Opini  

Pasar Dufa-Dufa dan Cermin Gagalnya Kepemimpinan

Oleh: Yudi Pamugkas
Pegiat PILAS Institute

___________________

PAGI hari di Taman Tulang Ikan, Kelurahan Dufa-Dufa, Ternate Utara, selalu menyuguhkan suasana yang damai dan indah. Suara burung di pesisir pantai, lalu lalang warga menuju Pasar Rakyat Dufa-Dufa, dan sinar matahari yang perlahan muncul di ufuk timur, adalah gambaran harmonis dari kehidupan masyarakat pesisir. Namun di balik semua itu, terdapat satu ironi besar: pasar rakyat yang seharusnya menjadi pusat kegiatan ekonomi justru mangkrak dan tidak berfungsi.

Dufa-Dufa sebenarnya memiliki posisi strategis. Selain sebagai jalur transportasi laut yang diutamakan dari Halmahera Barat ke Kota Ternate dan Pulau Hiri. Wilayah ini juga memiliki fasilitas pelabuhan, sentra perikanan, dan pasar rakyat. Tidak hanya menjadi sentra ekonomi, Dufa-Dufa juga dikenal sebagai kampung pendidikan karena lengkapnya fasilitas pendidikan dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi.

Sayangnya, potensi besar ini tidak dibarengi dengan keseriusan Pemerintah Kota Ternate dalam membangun infrastruktur yang memadai. Pasar Rakyat Dufa-Dufa yang dibangun pada tahun 2018 dengan anggaran yang tidak sedikit, kini menjadi bangunan terbengkalai. Banyak bagian pasar yang rusak dan tidak layak digunakan. Para pedagang pun memilih berjualan di tepi jalan, yang justru mengganggu akses masuk ke pelabuhan. Ironisnya, pasar yang semestinya menjadi tempat penghidupan rakyat, kini hanya menjadi tempat bermain anak-anak.

Pemerintah Kota Ternate memang pernah menjanjikan akan merenovasi pasar tersebut, namun hingga kini tidak ada tindakan konkret. Ketidakseriusan ini membuat masyarakat kecewa dan menilai, bahwa pemerintah tidak lagi memiliki kepedulian terhadap kondisi warga saat ini.

Padahal, keberadaan pasar rakyat bukan sekadar soal tempat jual beli. Lebih dari itu, pasar adalah ruang sosial tempat tumbuhnya interaksi, solidaritas, dan nilai-nilai budaya. Pasar juga menjadi indikator hidup atau matinya perekonomian masyarakat kelas bawah. Dan para pedagang yang berjualan di luar bangunan pasar selama ini, belum dilibatkan sebagai subjek dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Dalam konteks pembangunan nasional, hal ini jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang No. 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2025–2045. UU ini menegaskan bahwa pembangunan harus berpihak pada kesejahteraan rakyat dan melibatkan partisipasi masyarakat.

Mengacu pada teori pembangunan dari W.W. Rostow, dalam jurnal “Sosiologi Pembangunan” (Nurhalimah Febrianti, 02:2013). Rostow dalam bukunya “the stage of economic growth: a non communist manifesto 1960“, menjelaskan pembangunan adalah proses transformasi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern melalui industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan sosial”. Artinya, jika pemerintah kota tidak menjadikan pembangunan pasar sebagai prioritas, maka ini adalah bentuk kegagalan dalam merencanakan transformasi sosial-ekonomi masyarakat sebagai sumber yang seharusnya dikembangkan secara merata.

Kegagalan ini juga mencerminkan lemahnya kepemimpinan transformasional. Pemimpin transformasional adalah mereka yang mampu menginspirasi, memotivasi, dan membawa perubahan. Bila pemerintah tidak mampu menjalankan fungsi ini, maka mereka tidak hanya gagal membangun fisik kota, tetapi juga gagal membangun harapan masyarakat yang pernah menaruh cita-cita atas dasar kesejahteraan bersama.

Dufa-Dufa tidak hanya butuh bangunan pasar yang layak, tetapi juga butuh pemimpin yang mampu melihat rakyat sebagai mitra pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan. Sudah waktunya Pemerintah Kota Ternate bangkit dan membuktikan bahwa pembangunan bukan sekadar janji politik belaka, tapi tanggung jawab yang harusnya masyarakat nikmati. (*)

Exit mobile version