Opini  

Ekonomi Pendidikan: Ketika Mimpi Anak Desa Dihitung dengan Uang

Oleh: Faldi Ramli 

_________________

PENDIDIKAN di negeri ini kerap diagungkan sebagai jembatan emas menuju masa depan. Namun, kenyataan di pelosok desa menunjukkan bahwa jembatan itu hanya bisa dilewati oleh mereka yang punya bekal cukup, terutama secara ekonomi. Di berbagai sudut kampung, anak-anak terpaksa memendam keinginan bersekolah hanya karena tak sanggup membeli sepatu atau seragam. Impian mereka tidak runtuh karena kurangnya semangat, tetapi karena hidup sejak awal telah mengajarkan mereka bahwa semua hal indah di dunia ini, termasuk pendidikan, selalu datang dengan harga yang tinggi.

Realitas menyakitkan itu memperlihatkan betapa pendidikan yang seharusnya menjadi hak, perlahan bergeser menjadi barang dagangan. Meskipun konstitusi menjamin hak setiap warga negara atas pendidikan, dalam praktiknya, sistem yang berjalan masih sangat bergantung pada kemampuan individu untuk membayar. Di desa-desa, banyak orang tua yang memilih menghentikan pendidikan anak karena tak sanggup lagi membayar biaya transportasi, uang fotokopi, hingga urusan makan anak saat sekolah. Negara, yang seharusnya hadir sebagai penjamin keadilan, justru tampak samar di balik tumpukan formulir dan kwitansi.

Keluarga di desa ibarat berdiri di persimpangan yang rumit. Mereka ingin anaknya sekolah tinggi, tapi mereka juga harus realistis bahwa bertahan hidup hari ini lebih penting daripada harapan esok hari. Banyak anak yang akhirnya ikut membantu orang tua di ladang atau di laut, bukan karena mereka malas belajar, tetapi karena kehadiran mereka di rumah adalah kebutuhan yang nyata dan mendesak. Di hadapan kebutuhan perut yang tak bisa ditunda, pendidikan jadi terlihat mewah dan jauh dari jangkauan. Mimpi pun dipangkas sebelum sempat tumbuh.

Sekolah di pedalaman sering kali berdiri tanpa fasilitas yang memadai. Atap bocor, kursi rusak, guru yang tidak hadir tepat waktu, semuanya menjadi pemandangan biasa. Namun yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa anak-anak yang bersekolah di sana dituntut bersaing dengan anak-anak di kota yang memiliki segala akses: internet lancar, bimbingan belajar, perpustakaan lengkap, dan guru-guru terbaik. Ketimpangan ini tidak sekadar soal sarana, tetapi soal keadilan struktural yang belum pernah diselesaikan. Dalam perlombaan yang katanya adil, tidak semua peserta berangkat dari garis yang sama.

Bagi sebagian keluarga desa, pendidikan adalah taruhan besar. Mereka rela menjual ternak, meminjam uang, bahkan menggadaikan sawah demi menyekolahkan anaknya. Tapi pengorbanan itu tidak selalu membuahkan hasil. Banyak dari mereka yang terpaksa berhenti di tengah jalan karena biaya kuliah tak terjangkau, biaya hidup di kota yang membengkak, atau karena tidak adanya beasiswa yang benar-benar menyentuh akar rumput. Akibatnya, anak-anak pintar yang seharusnya menjadi cahaya bagi desanya justru kembali dalam keadaan patah semangat dan kehilangan arah.

Pendidikan tinggi menjadi mimpi yang terlalu jauh bagi anak-anak desa. Mereka sering kali tak punya referensi, tak punya pembimbing, bahkan tak tahu cara mengakses informasi pendaftaran. Sementara itu, di kota, anak-anak dibimbing sejak dini, dikenalkan pada dunia kuliah, diajarkan cara menulis esai dan memilih jurusan. Pendidikan tinggi bukan hanya soal biaya kuliah, tapi juga soal kemampuan navigasi dalam sistem yang kompleks dan berlapis. Di sinilah terjadi ketimpangan pengetahuan yang diperkuat oleh ketimpangan ekonomi.

