Oleh: Ida Ayu Saputri
__________________
PERANG dagang antara Amerika Serikat dan Cina secara resmi dimulai pada tahun 2018 saat Donald Trump menjabat di periode pertama sebagai Presiden AS, ketika Trump mengumumkan penerapan tarif impor terhadap produk Cina senilai US$50 miliar. Alasan yang dikemukakan saat itu adalah dugaan pencurian kekayaan intelektual, ketidakseimbangan neraca perdagangan, dan praktik bisnis yang dianggap tidak adil. Sebagai respons, pemerintah Cina memberlakukan tarif balasan terhadap produk-produk AS, terutama pada produk pertanian AS seperti kedelai dan jagung (CNN Indonesia, 2020). Ketegangan memuncak hingga 2019, menciptakan ketidakpastian global dan menekan pasar serta investasi lintas negara. Upaya damai melalui perjanjian “Fase Satu” pada 2020 terganggu oleh pandemi COVID-19.
Ketegangan kembali memanas saat Trump menjabat kembali pada 2025, dengan kebijakan tarif baru: tambahan 32% atau setara dengan kenaikan pajak sebesar 145% terhadap produk Cina dan rencana tarif 10-20% untuk impor dari 60 negara lainnya. Meski tarif tambahan sempat ditangguhkan selama 90 hari sejak 8 April 2025, tarif dasar 10% tetap berlaku. Terbaru, Presiden AS Donald Trump memberikan sinyal akan menurunkan tarif yang sudah berlaku saat ini sebesar 145% menjadi 80%. Hal itu diungkap melalui akun media sosial Menteri Keuangan AS, Scott Bessent (CNBC/10/05/25). Konflik ini bukan sekadar soal tarif, tetapi mencerminkan perebutan dominasi ekonomi global antara dua adidaya dengan sistem dan ideologi yang berbeda. Perang dagang ini menandai kegagalan kapitalisme global dalam menciptakan tatanan ekonomi yang adil dan stabil.
Perang Dagang Bukan Sekadar Tarif, tapi Perebutan Dominasi Global
Meskipun perang dagang tampak sebagai konflik tarif biasa, realitasnya jauh lebih dalam dan kompleks. Perseteruan antara AS dan Cina mencerminkan perebutan dominasi ekonomi dan pengaruh geopolitik global. AS, sebagai kekuatan mapan yang telah lama mendominasi sistem keuangan dan perdagangan dunia melalui instrumen seperti dolar dan lembaga-lembaga Bretton Woods, merasa terancam oleh kebangkitan Cina yang semakin agresif mengekspansi pengaruhnya, baik secara ekonomi maupun teknologi (CNBC Indonesia, 2023). Di balik kebijakan tarif dan pembatasan ekspor, sesungguhnya tersimpan upaya membendung laju pertumbuhan Cina sebagai pesaing global utama.
Cina, dengan proyek ambisius seperti Belt and Road Initiative (BRI), melalui investasi besar di negara-negara berkembang, pembangunan infrastruktur lintas benua, dan penguatan teknologi nasional, Cina berupaya membangun tatanan alternatif terhadap dominasi Barat. Langkah ini dianggap ancaman langsung oleh AS karena mengikis pengaruh globalnya, khususnya di kawasan-kawasan strategis seperti Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.
Pakar ekonomi syariah Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak.CA menyebutkan bahwa konflik ini bukanlah kebetulan, melainkan buah dari sistem imperialisme modern yang saling berebut pengaruh, pasar, dan sumber daya (Muslimah News, 2024). Dalam konteks ini, perang dagang bukanlah sekadar balas-membalas tarif, melainkan bentuk perang dingin ekonomi yang menunjukkan bahwa sistem kapitalisme global telah memasuki babak baru persaingan antarnegara adidaya. Konflik semacam ini menandakan kegagalan sistem kapitalis dalam menciptakan harmoni dan kerja sama ekonomi yang sehat antarnegara. Sebaliknya, ia memperkuat logika kompetisi, eksploitasi, dan imperialisme ekonomi yang merugikan negara-negara berkembang.
Kapitalisme: Akar Krisis dan Ketimpangan
Walaupun AS dan Cina memiliki landasan Ideologi yang berbeda yaitu Kapitalisme dan Komunisme, namun pada arah kebijakan Sistem Ekonominya adalah Kapitalis. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina mencerminkan krisis mendalam dalam sistem kapitalisme yang dianut kedua negara, meskipun secara ideologis tampak berbeda. Kapitalisme, dengan orientasinya pada keuntungan dan dominasi pasar, telah melahirkan ketimpangan sosial, ketidakstabilan ekonomi, dan krisis global yang terus berulang. Dalam konflik dagang, kebijakan negara lebih berpihak pada kepentingan korporasi besar ketimbang rakyat, menyebabkan masyarakat umum harus menanggung beban berupa kenaikan harga, pemutusan kerja, dan masa depan yang tidak menentu.
Kegagalan kapitalisme juga tampak dari sifatnya yang rakus akan pertumbuhan tanpa batas, yang merusak lingkungan, mengeksploitasi buruh murah, dan mengabaikan keadilan sosial. Perang dagang hanya salah satu gejala dari kerusakan sistemik tersebut. Dibutuhkan perubahan paradigma ekonomi secara menyeluruh, bukan sekadar perjanjian dagang baru. Di sinilah umat Islam berpeluang menawarkan sistem ekonomi alternatif yang berbasis keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan bersama sebagai solusi atas krisis global yang ditimbulkan kapitalisme.
