Opini  

Musafir dan Buku

(Sebuah Renungan)

Oleh: Fahri Aufat
Pegiat PILAS Institue

__________________

SETIAP langkah yang membawa seseorang meninggalkan kampung halaman adalah perjalanan menuju ruang baru yang penuh dengan harapan, tantangan dan perubahan. Bagi seorang perantau (musafir) khususnya mahasiswa, kota bukan hanya sekadar tempat menibah ilmu, tetapi juga medan tempur dan taman belajar kehidupan. Di tengah gedung-gedung tinggi dan jalan yang tak pernah sepi, sorang musafir muda mulai menuliskan kisahnya pada lembaran waktu yang tak terduga.

Menjadi perantau (musafir) berati bukan hanya berpindah tempat, tetapi juga berpindah prespektif. Kota adalah tempat yang mengajarkan kita untuk membaca tanda-tanda kehidupan dari wajah-wajah asing, dari sepinya malam, dari riuhnya pasar, hingga kesunyian kamar kos. Kota menjadi ruang belajar yang luas, lebih dari sekadar ruang kelas. Namun, untuk memahami kota dan tumbuh di dalamnya, seorang musafir membutuhkan pegangan lebih dari sekadar tekad, yakni buku.

“Buku adalah jendela dunia,” demikian kata Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya terkenalnya. Buku tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membuka pemahaman dan prespektif yang lebih luas. Buku adalah sahabat terbaik buat musafir. Ia tidak menuntut apapun, tetapi memberi segalanya. Dalam kesendirian, buku menjadi teman bicara setia. Dalam kebingungan, buku memberikan arah. Dan dalam keterasingan, buku mengingatkan siapa diri kita dan apa yang kita perjuangkan. Lebih dari sekadar sumber pengetahuan, buku adalah bekal batin bagi musafir yang ingin memahami dunia dan ingin memaknai dirinya.

Di era teknologi yang serba cepat dan instan, peran buku justru semakin vital. Informasi mungkin mudah didapatkan, namun kedalaman makna hanya dapat dicapai melalui pembacaan yang pelan penuh perenungan_sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh buku. Di tengah banjir konten juga distraksi digital, mahasiswa (musafir) yang bersahabat dengan buku akan lebih mampu menjaga fokus, memperluas wawasan, dan membangun kesadaran yang kritis serta bijak.

Peradaban yang baik lahir dari manusia-manusia yang berpikir mendalam. Berpikir mendalam hanya dapat tumbuh dari budaya baca. Musafir yang membawa buku dalam perjalanannya tidak hanya sedang mencari ilmu, tetapi juga sedang membangun masa depan. Dari membaca buku, lahir ide-ide besar, perlawanan terhadap kebodohan, ketidakadilan, dan kejumudan. Melalui buku peradaban menjaga kelangsungannya.

“Peradaban berkembang melalui gagasan, dan gagasan hadir dari bacaan,” ujar Alfred North Whitehead, filsuf dan matematikawan Inggris. Gagasan yang muncul dari membaca menjadi dasar dari kemajuan sosial dan intelektual. Oleh karena itu, buku bukan hanya sekadar media belajar, tetapi juga alat untuk membentuk masa depan yang lebih baik.

Wahai musafir (mahasiswa), jangan lupa membawa buku dalam perjalananmu. Bukan hanya untuk kebutuhan ujian akademik, tetapi ujian kehidupan yang tak terduga. Jadikan buku sebagai lentera ketika kamu tersesat, sebagai jendela ketika kamu merasa terkurung, dan sebagai cermin ketika kamu lupa siapa dirimu.

Karena musafir sejati tidak hanya berjalan, ia juga membaca. Tidak hanya mengembara di kota, tetapi juga menjelajahi pikiran-pikiran besar dari masa lalu dan masa depan. Karena pada akhirnya kota hanya akan menjadi tempat tinggal, tetapi buku bisa menjadikanmu bagian dari peradaban. (*)