Opini  

Bahasa yang Tak Lagi Berkata

Oleh: F. S. Pellu

__________________________

DI ujung timur Nusantara, sebuah wilayah yang dahulu menjadi simpul peradaban rempah dan kejayaan maritim. Di balik keelokan geografis dan kekayaan budayanya, Maluku Utara menyimpan harta tak ternilai: keragaman bahasa daerah yang menjadi warisan intelektual, simbol identitas kolektif, dan medium pewaris nilai-nilai leluhur. Namun, harta ini kini berada di ambang kepunahan. Dalam diam yang nyaring, bahasa-bahasa daerah yang dulu hidup di lisan ibu dan menjadi jantung komunitas kini mulai menghilang satu per satu, tergeser oleh arus modernisasi dan kebijakan linguistik yang tak berpihak.

Fenomena ini semakin ironis jika disandingkan dengan intensi normatif yang telah dituangkan melalui berbagai peraturan, baik nasional maupun daerah. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 Ayat (2), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, semuanya menegaskan perlindungan terhadap bahasa daerah. Di tingkat lokal, Peraturan Daerah Provinsi Maluku Utara Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah. Dalam Pasal 1 ayat 8 disebutkan bahwa Maluku Utara memiliki 31 bahasa daerah yang tersebar di 8 kabupaten dan 2 kota. Namun, data Badan Bahasa (2019) menunjukkan hanya 19 bahasa yang masih teridentifikasi secara aktif, memperlihatkan jurang antara regulasi dan realitas implementasi. Hal ini memperkuat temuan UNESCO (2022), yang mencatat bahwa sekitar 40% bahasa dunia saat ini berstatus terancam punah. Setiap dua minggu, satu bahasa di dunia hilang, dan pada tahun 2100, hampir setengah dari bahasa yang ada diperkirakan akan punah.

Penurunan vitalitas bahasa daerah di Maluku Utara tidak lepas dari lemahnya implementasi kebijakan revitalisasi bahasa. Meskipun pemerintah daerah mencanangkan program revitalisasi, pelaksanaannya cenderung bersifat administratif dan simbolik. Penyusunan materi ajar, pelatihan guru, atau pengumpulan data kebahasaan hanya menjadi bagian dari proyek seremonial yang tidak menyentuh persoalan struktural: marginalisasi bahasa daerah dalam sistem pendidikan formal dan ruang publik.

Kondisi tersebut sejalan dengan berbagai temuan empiris. Aritonang (2020, 2021) menyebut bahwa sistem pendidikan di Maluku Utara secara praktis hanya memberi ruang pada bahasa Indonesia dan Inggris, mengabaikan bahasa lokal. Hal ini mengakibatkan terjadinya disfungsi intergenerasional dalam transmisi bahasa ibu. Generasi muda Maluku Utara semakin asing terhadap bahasa ibunya. Mereka tumbuh dalam sistem pendidikan yang hampir sepenuhnya berbahasa Indonesia. Bahasa daerah tak lagi menjadi kebanggaan, melainkan dianggap sebagai simbol keterbelakangan. Di ruang-ruang publik, bahasa leluhur tak terdengar. Di rumah, ia hanya dikenang oleh kakek-nenek yang semakin sepuh. Sementara itu, Nirwana dkk. (2020) menemukan bahwa bahasa Taliabu kini hanya digunakan oleh masyarakat berusia di atas 35 tahun. Bahasa ini hampir tidak digunakan lagi dalam komunikasi antara orang tua dan anak, sebuah indikator klasik dari kematian bahasa menurut Fishman (1991) dalam teori Reversing Language Shift (RLS).

Upaya pelestarian juga menunjukkan ketimpangan spasial. Komunitas bahasa yang tinggal di daerah terpencil, yang seharusnya menjadi garda terakhir pelestarian bahasa, sering kali luput dari intervensi kebijakan. Tanpa akses pada pelatihan, kurikulum lokal, dan media berbahasa daerah, generasi muda di kawasan ini dipaksa untuk mengadopsi bahasa dominan demi kebutuhan ekonomi dan pendidikan. Dalam konteks ini, revitalisasi bahasa yang berkeadilan harus berangkat dari paradigma partisipatif dan desentralistik, sebagaimana ditegaskan Grenoble & Whaley (2006) serta Crystal (2000), bahwa pelestarian bahasa hanya akan efektif jika melibatkan komunitas bahasa itu sendiri sebagai aktor utama.

