Opini  

Krisis Moral Polri: Gagalnya Sistem Kapitalisme, Solusinya Kembali pada Islam

Oleh: Minati Hamisi, M.Pd

____________________

TIGA kasus berbeda yang menimpa jajaran Polri di Maluku Utara akhir-akhir ini telah mengoyak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum yang semestinya menjadi pelindung rakyat. Mulai dari dugaan pemerkosaan oleh oknum anggota Polres Kepulauan Sula, hingga pemecatan tidak hormat dua anggota karena pelanggaran berat seperti narkoba, disersi, dan penambangan ilegal, semua menunjukkan bahwa krisis integritas di tubuh Polri bukan sekadar cerita satu dua orang, tapi persoalan yang lebih dalam dan sistemik.

Berdasarkan data yang dilansir dari MalutPost.com – Seorang anggota Polres Kepulauan Sula berinisial JA diduga memerkosa perempuan berinisial SW pada 15 Mei 2025 di Desa Fogi. Meski korban telah melapor, keluarga menilai penanganan kasus oleh Polres lambat dan tidak transparan, bahkan diduga melindungi pelaku. Korban mengalami trauma berat hingga mencoba bunuh diri. Keluarga mendesak Polda Maluku Utara untuk mengambil alih kasus karena hilangnya kepercayaan terhadap Polres setempat, (Minggu, 15 Juni 2025, pukul 11:58).

Sementara data dari Pojoklima.com-Dua anggota Polri, Bripka IDM dan Bripka SHM, diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) oleh Polda Maluku Utara karena melakukan pelanggaran berat. Bripka IDM terlibat berbagai pelanggaran, termasuk narkoba, disersi, dan tindak pidana Minerba. Sementara Bripka SHM mangkir dari tugas sejak mutasi ke satuan baru. Kapolda Malut Irjen Pol Waris Agono menegaskan tindakan ini sebagai bentuk penegakan hukum yang adil dan tegas. Jumat, 13 Juni 2025 | 08:15.

Tiga kasus berbeda ini membuka luka besar di tubuh Polri Maluku Utara dan memperlihatkan kerentanan sistem pengawasan dan etika internal. Dampaknya sangat serius yakni runtuhnya kepercayaan masyarakat dan tuntutan perubahan yang tidak bisa diabaikan lagi oleh institusi penegak hukum.

Akar persoalan ini terletak pada sistem demokrasi kapitalisme, sebuah sistem yang menjadikan kebebasan dan materi sebagai tolok ukur utama kehidupan. Sistem ini membuka ruang luas bagi penyimpangan moral dan hukum, termasuk di kalangan aparat penegak hukum. Tidak heran jika muncul kasus-kasus seperti pemerkosaan oleh oknum polisi, penyalahgunaan narkoba, hingga keterlibatan dalam kejahatan pertambangan (Minerba). Bukannya menjadi pelindung masyarakat, aparat justru menjadi pelanggar hukum yang nyata di tengah masyarakat.

Padahal, aparat negara seharusnya menjadi garda terdepan dalam menciptakan rasa aman, menegakkan keadilan, dan menjaga ketertiban. Sayangnya, dalam sistem saat ini, pengawasan lemah, dan orientasi pelayanan bergeser menjadi kepentingan pribadi atau kelompok.

Sebagai alternatif, Islam menawarkan solusi sistemik. Dalam Islam, aparat negara bukan hanya dituntut sehat secara fisik, tetapi juga wajib memiliki ketakwaan kepada Allah SWT dan kepribadian Islam yang kokoh. Ketika nilai-nilai spiritual dan moral menjadi fondasi, aparat akan memahami bahwa tugas mereka adalah amanah, dan setiap tindakan akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.

Islam menetapkan sistem pembinaan dan pengawasan yang bukan hanya administratif, tapi juga ideologis. Aparat dipilih berdasarkan kualitas iman, kejujuran, dan kepatuhan pada hukum syariat. Dalam sistem Khilafah, misalnya, proses rekrutmen, pendidikan, dan pengawasan aparat dilakukan dengan ketat agar mereka benar-benar menjadi pelayan umat, bukan penguasa atas rakyat. Dengan demikian, penyimpangan seperti yang kita lihat saat ini dapat diminimalisir bahkan dicegah sejak awal. yang menempatkan materi dan kekuasaan sebagai orientasi utama. Logika keuntungan dan kompetisi bebas dalam sistem tersebut membuka celah bagi aparat untuk menyalahgunakan wewenang—mulai dari kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba, hingga praktik tambang ilegal.

Dalam perspektif Islam, aparat negara dituntut bukan hanya sehat secara fisik, tetapi juga memiliki ketakwaan kepada Allah dan kepribadian Islam yang kokoh. Ketika pengawasan lahir bukan semata-mata dari lembaga internal, melainkan dari kesadaran bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta, peluang penyimpangan akan tertutup lebih rapat. (*)

Exit mobile version