Opini  

Drama DOB Sofifi, Antara Sikap Pemerintah dan Mindset Tentang Kota

Oleh: Achmad Rizaldy

____________________

SEOLAH tak ada habisnya, wacana Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi saat ini telah memasuki babak baru, banyak pihak yang terlibat dan memberikan tanggapan terkait wacana tersebut. Saat ini tak hanya sebatas adu argumentasi di media sosial dan warung-warung kopi, tetapi gerakan unjuk rasa pun telah dilakukan oleh pihak yang pro maupun kontra terhadap DOB Sofifi.

Upaya mempertanyakan Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi yang berstatus kelurahan pernah disinggung secara langsung oleh Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda pada beberapa pertemuan dengan Pemerintah Pusat. Beliau mengaku telah melapor pada Presiden, Mendagri dan DPR RI terkait ketidakpastian status Ibu Kota Provinsi Maluku Utara dengan harapan dapat membentuk DOB Sofifi (MalutPost, 17/07/2025).

Di lain sisi, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan sebagai kota induk dari Sofifi melalui wali kota mengimbau, agar wacana DOB Sofifi seharusnya didiskusikan sesuai prosedur yang berlaku dan menghasilkan sebuah keputusan politik yang sah, dalam hal ini harus ada pembicaraan secara resmi dengan pemerintah daerah Kota Tidore Kepulauan (LIVE Facebook: TribunTernate, 17/07/2025). Bahkan pada Kesempatan yang sama Wali Kota Tidore, Muhammad Sinen mengklaim bahwa masyarakat Sofifi dan masyarakat Oba pada umumnya tidak punya keinginan untuk pisah dari Kota Tidore Kepulauan.

Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya perbedaan sikap yang cukup kontras antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan terhadap pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi, padahal keduanya sama-sama memegang “Kunci” utama DOB Sofifi. Pasalnya persoalan pembentukan daerah dalam hal pemekaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya terdapat persyaratan administratif terkait pemekaran daerah kabupaten/kota diberikan hak kepada DPRD dan Bupati/Walikota daerah induk serta DPRD dan Gubernur provinsi daerah tersebut untuk memberikan persetujuan bersama, kemudian dibutuhkan juga keputusan musyawarah desa yang termasuk dalam wilayah dari daerah kabupaten/kota yang akan dibentuk.

Secara normatif telah ditetapkan prosedur-prosedur yang harus dilalui untuk melakukan pembentukan atau pemekaran suatu daerah, sehingga sungguh disayangkan apabila pemerintah sendiri yang bertindak melangkahi prosedur yang berlaku. Adapun aspirasi dan partisipasi masyarakat juga tidak boleh terpinggirkan, supaya wacana yang dibangun jelas berpihak kepada masyarakat.

Sebab pada substansinya tujuan pemekaran adalah demi kepentingan masyarakat itu sendiri, yang di antaranya untuk meningkatkan pelayanan umum, meningkatkan kesejahteraan dan memperpendek rentang kendali pemerintahan (Siswanto dalam Arief Maulana 2019).

Dalam kasus DOB Sofifi, seharusnya juga melibatkan masyarakat daratan Oba secara keseluruhan, sebab mereka-lah yang merasakan secara langsung keterbatasan pelayanan umum akibat rentang kendali yang jauh. Jika demikian yang dilakukan, maka nyatalah niat tulus untuk membangun daerah oleh pemerintah.

Catatan untuk Pemprov Malut

Perlu disadari bahwa pengelolaan daerah pasca pemekaran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hasil evaluasi pemerintah pada tahun 2013 menggambarkan bahwa hanya 22 persen dari total keseluruhan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang mampu menunjukkan hasil positif, sementara 78 persen sisanya dinilai gagal berkembang (Tempo, 23/12/2024).

Dilansir juga dari Kompas (28/05/2025) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen DOB dinilai gagal berkembang dengan salah satu contoh nyatanya adalah Maluku Utara. Dari sini bisa dilihat bahwa presentase kegagalan dari proyek DOB sangatlah besar, penyebabnya seperti ketidaksiapan sumber daya manusia, ketidakmampuan fiskal daerah, strategi ekonomi jangka panjang yang gagal, minimnya partisipasi masyarakat dan sebagainya.

