Hukum  

Terdakwa Kasus Lakalantas di Ternate Divonis 2 Bulan, Korban: Putusan Hakim tak Adil

Terdakwa lakalantas saat menjalani sidang putusan di PN Ternate. (Aksal/NMG)

TERNATE, NUANSA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ternate menjatuhkan vonis dua bulan tahanan rumah sebagai masa percobaan terhadap terdakwa Nala Hi M Saleh dalam kasus perkara kecelakaan lalu lintas (lakalantas). Lakalantas yang melibatkan terdakwa Nala dan korban Nurmiyati Bagit itu terjadi di Kelurahan Salero, Kecamatan Ternate Utara.

Putusan terhadap terdakwa ini dianggap tidak adil oleh korban yang mengalami luka berat dan cacat permanen. Pasalnya, putusan Pengadilan Negeri Ternate perkara nomor 20/Pid.Sus/2025/PN Tte dengan terdakwa Nala Hi M Saleh hanya 2 bulan penjara sebagai masa percobaan. Sehingga korban menilai putusan tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan. Apalagi putusan tersebut tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ternate terhadap terdakwa Nala dengan pidana penjara 4 bulan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.

Korban didampingi kuasa hukumnya saat memperlihatkan hasil rontgen. (Aksal/NMG

Korban melalui kuasa hukumnya, M Bahtiar Husni mengaku kecewa terhadap hasil putusan sidang hakim PN Ternate terhadap terdakwa yang hanya divonis selama dua bulan penjara.

“Padahal terdakwa telah dinyatakan bersalah dalam berkendara di jalan, sehingga mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain hingga mengalami luka berat,” ucap Bahtiar usai sidang pembacaan putusan, Rabu (30/4).

Ia menjelaskan, berdasarkan pertimbangan hakim bahwa putusan dua bulan masa percobaan sebagai tahanan rumah lantaran ada upaya pertanggungjawaban berupa uang ganti rugi kepada korban, serta terdakwa adalah seorang ibu yang memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan pengawasan dari terdakwa.

“Ini tidak ada keadilan hukum terhadap klien kami. Dalam putusan ini, korban sendiri merasa kecewa. Karena sejak awal, perkara yang seharusnya ditahan itu tidak ditahan, malahan menjadi tahanan rumah. Bukan sebagai tahanan negara, ini yang klien kami sesalkan,” ujarnya.

Menurutnya, selama proses hukum berjalan, terdakwa sempat mengakui di depan para hakim dan JPU bahwa pihaknya akan melakukan ganti rugi biaya operasi hingga operasional korban sebanyak Rp150 juta dengan tembusan pertama sebanyak Rp100 juta. Sisanya atau Rp50 juta dilunasi sebelum ada putusan dari pengadilan.

“Makanya korban dan keluarganya datang untuk memastikan uang Rp50 juta itu, tapi ketika putusan diucapkan, ternyata tidak ada pembahasan atau pertimbangan terkait sisa uang tersebut,” ujarnya.

“Makanya dari pihak kami pikir dari sebelum persidangan dimulai, terdakwa tidak ada penahanan, malahan diputuskan menjadi tahanan di rumah. Jadi dia tidak merasakan sebagai tahanan negara,” sambung Direktur YLBH Maluku Utara itu.

Sebelumnya, korban mengaku, saat dirawat di RST, tindakan operasi dituntut untuk dirujuk ke RSU Dharma Ibu. Saat hendak melakukan tindakan, pihak rumah sakit meminta biaya pengobatan sebesar Rp35 juta sebelum tindakan operasi.

“Untuk total biaya kalau sampai selesai sekitar Rp70 jutaan. Padahal awalnya pelaku sudah suruh masuk di rumah sakit. Setelah itu, dihubungi untuk tindakan dari dokter tapi Nala/pelaku tidak mau, sehingga saya dikeluarkan dan tidak jadi dilakukan tindakan operasi,” ujar Nurmiyati.

“Setelah itu, anak saya sendiri yang bawa saya untuk operasi di Jakarta. Saat itu, kata dokter kalau terlambat, sudah tidak mau tangani lagi. Untung cepat, kalau lewat dua hari waktu itu tangan diamputasi. Sedangkan biaya operasinya Rp96 juta, kalau ditambah dengan biaya balik kontrol dan sebagainya sudah Rp100 juta lebih,” pungkasnya. (gon/tan)

Exit mobile version