Opini  

Keadilan yang Tersesat Dalam Kasus Masyarakat Adat Maba Sangaji

Oleh: Julfandi G, (Sekjen KATAM)

________________________

Hasil praperadilan yang inkonsisten mengungkap kelemahan sistemik penegakan hukum dan ancaman serius terhadap hak masyarakat adat”.

Hasil praperadilan terhadap 11 warga adat Maba Sangaji menghadirkan gambaran yang memprihatinkan tentang kualitas penegakan hukum di Indonesia. Disparitas putusan yang tidak dapat dijelaskan secara logis ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari krisis yang lebih mendalam dalam sistem praperadilan kita.

Ketika Logika Hukum Diabaikan 

Bayangkan sebuah situasi di mana seseorang ditangkap secara tidak sah, namun penetapannya sebagai tersangka dianggap sah. Inilah yang terjadi pada tiga dari 4 kasus yang diadili di Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan. Alaudin Salamudin, Nahrawi Salamudin, dan Indrasani Ilham mengalami nasib yang sama: penangkapan mereka dinyatakan tidak sah, tetapi status tersangka mereka tetap dipertahankan.

Kontradiksi ini tidak hanya menggelikan, tetapi juga berbahaya bagi supremasi hukum. “Pasal 17 KUHAP secara tegas mensyaratkan adanya ‘bukti permulaan yang cukup’ untuk penetapan tersangka”. Jika penangkapan tidak sah, bagaimana bukti-bukti yang diperoleh dari proses tersebut dapat dijadikan dasar untuk penetapan tersangka?

Pasal 18 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa dalam hal penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ketika penangkapan dinyatakan tidak sah, otomatis validitas bukti permulaan tersebut patut dipertanyakan. Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 angka 3.11 yang dalam pertimbangan hukum yang merupakan kaidah hukum yang menyatakan “alat bukti yang diperoleh secara tidak sah, tidak mempunyai nilai pembuktian sehingga harus dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan”. Seharusnya menjadi pertimbangan hakim.

Sementara itu, Sahil Abubakar, yang berada dalam konteks kasus yang sama, mendapat perlakuan berbeda dengan praperadilannya ditolak seluruhnya. “Hal ini berpotensi melanggar pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin equality before the law, tanpa pengecualian”. Hal serupa juga dapat dilihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa perbedaan perlakuan hukum harus didasarkan pada alasan objektif dan rasional.

Masyarakat Adat: Korban Sistem yang Tidak Memahami

Yang lebih memprihatinkan adalah fakta bahwa tujuh orang lainnya – Salasa Muhammad, Mar Manado, Jamaludin Badi, Sahrudin Awat, Julkadri Husen, Yasir Samad, dan Hamin Djamal – tidak dapat mengajukan praperadilan di PN Soasio karena dianggap tidak berwenang mengadili. Pertanyaannya: mengapa empat orang lainnya bisa diadili di pengadilan yang sama?

Dalam pasal 84 KUHAP mengatur bahwa praperadilan diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat dilakukannya penyidikan. Inkonsistensi dalam penentuan yurisdiksi ini menunjukan ketidakjelasan dalam penerapan ketentuan tersebut. Sementara “UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 2 ayat (4) mengamanatkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.

Pemisahan kasus ini menciptakan fragmentasi yang tidak hanya tidak efisien, tetapi juga bertentangan dengan “Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil”. Lebih jauh lagi, kasus ini melibatkan masyarakat adat yang seharusnya mendapatkan perlindungan khusus. UUD 1945 pasal 18B ayat (2) dengan tegas menyatakan, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pada konteks hak asasi manusia UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Pasal 6 ayat (1) juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi dimana saja ia berada. Dalam konteks masyarakat adat, hal ini berarti pengakuan terhadap sistem hukum dan nilai-nilai yang mereka anut.

Ancaman Terhadap Hak Konstitusional 

Penangkapan massal terhadap 11 orang masyarakat adat dari komunitas yang sama menimbulkan kekhawatiran serius tentang potensi kriminalisasi praktik adat. Apakah tindakan yang mereka lakukan benar-benar kejahatan menurut hukum pidana, ataukah merupakan bagian dari praktik adat yang dilindungi konstitusi?

Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP) tahun 2007 yang telah diratifikasi Indonesia melalui dukungan politik, menegaskan dalam pasal 11 bahwa masyarakat adat berhak untuk mempraktikkan dan menghidupkan kembali tradisi budaya dan adat istiadat mereka. Indonesia sebagai negara yang mendukung deklarasi ini memiliki kewajiban moral dan politik untuk melindungi hak tersebut.

Juga perlu menjadi perhatikan secara serius bahwa dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pasal 3 mengakui hak ulayat masyarakat adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada. Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 secara revolusioner membedakan antara “hutan adat” dan “hutan negara”, memberikan pengakuan legal yang kuat terhadap hak masyarakat adat atas wilayah tradisional mereka.

“Pasal 281 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Hal ini berarti negara berkewajiban tidak hanya mengakui, tetapi melindungi praktik-praktik adat yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

Kasus ini juga berpotensi melanggar pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang Due Process of Law, yang menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Komnas HAM dalam laporan tahunan yang dirilis 3 tahun terakhir mencatat meningkatnya kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat, terutama terkait dengan kasus sengketa lahan dan praktik adat.

Keadilan untuk Siapa? 

Kasus praperadilan ke 11 warga adat ini, mempertanyakan komitmen kita semua terhadap rule of law dan equality before the law. Aristoteles dalam Nicomachean Etics menyatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dalam konteks hukum modern Indonesia, ini dituangkan dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi negara kita Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005, dalam pasal 14 ayat (1) menegaskan bahwa semua orang sama di hadapan pengadilan dan tribunal. Sangat jelas prinsip ini mensyaratkan tidak boleh ada diskriminasi dalam perlakuan hukum, termasuk terhadap masyarakat adat Maba Sangaji.

Mahkamah Konstitusi juga menegaskan putusannya No. 31/PUU/-V/2007 juga menegaskan bahwa equality before the law bukan sekadar persamaan dalam penerapan hukum, tetapi juga persamaan dalam perlakuan oleh hukum (equal protection of law). Disparitas putusan putusan Pengadilan Negeri Soasio tanpa justifikasi yang jelas dalam kasus masyarakat adat Maba Sangaji jelas bertentangan dengan prinsip dan sangat merugikan.

Ingat, masyarakat adat Maba Sangaji seperti komunitas adat lainnya di Indonesia, yang juga adalah bagian integral dari bangsa besar ini. Jangan pandang sebelah mata perjuangan mereka dalam memperjuangan keadilan lingkungan, memproteksi masa depan komunitas mereka, jangan hanya karena dibutakan nafsu kuasa hari ini, kita semua turut mengamputasi masa depan anak cucu masyarakat adat Maba Sangaji. Ayo berjuang bersama masyarakat adat Maba Sangaji di tahap selanjutnya! (*)