Apabila pemerintah provinsi memiliki niat tulus untuk membangun Sofifi beserta Oba secara keseluruhan, maka harusnya disiapkan secara matang, mulai dari mempersiapkan tim khusus untuk melakukan kajian mendalam terkait dengan potensi ekonomi, sosial, politik, adat, tradisi dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga dapat memproyeksikan gambaran daerah otonomi baru yang akan dibentuk, supaya dapat meningkatkan keberhasilannya sebagai sebuah proyek besar untuk masyarakat.

Selama tidak ada persiapan yang matang terkait DOB Sofifi, maka pintu kegagalan akan terbuka lebar. Alih-alih memikirkan dan menguras tenaga soal DOB, bukankah sebaiknya pemerintah provinsi mulai membenahi dan melengkapi prasarana dan sarana yang menunjang penyelenggaraan pemerintahan di Sofifi. Rasanya sangat tidak bijak apabila pemerintah provinsi mengharapkan pembangunan Sofifi sebagai ibu kota provinsi dari hasil DOB, dengan harapan dapat alokasi anggaran yang besar dari pemerintah pusat sebagai modal pembangunan.

Alarm Berulang untuk Pemkot Tikep

Isu DOB Sofifi bukanlah masalah yang baru berhembus, melainkan telah sejak lama berkembang, kiranya sungguh pantas jika masyarakat Oba memiliki keinginan untuk menjadi daerah otonomi tersendiri. Masalah seperti peningkatan mutu fasilitas pelayanan dasar, peningkatan kesejahteraan, rentang kendali, jaringan yang lemah, listrik yang cenderung tidak stabil, dan sebagainya yang masih menjadi “PR” besar untuk dituntaskan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.

Seyogianya Pemerintah Kota Tidore harus melihat daratan Oba seperti Pulau Tidore, semangat pemerataan pembangunan sudah seharusnya digencarkan secara intens, sehingga tidak terbesit niat masyarakat untuk memisahkan diri. Sebab Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tidore juga mendapat kontribusi yang cukup besar dari daratan Oba.

Namun bila sewaktu-waktu masyarakat Oba menginginkan hak untuk mengurus “rumah tangganya sendiri”, maka pemerintah Tidore harus membuka diri dan mempersiapkan-nya secara matang sebagai bentuk tanggung jawab daerah induk.

Membenahi Mindset Tentang “Kota Sofifi”

Apakah setiap kota harus ada gedung-gedung tinggi pencakar langit? Ikon khas yang menghabiskan dana miliaran? Ataukah setiap kota di Indonesia harus seperti Jakarta dengan segala gemerlapnya? Sebenarnya indikator apakah yang mempengaruhi sebuah tempat layak disebut sebagai kota? Rasa-rasanya kita perlu menelusuri tentang esensi dari sebuah “kota”, supaya tidak keliru dalam pemaknaannya. Sebab banyak dari kita yang sepertinya tidak paham tentang kota, namun menjadi gaduh karenanya.

Penyebutan kota sendiri mendapat definisi yang berbeda dari para ahli di bidangnya masing-masing, misalnya Max Weber memberikan definisi kota secara ekonomi yakni tempat dimana para penduduknya lebih banyak melakukan aktivitas perdagangan dan komersial, atau singkatnya menurut Weber bahwa kota adalah tempat pasar (market place). Secara sosiologi, Louis Wirth mendefinisikan kota sebagai sebuah permukiman permanen, dihuni oleh masyarakat yang heterogen, jumlahnya relatif luas dan padat serta menempati area yang terbatas.

Sedangkan secara demografi terdapat berbagai pendapat yang di antaranya mengatakan bahwa, jumlah minimal penduduk untuk kategori kota kecil adalah 2.500 orang dan kurang dari 100 ribu, sementara kota besar adalah yang berpenduduk lebih dari 100 ribu sampai 2 juta orang.

