Opini  

Apakah Gaji Lurah Tak Cukup Hingga Mencuri?

Oleh: Riski Ikra
Ketua Umum HPMB Malut

______________________________

APAKAH gaji lurah tak cukup hingga mencuri? Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan. Bahkan bukan hanya dana desa yang digerogoti, tapi juga fasilitas publik digunakan seakan milik pribadi. Fenomena ini seperti asap yang perlahan menyesakkan: kita tahu ada yang salah, tapi sudah terlalu terbiasa hingga tak lagi terasa. Budaya korupsi yang dibalut jabatan seolah menjadi pakaian resmi para pejabat publik, dan yang lebih mengkhawatirkan: kita diam.

Satu Kasus, Cermin Seribu Wajah

Belakangan ini, penulis menyaksikan sebuah ironi di Kota Ternate: seorang lurah kedapatan mengambil handphone milik warganya sendiri. Peristiwa ini bukan hanya tentang satu orang dan satu barang, tetapi merupakan cermin yang memantulkan wajah kepemimpinan di tingkat desa. “Apakah ini potret tunggal atau representasi dari banyak lurah di seluruh Indonesia”?

Terus terang, penulis sempat tak percaya. Seorang lurah yang seharusnya menjadi teladan dan pelindung justru terjerumus dalam pencurian barang rakyat yang dipimpinnya. Bukan karena sengketa, bukan karena dendam, melainkan demi melunasi utang pribadi. Sejenak, penulis bertanya: “Apakah benar kehidupan seorang lurah sedemikian sulit hingga harus mencuri”?

Mitos “Tak Cukup Gaji”

Fakta di lapangan berbicara lain. Gaji pokok lurah di Indonesia pada tahun 2025 berkisar antara Rp2.903.600 hingga Rp4.768.800, tergantung golongan. Itu belum termasuk tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, dan insentif dari pemerintah daerah. Di daerah-daerah tertentu seperti Jakarta, total pendapatan seorang lurah bisa mencapai Rp30 juta per bulan. Maka di sinilah letak ironi itu menampar kesadaran kita: bukan kekurangan yang melahirkan perilaku menyimpang, tetapi kerakusan, gaya hidup, atau ketidakmampuan menahan godaan.

Korupsi di Desa: Fenomena yang Mengakar

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak program Dana Desa dimulai tahun 2015 hingga akhir 2024, tercatat 851 kasus korupsi dana desa, dengan 973 tersangka, dan sekitar 50% di antaranya adalah kepala desa. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi krisis etika yang merusak tatanan sosial.

Padahal, jabatan lurah adalah yang paling dekat dengan masyarakat. Ketika pemimpin di tingkat dasar menyalahgunakan kekuasaan, kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya kerugian materi, tetapi juga kepercayaan sosial yang perlahan tergerus.

Pendekatan Agama: Amanah yang Terkhianati

Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang berat. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya“. (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, tindakan korupsi oleh lurah adalah pelanggaran terhadap amanah yang bersifat duniawi dan ukhrawi.

Pemimpin yang menyalahgunakan wewenang tidak hanya merusak sistem, tetapi juga mencederai moral kolektif masyarakat yang menggantungkan harapan padanya. Dalam perspektif agama, ini bukan hanya dosa sosial, tetapi juga kemunafikan moral.

Pendekatan Filsafat Politik: Kekuasaan yang Membusuk

Lord Acton pernah berkata, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dalam konteks desa, meskipun kekuasaan tidak absolut, lurah sering kali memiliki kontrol besar terhadap anggaran dan kebijakan. Minimnya pengawasan serta kuatnya relasi patron-klien membuat kekuasaan itu rentan disalahgunakan. Dalam diam, kekuasaan yang seharusnya melayani malah berubah menjadi alat penindasan.

Psiko-Sosiologi: Korupsi sebagai Budaya

Dalam struktur sosial desa, relasi patron-klien menjadikan lurah sebagai “bapak” yang disegani, tak tersentuh, bahkan ketika ia salah. Ketergantungan masyarakat yang tinggi membuat mereka enggan mengkritik, bahkan menormalisasi praktik korupsi. Diam menjadi bentuk kompromi terhadap kejahatan.

Menurut teori James C. Scott (1972), relasi ini membentuk ketundukan emosional yang mematikan keberanian sosial. Ketika masyarakat tidak berdaya secara psikologis, korupsi tidak hanya terjadi ia diterima.

Dampaknya: Luka Sosial yang Dalam

Korupsi lurah tidak hanya mencederai kas desa, tapi juga mencederai hati masyarakat. Kepercayaan adalah modal sosial paling mahal. Sekali rusak, butuh generasi untuk memulihkannya. Ketimpangan, ketidakadilan, dan apatisme masyarakat adalah konsekuensi jangka panjang dari korupsi yang terus dibiarkan.

Dari Desa Bangsa Ini Dibangun

Korupsi di tingkat desa adalah persoalan besar dalam tubuh kecil. Melalui pendekatan agama, filsafat politik, dan psiko-sosiologi, kita memahami bahwa persoalan ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal kemanusiaan, moralitas, dan struktur sosial.

Olehnya itu, untuk mengubahnya, dibutuhkan reformasi menyeluruh dalam sistem pemerintahan desa: transparansi, pengawasan ketat, dan pendidikan etika bagi pemimpin dan masyarakat. Sebab, seperti kata pepatah lama: “Bangsa yang besar dibangun dari desa yang jujur”. (*)

Exit mobile version