujuan utama dari penyelenggaraan negara.
Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan bahwa ketimpangan bukanlah keniscayaan, melainkan konsekuensi dari kebijakan yang abai terhadap keadilan sosial. Oleh karena itu, apabila pemerintah Kota Ternate ingin keluar dari lingkaran stagnasi, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melepaskan diri dari sikap setengah hati dan mulai membangun sistem yang berpihak pada rakyat secara nyata dan berkelanjutan. Akhir kata, Muslim Cendikia Pemimpin. (*)