Hukum  

Pasutri Dipolisikan atas Dugaan Penipuan Perumahan di Ternate 

Mapolres Ternate. (Istimewa)

TERNATE, NUANSA – Pasangan suami istri (pasutri) berinisial SA alias Sallu dan NM alias Nurul dilaporkan ke Polres Ternate atas dugaan tindak pidana penipuan atau penggelapan pembelian satu unit perumahan Grand Arifansyah yang terletak di Kelurahan Fitu, Kecamatan Ternate Selatan.

Laporan tersebut kini telah dilakukan penyelidikan oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Ternate berdasarkan surat perintah penyelidikan nomor Sp-Lidik/340/ VII/RES.1.11./2025/Reskrim, tanggal 13 Juli 2025.

Korban sekaligus pelapor, Fachrul Buamona, menceritakan awalnya pada 14 Februari 2025 pukul 07.08 WIT, dirinya bersama adiknya Desy melakukan pembayaran Down Payment (DP) atau uang muka melalui transfer ke rekening Nurul dengan jumlah uang senilai Rp2 juta, agar mengikat pembelian perumahan yang berlokasi di Kelurahan Fitu itu.

“Berselang beberapa hari kemudian, pada 17 Februari 2025 bersama adik saya Desy ke rumah Pak Sallu di Kelurahan Jan untuk melakukan transaksi ke rekening Nurul berjumlah Rp108 juta, jadi total secara keseluruhan Rp110 juta,” ujar Fachrul, Senin (28/7).

Menurutnya, pembayaran itu dengan perjanjian setelah Ramadan rumah tersebut sudah bisa ditempati. Namun setelah beberapa bulan, perumahan tersebut tak kunjung dibangun oleh terlapor Sallu dan Nurul.

Karena merasa curiga, Desy pergi mengecek ke pihak Bank BTN. Dari pihak bank menyampaikan, hal tersebut belum dibangun karena masih bermasalah. Alasan dari pihak bank, dirinya belum bisa mengambil perumahan karena masih mempunyai utang di bank lainnya dengan dua rekening yaitu Bank Mandiri.

“Saya konfirmasi lagi dengan Pak Sallu, saya meminta uang saya agar dikembalikan, tetapi Pak Sallu sampaikan ke saya, kalau begitu buatlah surat pembatalan,” tuturnya.

“Saya mendengar hal tersebut jadi aneh, apabila saya membuat surat pembatalan maka di nota kesepakatan saya membatalkan secara sepihak, dan sudah tentu saya dikenakan potongan 50 persen dari apa yang sudah saya DP-kan. Lalu Pak Sallu sampaikan akan membantu saya dengan cara mencicil ke perusahaannya saja per bulan Rp1,5 juta dan membuat perjanjian ke notaris,” sambungnya.

Respons Terlapor

Sementara itu, terlapor Nurul menyatakan, rumah tersebut telah dibangun tapi belum selesai, karena lama sehingga dilakukan pembatalan sepihak. Untuk pertama mereka sudah membuat pembatalan, setelah itu tidak jadi dan kemudian lanjut lagi. Selanjutnya dibuatkan kesepakatan jual beli di notaris, karena mereka tidak bisa ambil kredit di bank lantaran utang di bank sudah banyak.

“Memang dong kase Rp110 juta karena dong pe doi hanya ada itu. Rumah pe harga kan Rp200 juta lebih, tong so bilang batal boleh karena pembangunan ini akan lama, dan itu sudah dijelaskan,” jelas Nurul.

Kata dia, kalau mereka merasa lama, boleh buat pembatalan, karena ini pembangunan rumah serentak. Kalau ingin cepat dibangun, sambungnya, maka harus cari tanah kosong di mana pakai tukang dan bayar melakukan pembangunan.

“Namanya perumahan itu serentak mesti harus bangun semua pakai dana bank. Terus dorang buat pembatalan, abis itu tara jadi bikin kesepakatan jual beli di notaris karena tara bisa bayar di bank jadi setiap bulan ba stor pa torang itu Rp1,5 juta,” ucapnya.

Ia menambahkan, karena kendala dengan administrasi dan lain-lain, mereka merasa lama sehingga dibuatlah pembatalan, dan langsung buat laporan.

Tara lama kase masuk surat pembatalan langsung dong buat laporan polisi. Sebenarnya Ma Nu tidak bisa terlibat dalam itu karena itu bukan Mama Nu pe urusan, itu perusahaan. Karena Ma Nu tidak tahu masalah itu, yang tahu hanya pihak perusahaan, staf dan paitua (suami) sebagai direktur di situ,” ungkapnya.

Nurul mengaku, memang mereka pihak pelapor membeli rumah melalui dirinya, hanya saja ia langsung arahkan ke perusahaan dan itu sudah berurusan dengan perusahaan, bukan lagi dengan dirinya.

“Laporan itu, karena Mama Nu mengetahui itu dan kemarin Mama Nu juga sudah diperiksa,” pungkasnya. (gon/tan)

Exit mobile version