Perspektif evolusioner memandang kelahiran kota melalui tahapan desa yang kemudian akan berkembang menjadi kota atau bersifat kekotaan dan seterusnya. Namun, meskipun begitu tidak setiap desa akan berkembang menjadi kota dan tidak setiap kota akan mengalami perkembangan seterusnya.

Olehnya itu, Horton dan Hunt menawarkan gagasan tentang syarat-syarat agar sebuah daerah bisa berkembang menjadi kota, seperti tersedianya air, terjadinya surplus pangan dan tersedianya infrastruktur transportasi. Sementara itu menurut Nellissen bahwa syarat-syarat menjadi kota adalah kondisi ekologi seperti kemudahan air dan ketersediaan pangan yang cukup, dukungan teknologi dan organisasi sosial yang mantap.

Disamping itu, terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan suatu daerah tumbuh menjadi kota, seperti daerah pusat keagamaan, misalnya Mekah yang pada awalnya desa sepi, tetapi seiring berjalannya waktu telah berkembang menjadi kota. Adapun daerah pusat pemerintahan seperti di Eropa dan beberapa kota di Indonesia yang tumbuh menjadi kota besar karena merupakan pusat pemerintahan dan administrasi. Kemudian daerah pusat perdagangan dan Industri, yang sudah pasti akan menjadi kota pada perkembangannya.

Olehnya itu, penyebutan kota tidak harus mendapat “predikat kota” secara administratif oleh pemerintah, bahkan sebuah desa dapat berkembang menjadi kota apabila memiliki potensi. Sebaliknya juga sebuah kota meskipun mendapat predikat secara administratif, namun bisa mengalami stagnasi dan cenderung mati. Kegagalan DOB secara nasional sudah menjadi contoh nyata bahwa predikat kota secara administratif tidak dapat menentukan pertumbuhannya menjadi kota yang sesungguhnya.

Jadi sah-sah saja jika di dalam suatu pemerintahan daerah kabupaten/kota terdapat dua pusat “kota”, yang bisa dijadikan sebagai pusat pemerintahan, pusat ekonomi maupun keagamaan. Sehingga dalam kasus Sofifi dan Tidore, tidak jadi masalah apabila terdapat dua entitas kota di dalam pemerintahan Kota Tidore Kepulauan, yang mana satunya adalah pusat pemerintahan Kota Tidore Kepulauan yang berkedudukan di kelurahan Tomagoba, kecamatan Tidore, sementara satunya lagi adalah ibu kota provinsi Maluku Utara yang berkedudukan di Sofifi, kecamatan Oba Utara. Kedua-duanya dapat disebut masing-masing sebagai “Kota Tidore” yang merujuk pada pusat pemerintahan Kota Tidore kepulauan, dan “Kota Sofifi” yang merujuk pada ibu kota provinsi Maluku Utara.

Sofifi tidak harus menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) agar dapat menjadi sebuah kota yang kongkret, saat ini Sofifi adalah pusat pemerintahan dan administrasi dari provinsi Maluku Utara, tentunya tidak sulit untuk menjadi pusat perdagangan dengan lokasinya yang strategis sebagai jalur konektifitas antar kabupaten/kota, adapun potensi sumber daya alam yang melimpah di sekitarnya menjadikan Sofifi sangat berpotensi menjadi kota besar.

Lagi pula secara normatif, berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, tidak mewajibkan Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru. Bahkan Undang-Undang tersebut mengakui status Sofifi sebagai sebuah kelurahan (read: penjelasan UU No 46 Tahun 1999). Malah Pemerintah Provinsi Maluku Utara diamanatkan untuk memenuhi sarana-prasarana supaya dapat difungsikan secara definitif paling lambat lima tahun setelah pemekaran.

Maka Sofifi seharusnya bisa dikembangkan menjadi “Kota”, dengan kerja keras pemerintah provinsi, gotong royong dengan Pemerintah Kota Tidore serta kabupaten/kota lainnya di Maluku Utara. Terakhir, bukankah Maluku Utara punya pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia dengan PSN-nya yang sedang beroperasi, pantaskah jika hanya untuk membangun infrastruktur sampai harus meminta DOB? Ironis !! (*)

Exit mobile version