Islam sebagai Jalan Baru Ekonomi Dunia
Momentum perang dagang AS-Cina seharusnya menjadi pemicu bagi umat Islam untuk menawarkan sistem ekonomi Islam sebagai solusi bagi dunia. Ketika dua kekuatan besar dunia sibuk berseteru dan sistem kapitalisme terus menunjukkan kegagalannya, umat Islam tidak boleh hanya menjadi penonton. Mereka harus memanfaatkan peluang ini untuk membangun kekuatan ekonomi sendiri yang berdasarkan syariah, membentuk institusi-institusi keuangan dan perdagangan Islam, serta memperkuat solidaritas ekonomi antarnegara Muslim.
Dalam Islam, sistem ekonomi tidak berdiri sendiri sebagai aspek teknis, melainkan bagian dari sistem hidup yang menyeluruh. Sistem ekonomi Islam, posisi pajak dan bea cukai dalam postur penerimaan negara bukanlah sebagai sumber utama kas negara karena masih ada jalur lain yang menjadi pemasukan kas negara Islam yakni zakat, ganimah, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz, serta harta kepemilikan umum seperti SDA tambang dan migas. Ini sebagaimana penjelasan yang tercantum di dalam kitab Nizhamu al-Iqtishadiyi fii al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah. Sistem ekonomi Islam dibangun atas dasar keimanan dan syariah, dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan yang merata dan menjaga stabilitas sosial. Sebaliknya dalam paradigma sistem ekonomi kapitalisme, tarif ekspor/impor adalah bea cukai yang posisinya sama dengan pajak, bahkan sama-sama menjadi sumber utama kas negara (APBN). Keberadaan bea cukai dan pajak tidak ubahnya lahan bisnis penguasa terhadap rakyatnya. Ini menggambarkan hubungan rakyat dengan penguasa benar-benar seperti penjual dan pembeli. Dalam konteks perdagangan luar negeri (antarnegara), keberadaan tarif ekspor/impor bisa digunakan negara yang kuat untuk menekan negara yang lebih lemah. Berbeda dengan kapitalisme yang membebaskan kepemilikan tanpa batas, Islam membagi kepemilikan menjadi tiga: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Prinsip ini memastikan bahwa sumber daya penting, seperti energi dan air, tidak boleh dimonopoli oleh segelintir orang atau perusahaan, melainkan dikelola untuk kemaslahatan bersama.
Islam juga melarang praktik riba dan spekulasi yang merusak stabilitas ekonomi. Sistem keuangan Islam dibangun di atas dasar transaksi nyata, transparansi, dan keadilan. Sistem moneter Islam sangat jelas, yaitu emas dan perak sebagai mata uang yang riil nilai intrinsiknya. Inilah yang sering disebut dinar dan dirham. Mengapa emas dan perak? Sebabnya, (1) nilainya stabil dan tidak mudah mengalami guncangan, (2) tidak bisa dicetak seenaknya, (3) antimanipulasi, (4) yang paling penting, ini adalah perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam Islam, transaksi perdagangan berfokus pada sektor riil (Pertanian: produksi padi, sayur, buah). Sektor non-riil (Perbankan: simpan pinjam, kredit, giro, deposito) seperti saat ini tidak boleh ada, karena zakat, sedekah, dan wakaf menjadi instrumen redistribusi kekayaan yang sangat efektif untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Negara Islam memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh warganya yaitu; pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan tanpa bergantung pada pajak dari rakyat atau utang luar negeri. Dengan demikian, sistem Islam tidak hanya adil dalam distribusi, tetapi juga independen secara finansial.
Satu hal yang juga tidak boleh kita abaikan, ketika Islam digunakan sebagai basis dalam hubungan perdagangan internasional, motifnya adalah membangun kemandirian dan dalam rangka aspek yang mulia, yakni menyebarkan risalah Islam. Sistem Islam juga akan membuat strategi kemandirian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya dan mendorong kemandirian bagi negara lain. Konsep ini tentu saja sangat berbeda dengan perdagangan internasional dalam sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, negara berkembang menjadi alat yang dimanfaatkan untuk melakukan eksploitasi dan hegemoni dengan menguasai pasar bebas. Syariat Islam melarang mekanisme seperti itu karena Allah SWT telah melarang kaum muslim untuk memberi jalan bagi negara lain atau pihak lain, terutama kaum kafir harbi.
Dengan kata lain, sebuah negara yang tidak menggunakan prinsip syariat tidak boleh diberi ruang untuk menguasai kaum muslim, termasuk dalam hal ini adalah pasar-pasar yang sangat besar yang ada di negeri kaum muslim. Islam juga tegak sebagai negara ideologis dan mandiri sehingga tidak akan memberi kesempatan bagi negara lain/pihak luar negeri untuk mengintervensi kebijakan ekonomi Islam. Ini sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 141).
Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah dalam bukunya Politik Ekonomi Islam juga menyatakan, “Semestinya, hubungan dagang antarnegara dijalankan dengan menggunakan sistem ekonomi syariah sebagai acuan yang tidak bertumpu pada peningkatan kekayaan”. Dengan demikian, dalam Islam, prinsip utama dalam menjalin semua subsistem negara, termasuk dalam sistem perdagangan luar negeri, adalah mengimplementasikan regulasi yang berasal dari akidah Islam. Hubungan tersebut tidak dilakukan untuk menguasai dan mengekploitasi sumber daya di negara lain. Dalam rangka menyebarkan risalah Islam, hubungan dagang antarnegara akan dibangun menurut prinsip yang membawa kebaikan bagi semuanya. (*)