Oleh: Sriyanti Nihi
_______________________
DI bawah langit zaman yang senantiasa bergerak, kita menyaksikan anak-anak tumbuh bukan lagi dalam pelukan pepohonan atau lompatan riang di tanah basah selepas hujan, melainkan dalam pelukan dingin layar-layar data yang memancarkan cahaya biru. Dunia mereka kini bukan hanya halaman rumah atau taman bermain, melainkan jagat maya yang tanpa batas dan tanpa ujung. Di sanalah, teknologi memegang kendali, perlahan namun pasti, menggenggam erat masa kecil mereka.
Gawai telah menjadi sahabat karib yang tak pernah absen menemani pagi, siang, hingga malam. Jari-jemari mungil anak-anak kini lebih fasih menyentuh layar daripada menyulam kata dalam percakapan. Permainan petak umpet yang dulu menggema dengan tawa, perlahan teredam oleh denting notifikasi dan suara digital dari karakter-karakter virtual. Dunia nyata menjadi latar belakang yang redup di balik layar.
Ada keajaiban, tentu saja, dalam teknologi. Ia membawa pengetahuan dalam sekali ketuk, menghadirkan dunia ke dalam genggaman, dan menyajikan berbagai sumber daya pendidikan dengan rupa yang menarik dan menyenangkan. Anak-anak ini dapat mengenal benua, binatang langka, hingga menyelami samudera ilmu hanya dari ruang kecil di rumah mereka. Teknologi adalah jendela, bahkan sayap, bila digunakan dengan bijak.
Namun, seperti matahari yang terlalu lama menyinari dapat membakar, teknologi yang terlalu lama menggema pun bisa merenggut. Banyak anak kehilangan kepekaan sosial, terasing di tengah keramaian, tenggelam dalam dunia yang nyaris tanpa sentuhan nyata. Mereka lupa bagaimana rasanya memanjat pohon, merasakan desir angin di wajah, atau sekadar bercakap-cakap tanpa jeda iklan emoji.
Ketika sebuah gawai menjadi pengasuh, maka bahasa kasih berganti sinyal. Ketika layar menjadi guru utama, maka pelajaran kehidupan menjadi hampa. Anak-anak kini lebih mengenal tokoh kartun dari negeri asing ketimbang nama-nama tetangga yang tinggal di seberang rumah. Hubungan antar manusia menjadi samar, terganti koneksi Wi-Fi yang kadang lebih diutamakan daripada koneksi batin antar jiwa.
Orang tua pun kerap terperangkap dalam dilema. Mereka ingin yang terbaik bagi buah hatinya, ingin memberikan kemudahan dan kesempatan belajar yang tak terbatas. Namun sering lupa, bahwa yang paling dibutuhkan anak bukanlah teknologi tercanggih, melainkan kehadiran yang nyata, pelukan yang hangat, dan tatapan mata yang memahami. Anak tidak hanya butuh cerdas secara digital, tapi juga matang secara emosional.
Para pendidik pun turut gelisah. Mereka dihadapkan dengan generasi yang cepat menyerap informasi, namun kadang kurang dalam daya tahan, kesabaran, dan kemampuan berempati. Di sinilah peran pendidikan menjadi penting, bukan untuk menolak teknologi, tetapi untuk menuntunnya menjadi alat yang memperkuat, bukan melemahkan. Sekolah harus menjadi ruang yang menyeimbangkan antara kemajuan dan kebijaksanaan.
Bukan teknologi yang perlu disingkirkan melainkan cara kita menggunakannya yang perlu direnungi. Anak-anak adalah tunas-tunas muda yang akan tumbuh mengikuti cahaya. Jika cahaya itu hanya datang dari layar, maka mereka akan condong ke arah digital. Namun jika kita mampu menjadi cahaya yang hidup dalam bentuk kasih sayang, bimbingan, dan teladan, mereka pun akan tumbuh dengan akar kuat yang menjejak bumi dan cabang yang meraih langit.
Mari ajak anak-anak kembali bermain dengan tanah, mengeja awan, dan mendengar kisah dari bibir kita sendiri. Mari kita jadikan teknologi sebagai jembatan, bukan jurang. Sebagai alat, bukan tuan. Sebagai sahabat, bukan satu-satunya dunia.
Sebab masa kecil adalah musim yang hanya datang sekali. Jangan biarkan ia berlalu dalam kebisuan layar, tanpa warna-warni ketenangan yang nyata. Jadikan masa itu sebagai taman yang indah, di mana teknologi hadir sebagai pelengkap bunga, bukan sebagai penguasa ladang.
Semoga, dalam derasnya arus digital ini, kita tetap mampu menjaga lentera kemanusiaan agar anak-anak kita tumbuh bukan hanya sebagai makhluk cerdas, tetapi juga sebagai manusia yang utuh, berperasaan, dan mencintai kehidupan dengan segala kesederhanaannya. (*)