Opini  

Kartini dan Mitos Kecantikan

Oleh: Rizky Ramli

_________________________

Setiap 21 April, kita rayakan Kartini dengan kebaya, sanggul, dan bedak tebal. Mungkin ini cara paling halus untuk membungkam perempuan dengan memintanya tersenyum sambil dibungkus rapi”.

Setiap tahun, peringatan Hari Kartini disambut dengan pawai kebaya, lomba berdandan, hingga kontes busana daerah. Sekilas tampak meriah dan mengakar budaya. Tapi jika Kartini bangkit dari kubur hari ini, mungkin ia akan terheran, apakah perjuangannya untuk kesetaraan dan pendidikan perempuan benar-benar diterjemahkan lewat bedak, lipstik dan skincare?
Naomi Wolf dalam The Beauty Myth menyebutkan bahwa mitos kecantikan bukan tentang penampilan, melainkan tentang pengendalian. Ketika perempuan mulai memasuki ranah publik, kuliah, bekerja, berpolitik, datanglah standar baru yang mengikat tuntutan untuk tetap menarik, langsing, putih, awet muda. Kecantikan menjadi kewajiban, bukan pilihan.

Di Indonesia, mitos ini diperkuat bukan hanya oleh pasar, tapi juga sejarah politik. Julia Suryakusuma dalam State Ibuism mengurai bagaimana negara mengonstruksi perempuan sebagai istri yang anggun dan ibu yang patuh. Tubuh perempuan dijaga, dibentuk, dan dimanfaatkan demi citra moral bangsa. Kini, pembingkaian itu diteruskan oleh industri kecantikan dan algoritma media sosial.

Ayu Utami, dalam Si Parasit Lajang, pernah menulis “Perempuan dituntut untuk cantik bukan untuk dirinya, tapi untuk sistem yang tidak berpihak padanya.” Kita hidup dalam ilusi kebebasan, padahal seringkali pilihan kita telah ditentukan oleh narasi-narasi yang menindas. Bahkan ketika perempuan bicara tentang “self-love,” seringkali itu masih dibungkus produk skincare dan konten monetisasi tubuh. Di tengah semua ini, Hari Kartini seharusnya menjadi momen untuk menggugat, bukan sekadar mengenang. Menggugat bagaimana tubuh perempuan terus-menerus dijadikan objek penilaian. Menggugat bagaimana anak-anak perempuan dipaksa percaya bahwa nilai mereka terletak pada riasan, bukan pikiran.

Kartini bukan ikon kosmetik atau parade busana. Ia adalah suara yang menulis panjang lebar tentang kebebasan berpikir, pentingnya pendidikan, dan perlawanan terhadap adat yang menindas. Kartini adalah simbol keberanian melawan norma. Jika kita merayakan Kartini tanpa membawa semangat itu, kita hanya menjadikan namanya sebagai label kosong.

Mari rayakan Kartini dengan cara yang lebih radikal, ajak anak-anak perempuan membaca surat-suratnya, berdiskusi tentang feminisme, membongkar mitos kecantikan, dan berani berkata “tidak” pada standar tubuh yang membatasi. Karena perempuan tak dilahirkan untuk dipuji, tetapi untuk didengar. Dan Kartini, lebih dari segalanya, adalah suara yang menolak dibungkam. (*)