Ironi terbesar dalam revitalisasi bahasa daerah adalah ketika bahasa itu sendiri tidak mendapatkan ruang untuk hidup, sementara dokumen kebijakan yang mendukungnya dicetak rapi dalam lembaran negara dan materi seminar. Kita menyaksikan bagaimana bahasa daerah yang ada di Maluku Utara dipuji dalam narasi-narasi pembangunan kultural, tetapi diabaikan dalam realitas keseharian. Bahasa hanya ‘dirayakan’ ketika ada peringatan hari bahasa, sementara penuturnya perlahan-lahan kehilangan ruang dan makna.

Ketimpangan spasial dalam upaya pelestarian bahasa menunjukkan adanya kebijakan yang lebih gemar tampil di kota daripada menyapa sunyi di desa. Wilayah-wilayah terpencil, tempat sebagian besar penutur bahasa daerah bermukim, sering kali tidak terjangkau program revitalisasi yang memadai. Sebuah paradoks: mereka yang paling berpotensi mempertahankan bahasa justru paling jarang disentuh oleh program pelestarian. Jika kita percaya bahwa bahasa adalah warisan kolektif bangsa, maka mengapa suara-suara dari pinggiran selalu luput dari perhatian?

Dalam banyak kasus, revitalisasi bahasa tampak seperti panggung yang lebih mementingkan laporan daripada dampak. Pemerintah daerah sering kali berlomba mencantumkan capaian-capaian fiktif dalam laporan tahunan, namun lupa bahwa bahasa tidak bisa dilestarikan lewat angka statistik dan kata-kata manis. Bahasa hidup dalam praktik, bukan dalam powerpoint.

Turut prihatin, kita harus mengatakan: yang tersisa hari ini dari sebagian besar bahasa daerah kita adalah dokumentasi pasif dan nostalgia. Generasi muda yang hidup di antara gawai dan globalisasi nyaris tidak memiliki koneksi emosional dengan bahasa nenek moyang mereka. Mereka bahkan lebih akrab dengan emoji daripada dengan idiom leluhur. Dalam konteks ini, kita tak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya. Kita harus bertanya, siapa yang menyiapkan sistem sosial yang memutus ikatan itu?

Diperlukan keberanian politik dan empati kultural untuk mengubah wajah kebijakan pelestarian bahasa. Bukan sekadar membentuk tim kerja atau membuat pelatihan seremonial, tetapi membangun kebijakan yang menghargai kearifan lokal dan mengikutsertakan masyarakat sebagai pemilik bahasa. Jika tidak, maka semua jargon pelestarian hanyalah eufemisme dari pembiaran yang sistematis.

Lebih jauh, ancaman kepunahan bahasa berarti ancaman terhadap keragaman epistemologi dan sistem nilai lokal. Wildayanti (2023) mengidentifikasi menurunnya minat generasi muda terhadap warisan budaya lokal sebagai konsekuensi dari melemahnya institusi adat dan tidak terintegrasinya bahasa daerah dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dalam pandangan ekolinguistik Haugen (1972), bahasa adalah elemen ekologis dari suatu budaya. Hilangnya satu bahasa sama artinya dengan hilangnya satu cara pandang dunia. Oleh karena itu, penyelamatan bahasa daerah harus dipahami sebagai strategi peradaban, bukan sekadar proyek budaya.

Secara internasional, Indonesia telah menyatakan komitmennya dalam Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/56/262 dan A/RES/74/135 United Nations (2020, 2022) menekankan pentingnya pelestarian dan revitalisasi bahasa asli sebagai bagian dari hak asasi budaya. Serta dukungan International Decade of Indigenous Languages oleh UNESCO (2023). Namun, komitmen ini belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan lokal. Revitalisasi bahasa di Maluku Utara membutuhkan langkah-langkah konkret: integrasi dalam kurikulum pendidikan dasar, pelibatan aktif lembaga adat dan komunitas lokal, serta penyediaan ruang media dan publik yang menggunakan bahasa daerah secara reguler.

Bahasa daerah tidak butuh panggung, ia butuh ruang. Bukan ruang acara, tetapi ruang hidup: ruang keluarga, ruang kelas, ruang media, dan ruang publik. Jika semua ruang itu tidak kita buka untuk bahasa daerah, maka kepunahan bahasa di Maluku Utara bukan hanya kegagalan dalam melestarikan warisan, melainkan juga kegagalan dalam merawat identitas dan memperkuat ketahanan budaya bangsa. Sudah saatnya pemerintah berhenti menjadikan revitalisasi bahasa sebagai slogan dan mulai menempatkannya sebagai agenda strategis pembangunan berkelanjutan berbasis kearifan lokal. (*)