Oleh: Riski Ikra
Ketua Umum HPMB Malut
________________________
“Pendidikan harus menjadi cermin kebudayaan, bukan kaca buram kekuasaan”.
Maluku Utara adalah ruang hidup yang tidak hanya kaya secara geografis, tetapi juga secara kultural. Warisan budaya dan kekayaan alamnya menjadikan wilayah ini sebagai salah satu entitas penting dalam mozaik kebudayaan nasional. Namun, kekayaan budaya tersebut kini seperti perahu yang kehilangan jangkar terapung dalam arus globalisasi dan sistem pendidikan nasional yang terlalu tersentralisasi. Dalam narasi besar pembangunan, pendidikan berbasis budaya nyaris selalu menjadi anak tiri, sementara pemerintah daerah lebih sibuk membangun jalan daripada menata arah hidup warganya melalui pendidikan yang berakar pada identitas lokal.
Dari kacamata sosial, penulis melihat bahwa secara geografis Maluku Utara merupakan wilayah yang sangat kaya akan sumber daya alam (SDA). Potensi ini seharusnya menjadi pijakan kuat untuk menciptakan kesejahteraan dan kemajuan. Namun, kekayaan tersebut tampak buram ketika dihadapkan pada kenyataan yang kompleks: infrastruktur yang belum merata, kesenjangan pelayanan dasar di wilayah-wilayah terluar, serta sistem pendidikan yang masih bersifat pusatistik jauh dari realitas kehidupan masyarakat lokal.
Keberagaman budaya Maluku Utara yang sarat dengan nilai, pengetahuan lokal, dan filosofi hidup masyarakat adat tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam kebijakan pendidikan. Muatan lokal hanya menjadi pelengkap administratif, bukan fondasi epistemik yang digarap serius. Akibatnya, warisan budaya yang seharusnya diwariskan secara hidup dalam sistem pendidikan justru terpinggirkan dan berisiko punah dalam generasi mendatang.
Padahal, Ki Hadjar Dewantara telah jauh hari menegaskan bahwa pendidikan adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Namun, bagaimana mungkin “menuntun kodrat” jika kodrat lokal yakni budaya dan jati diri masyarakat tak pernah hadir dalam kurikulum?
Kita sering lupa bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga soal membangun infrastruktur batin: nilai, identitas, dan memori kolektif masyarakat. Sayangnya, setiap kali kurikulum nasional berubah entah karena pergantian presiden, menteri, atau arah politik jangka pendek daerah hanya menjadi konsumen pasif. Mereka menjalankan apa yang digariskan pusat, tanpa diberi (atau mengambil) ruang untuk berdaulat atas pengetahuan dan kebudayaannya sendiri.
Paulo Freire menyebut sistem semacam ini sebagai pendidikan “gaya bank”, di mana siswa dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh pengetahuan dari luar. Tidak ada dialog, tidak ada refleksi kritis, dan tidak ada ruang bagi kebudayaan lokal untuk berbicara. Ini bukan sekadar kesalahan teknis pendidikan, melainkan bentuk baru dari kekuasaan epistemik di mana pusat memaksakan logikanya, sementara pinggiran hanya mengikuti.
“Maka, kapan daerah akan mulai berani menolak menjadi penonton atas cerita pendidikannya sendiri”?
Jika kita jujur, maka kita harus mengakui bahwa sistem pendidikan kita masih mengandung mentalitas kolonial: satu arah, satu kebenaran, satu logika. Kurikulum disusun di Jakarta, dan semua daerah harus mengikuti. Anak-anak di Ternate atau Halmahera dipaksa menghafal nama-nama tokoh nasional yang tak pernah mereka temui dalam sejarah lokalnya. Sementara tokoh adat, nenek moyang, dan filsafat hidup masyarakat sendiri tidak pernah diajarkan secara sistematis.
Dari sinilah ironi itu terasa menyakitkan: sekolah yang seharusnya menjadi ruang merdeka, malah menjadi mesin pengasingan. Anak-anak belajar banyak hal, kecuali tentang diri dan budayanya sendiri.
Dalam perspektif Emile Durkheim, pendidikan adalah medium utama untuk mentransmisikan nilai-nilai kolektif masyarakat. Jika pendidikan gagal menjalankan fungsi tersebut yakni menyambungkan generasi muda dengan identitas dan nilai sosialnya maka yang lahir bukan generasi pembaru, melainkan generasi yang terputus dari akarnya.
Oleh karena itu, peran pemerintah daerah seharusnya tidak berhenti pada pembangunan infrastruktur fisik. Justru yang paling mendesak adalah membangun infrastruktur kultural di ruang pendidikan. Caranya? Libatkan tokoh adat, pelaku budaya, dan narasi lokal dalam penyusunan kebijakan pendidikan. Bukan hanya sebagai pelengkap seremonial, tapi sebagai subjek utama dalam merancang arah pendidikan di daerahnya.
Tokoh adat bukan sekadar simbol tradisi. Mereka adalah pustaka hidup, penyimpan pengetahuan, dan penjaga ruh kebudayaan yang telah teruji oleh waktu. Mereka tahu bagaimana mendidik dengan hati, bukan sekadar dengan modul. Mereka memahami bukan hanya isi budaya, tapi juga nafas dan jiwanya. Mengajak mereka masuk ke dalam ruang pendidikan bukan tindakan romantik, tapi langkah strategis peradaban.
Pendidikan budaya bukan beban kurikulum, melainkan fondasi kemanusiaan. Jika pendidikan terus dijauhkan dari akar kulturalnya, kita hanya akan mencetak generasi yang fasih bicara tentang dunia luar, tapi gagap ketika ditanya siapa mereka, dari mana mereka datang, dan nilai apa yang harus mereka jaga.
“Ini bukan soal nostalgia, tapi soal kelangsungan identitas”.
Maluku Utara tidak boleh kehilangan dirinya dalam proyek pembangunan nasional yang terlalu teknokratis. Kita harus kembali membumikan pendidikan membuatnya tumbuh dari tanah, berakar dalam budaya, dan berbuah pada kemanusiaan yang utuh. Jika tidak, maka pembangunan yang kita banggakan hanya akan menjadi jalan panjang menuju keterasingan. (*)