Opini  

Kehancuran Lingkungan dan Malapetaka Bagi Bumi Halmahera, Perlukah Tagar SaveHalmahera?

Oleh: Sefnat Tagaku
Sekretaris DPC GAMKI Halsel

_____________

AKHIR-akhir ini, di Indonesia, kita begitu sering mendapat berita-berita tentang penolakan pertambangan, hal tersebut seiring dengan masifnya penayangan media sosial yang menyuguhkan informasi tentang kalimat bertagar “Save Raja Ampat”. Setidak-tidaknya, media sosial kita cukup membantu mengundang perhatian seluruh pihak untuk melihat bahaya yang tengah dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang mendiami wilayah-wilayah penghasil seperti; emas dan nikel. Namun tidak hanya Papua, tapi juga pulau Halmahera.

Seperti Papua, pulau Halmahera juga terbentang di wilayah Timur Indonesia, tepatnya di Provinsi Maluku Utara. Pulau yang berbentuk huruf K ini dikenal dengan posisi empat kerajaan terbesar sejak dulu, yakni; Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.

Secara historis, daerah ini menjadi perhatian khusus bagi bangsa sekutu di masa pra-kemerdekaan Republik Indonesia. Dimana daerah ini terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya, sehingga menjadi tantangan tersendiri sekaligus peluang dan harapan bagi daerah berslogan “Mari Moi Ngone Futuru” (Mari Kita Bersatu/Bersatu Kita Kuat).

Namun seiring perkembangan kecanggihan teknologi industri yang terjadi dengan begitu cepat, bumi Halmahera ditemukan banyak menyimpan kekayaan alam lain yang melimpah. Tidak hanya rempah-rempah, namun ada emas, nikel, minyak, pasir besi, serta kekayaan yang lainnya, sehingga Halmahera menjadi sorotan investor-investor asing. Bagai seorang gadis cantik yang dilirik banyak lelaki, begitu posisi pulau Halmahera hari ini.

Dalam konteks hidup yang seperti itu, jika kita sedikit merenung sambil melihat realitas Pulau Halmahera kekinian dengan menggunakan pemikiran reflektif, rasa-rasanya wilayah yang terus didengungkan”kaya akan alam” ini sedang menuju pada kehancuran ekologi yang luar biasa akibat dari aktivitas pertambangan. Paling tidak, ada beberapa faktor yang bisa kita lihat untuk menjumpai kehancuran bumi Halmahera di masa akan datang. Pertama, sebuah studi kasus sejak tahun 2023 yang membenarkan ada pencemaran air sungai Sagea, Halmahera Tengah.

Pencemaran air sungai ini dapat dibuktikan dengan melihat keruhnyanya air dan terjadi perubahan warna, dari jernih-bening berubah menjadi agak kecokelatan. Ini murni karena adanya sedimentasi akibat erosi tanah dari aktivitas penambangan di hulu sungai Daerah Aliran Sungai (DAS). Ada sekitar 392 hektare yang terjadi deforestasi di DAS Sagea. Padahal, aliran sungai tersebut menjadi sebuah penopang hidup masyarakat setempat (Hasil Investigasi FWI, 2021-2023).

Kedua, banjir dengan ketinggian 1-2 meter yang terjadi pada pertengahan tahun 2024, di beberapa desa area pertambangan PT IWIP Halmahera Tengah, melahirkan curiga besar karena dampak dari aktivitas pertambangan yang tak terkendali. Dalam sebuah aksi demonstran yang digelar oleh sekelompok mahasiswa asal Maluku Utara di depan kantor pusat PT IWIP di Jakarta, membongkar dengan lantang bahwa banjir yang kerap terjadi di Weda, Halmahera Tengah, adalah hasil pembongkaran hutan yang masif dilakukan oleh pihak pertambangan (Mongabay, 2024).

Selain itu, kondisi bumi Halmahera yang semakin rusak dapat ditandai dengan kegelisahan suku Togutil atau orang utan yang bagi orang Halmahera bersuku Tobelo-Galela menyebut (O Hongana Manyawa). Kelompok manusia ini mendiami sekitar wilayah Halmahera Tengah dan Timur yang pada beberapa waktu belakangan mereka sesering mungkin keluar ke kawasan perkampungan untuk mencari makan akibat dari tempat tinggal mereka mulai dibongkar oleh aktivitas pertambangan (Tribun Ternate, 27 Mei 2024).

Dalam kegelisahan yang menyempitkan ruang hidup mereka, orang utan ini kerap mendapat stigma dari masyarakat sebagai penjahat karena melakukan tindakan kejahatan (baca: Orang Hutan Bunuh Orang Kampung). Padahal tindakan seperti itu dilakukan atas dasar sebab akibat dari kehidupan mereka yang semakin berubah karena terdesak oleh maraknya alih fungsi hutan akibat aktivitas pertambangan dan industri kayu. Dalam terjemahan sederhananya, negara sedang mengganggu dan mendiskriminasikan kehidupan mereka.

Sementara masyarakat lokal yang mendiami area pertambangan banyak kehilangan hak hidup, hak tanah, termaksud kepentingan warga yang berkaitan dengan kewajiban perusahaan. Dalam konteks hidup masyarakat yang semacam itu, negara mengarahkan alat keamanan untuk membungkam suara-suara perlawanan. Tercatat, ada kurang lebih dari 11 orang masyarakat Halmahera Timur yang tengah dijerumuskan ke dalam terali besi akibat melakukan perlawanan pada pihak perusahaan.

Rentetan peristiwa dan fakta-fakta mengerikan di atas, seolah mau mengingatkan kita tentang kejahatan pemerintah yang selama ini menyeret masyarakat pada ruang hidup tak sehat. Ini dilakukan bersamaan dengan dentuman misi politik pada panggung-panggung kampanye, tentang; kesehatan dan kesejahteraan masyarakat menuju Indonesia Emas Tahun 2045. Ataukah, maksud dari keemasan Indonesia hanya bisa dirasakan oleh elite politik bangsa ini? Jika ya, maka rakyat sedang menuju pada jalan kematian.

Akhirnya, catatan ini memberikan rekomendasi kepada setiap pembaca yang tergugah hati untuk menggunakan tagar #SaveHalmahera sebagai upaya mencuri perhatian negara terhadap marabahaya yang bakal dijumpai oleh masyarakat Halmahera di masa depan. Sebab, kita tidak sedang memimpikan kehancuran namun kemajuan yang benar-benar mendorong bangsa ini mencapai titik keemasan. (*)

Exit mobile version