Opini  

Tubuh Bangsa yang Sakit Diagnosis Antropomedis Atas Politik Indonesia Hari Ini

Oleh: Rizky Ramli

____________________

BAYANGKAN bangsa ini seperti tubuh manusia. Saat ini, tubuh itu sedang sakit parah. Detak jantungnya tidak teratur, tekanan darah naik turun, dan berbagai penyakit muncul dari kepala sampai kaki. Dalam dunia medis, ini disebut kondisi darurat. Dalam antropologi, ini disebut krisis dalam struktur sosial. Tapi yang paling menyedihkan, tubuh ini tidak merasa sedang sakit.

Seperti pasien yang keras kepala, bangsa ini lebih memilih minum “ramuan dukun politik” daripada datang ke dokter yang memberi diagnosis saintifik. Daripada menjalani proses penyembuhan yang mungkin menyakitkan tapi menyelamatkan, kita lebih suka hiburan sesaat seperti makan siang gratis, slogan-slogan populis, dan kebijakan yang cuma indah di permukaan. Akibatnya, penyakitnya tidak pernah sembuh, hanya berganti-ganti bentuk. Hari ini demam, besok migrain, lusa infeksi.

Karena itu, mari kita bedah tubuh bangsa ini dengan dua alat, ilmu medis untuk melihat gejala fisiknya, dan antropologi untuk membaca hubungan sosial dan budaya yang menopangnya atau justru memperparahnya.

Politik sebagai Sumber Penyakit yang Menyebar ke Seluruh Tubuh

Dalam dunia medis, tubuh yang sakit akan menunjukkan tanda-tanda gangguan. Begitu pula dengan tubuh politik Indonesia. Gejalanya sangat terlihat seperti korupsi, kekuasaan segelintir orang (oligarki), lembaga demokrasi yang lemah, hukum yang dipermainkan, dan moral pemimpin yang hilang.

Korupsi bisa diibaratkan sebagai kanker. Ia tidak hanya tumbuh di satu tempat, tapi menyebar ke seluruh sistem mulai dari pusat ke daerah, dari pemerintah ke sekolah, bahkan sampai ke tingkat RT. Parahnya lagi, kadang korupsi ini dibungkus dalam aturan yang tampak legal, tapi sebenarnya merusak.

Oligarki, atau kekuasaan segelintir elite, bisa disamakan dengan gangguan metabolik. Orang-orang di puncak kekuasaan menyedot terlalu banyak sumber daya, sementara rakyat kekurangan. Seperti kelebihan lemak dalam tubuh, ini menimbulkan banyak masalah. demokrasi yang mandek, ketegangan sosial yang meningkat, dan hilangnya nurani dalam politik.
Politik identitas seperti penyakit autoimun, di mana tubuh menyerang dirinya sendiri. Perbedaan agama, etnis, atau pandangan dianggap ancaman. Akibatnya, masyarakat saling curiga dan mudah tersulut konflik. Ini bukan hanya kesalahan cara berpikir, tapi juga warisan budaya kekuasaan yang memecah belah.

Lembaga demokrasi seperti DPR, Mahkamah Konstitusi, dan partai politik kini seperti otot yang mengecil dan kehilangan tenaga. DPR hanya jadi pelengkap kebijakan pemerintah, Mahkamah kehilangan wibawa, dan partai tak lagi menyuarakan ideologi, melainkan bisnis kekuasaan. Gejala ini tidak selalu terlihat, tapi perlahan membuat tubuh bangsa ini lumpuh kehilangan keseimbangan, suara rakyat, dan kekuatan hukum. Anatomi Sosial, Kekuasaan, dan Luka Kolektif
Diagnosis medis saja tidak cukup untuk memahami kondisi bangsa ini. Kita harus melihat lingkungan sosial dan budaya tempat masalah itu tumbuh. Di sinilah antropologi membantu membaca bagaimana kekuasaan bekerja, bagaimana masyarakat mengingat masa lalu, dan bagaimana simbol-simbol memengaruhi cara kita berpikir dan merasa.

Salah satu warisan sosial kita adalah budaya patron-klien, semacam hubungan antara orang kuat dan rakyat biasa. Pemimpin tidak dilihat sebagai pelayan publik, tapi sebagai “pelindung” yang bisa memberi bantuan, pekerjaan, atau uang. Sebagai balasan, rakyat memberi dukungan politik, kadang tanpa berpikir panjang. Hubungan ini bukan cuma soal untung-rugi, tapi juga emosional, bahkan dianggap sakral. Tak heran jika orang yang mengkritik pemimpin sering dianggap musuh, dan oposisi dianggap berbahaya.

Bangsa ini menyimpan banyak luka sejarah yang belum sembuh. Di masa Orde Baru, rakyat diajarkan bahwa stabilitas lebih penting daripada kebenaran. Saat Reformasi datang, meski banyak perubahan terjadi, sistem kekuasaan tidak benar-benar berubah. Justru muncul tokoh-tokoh baru yang kelihatan demokratis, tapi tetap menjalankan cara lama yang feodal. Akibatnya, masyarakat jadi lemah secara sosial. Mereka ragu, tapi juga pasrah.

Simbol-simbol politik sangat kuat di Indonesia. Dalam pandangan antropologi, simbol bisa menciptakan makna dan membentuk keyakinan. Simbol agama, nasionalisme, dan budaya lokal sering dipakai untuk menggerakkan massa. Tapi seperti obat penenang, simbol ini hanya meredakan gejala, bukan menyembuhkan masalah sebenarnya. Ia menutupi penyakit yang lebih dalam dengan rasa nyaman semu. Terapi Sosial, Antara Dokter, Dukun, dan Fisioterapi Demokrasi. Lalu, siapa yang bisa menyembuhkan tubuh bangsa ini? Apakah kita butuh dokter politik yang rasional, atau dukun politik yang karismatik?

Dokter politik, mereka yang menawarkan pendekatan saintifik dan reformis seringkali tersingkir. Suara mereka kalah keras dibanding dukun politik yang menjual kesembuhan instan. jargon, retorika agama, atau nostalgia masa lalu. Dukun-dukun ini tidak menyembuhkan, tapi membuat rakyat merasa sembuh. Mereka memberikan analgesik, bukan antibiotik. Mereka menghipnotis, bukan mendiagnosis.

Padahal, terapi sosial yang sejati memerlukan pendekatan menyakitkan seperti pendidikan politik, reformasi institusi, dan keberanian menghadapi luka sejarah. Gerakan sipil harus menjadi fisioterapis demokrasi, menyadarkan bahwa pemulihan butuh waktu dan rasa sakit. Ia tidak bisa dibeli di pasar politik lima tahunan. Ia harus dibangun perlahan melalui literasi, partisipasi, dan konsistensi.
Jurnalisme kritis adalah antibiotik moral. Ia bekerja lambat, tapi menyasar akar infeksi. Di tengah banjir hoaks dan propaganda, jurnalisme harus tetap menjadi laboratorium kebenaran. Pendidikan politik adalah vaksin jangka panjang. Ia memperkuat daya tahan masyarakat terhadap manipulasi dan fanatisme.

Namun ada satu jenis terapi yang paling sulit yakni terapi trauma kolektif. Bangsa ini harus berdamai dengan sejarahnya. Mengakui luka, meminta maaf, dan membangun kepercayaan sosial. Tanpa ini, luka lama akan terus kambuh dalam bentuk baru. Intoleransi, kekerasan simbolik, dan represi atas nama stabilitas
Harapan dalam Tubuh yang Renta
Apakah semua organ bangsa ini rusak? jawabanya mungkin Tidak. Ada jaringan-jaringan sehat yang terus bertahan dan melawan. komunitas lokal yang mandiri, aktivis akar rumput, inisiatif anak muda, kampus-kampus kritis, dan ruang digital yang menyuarakan alternatif. Mereka adalah sel-sel regeneratif, yang walau kecil dan tersebar, tetap menjaga harapan. Namun dalam bahasa medis, prognosis itu bergantung pada intervensi. Jika pasien hanya diberi plasebo, maka harapan itu akan layu. Tapi jika kita mulai bertindak, meski pelan, maka kemungkinan pemulihan tetap terbuka.
Pemilu bukanlah pengobatan, tapi bagian dari proses diagnosis. Ia bisa menjadi ruang refleksi, jika digunakan secara kritis. Tapi jika hanya dimaknai sebagai ritual lima tahunan, maka ia tak ubahnya seperti skrining palsu. Hasilnya bisa dimanipulasi, gejalanya bisa disembunyikan.

Bangsa ini tidak kekurangan sumber daya. Tapi ia kekurangan keberanian untuk berubah. Kekuasaan bukanlah kutukan genetik, tapi konstruksi sosial, bisa ditantang dan bisa diputus.

Melawan Kematian Sosial

Dalam Antropologi Kesehatan, dikenal istilah death by negleck, kematian bukan karena penyakit, tapi karena diabaikan. Maka jika kita abai, tubuh bangsa ini tidak akan mati karena korupsi, oligarki, atau politik identitas, tapi karena kita membiarkannya sakit terlalu lama tanpa perlawanan.
Kita bukan hanya pasien dari kekuasaan. Kita adalah bagian dari tubuh itu sendiri. Maka saat kita diam, kita bukan korban. Kita adalah penyakitnya.

Menyembuhkan bangsa bukan tugas satu generasi, tapi satu-satunya cara untuk memastikan bahwa anak cucu kita tidak mewarisi tubuh yang sekarat. Maka mari mulai, meski dari langkah kecil. Membaca, berpikir, bertanya, dan melawan. Karena tubuh ini masih punya denyut, dan selama itu ada, selalu ada harapan untuk sembuh. (*)