Masalah ekonomi dalam pendidikan bukan hanya terlihat dalam biaya langsung, tetapi juga dalam akses terhadap teknologi dan informasi. Ketika sekolah bergeser ke arah digital, banyak anak desa yang tertinggal karena tidak memiliki perangkat, tidak ada sinyal internet, atau bahkan tidak tahu cara mengoperasikan platform pembelajaran. Hal ini membuat mereka semakin tertinggal, semakin tersingkir, dan semakin kecil kemungkinannya untuk bersaing secara adil. Ketika dunia pendidikan berubah cepat, anak-anak desa justru ditinggalkan di belakang, seolah tidak masuk hitungan dalam rencana pembangunan.

Kritik terhadap sistem ini tidak semata-mata ditujukan pada lembaga pendidikan, tetapi pada seluruh kebijakan negara yang seolah membiarkan ketimpangan terus terjadi. Anggaran pendidikan yang seharusnya digunakan untuk memperkuat daerah tertinggal sering kali terjebak pada proyek-proyek elitis yang tak menyentuh kebutuhan dasar. Bukannya memperbaiki kualitas guru di desa, justru dana dihabiskan untuk pelatihan seremonial atau proyek digitalisasi yang tidak relevan dengan kebutuhan riil di lapangan. Sementara itu, anak-anak di desa tetap berjalan berkilo-kilometer ke sekolah, tanpa tahu apakah hari ini guru mereka datang atau tidak.

Sistem pendidikan yang tidak adil ini secara perlahan menciptakan kasta sosial yang permanen. Anak-anak dari keluarga kaya bisa bermimpi tinggi, sementara anak-anak dari keluarga miskin diajarkan untuk realistis sejak kecil. Mereka paham bahwa cita-cita kadang tidak cukup kuat melawan perut yang lapar. Maka sejak kecil mereka dilatih untuk menekan keinginan, menyederhanakan mimpi, dan menyesuaikan harapan dengan isi dompet orang tua. Padahal, bangsa ini seharusnya mendorong semua anak bermimpi besar, bukan menyuruh mereka menyesuaikan diri dengan kenyataan yang timpang.

Ironi pendidikan di negeri ini juga terlihat dari cara kita mengukur kesuksesan. Sistem seleksi dan kompetisi dibuat seolah adil, padahal yang diuji tidak hanya kecerdasan, tetapi juga daya beli. Anak yang mampu ikut bimbingan belajar, beli buku referensi mahal, dan punya koneksi, tentu punya peluang lebih besar. Sementara itu, anak desa yang mengandalkan guru seadanya dan belajar dari buku pinjaman, dianggap tidak cukup layak bersaing. Padahal mereka mungkin sama cerdasnya, hanya saja tidak diberi panggung yang setara.

Negara seolah hadir di atas kertas, tetapi tidak terasa nyata di ruang kelas desa. Banyak kebijakan yang tampak mulia dalam dokumen resmi, tapi lemah dalam pelaksanaan. Dana BOS telat cair, bantuan tidak merata, beasiswa penuh syarat yang rumit. Sistem birokrasi yang lambat dan berbelit hanya memperburuk ketimpangan yang sudah mengakar. Jika negara sungguh ingin menyetarakan akses pendidikan, maka kehadirannya harus konkret, menyentuh langsung sekolah-sekolah yang paling tertinggal, dan mendengarkan suara anak-anak yang nyaris dilupakan.

Ketimpangan dalam ekonomi pendidikan ini akan membawa dampak jangka panjang yang serius. Masyarakat akan semakin terbelah, antara mereka yang diberi kesempatan penuh dan mereka yang hidup dalam keterbatasan terus-menerus. Generasi yang tumbuh dalam sistem yang timpang ini akan menyimpan luka, kekecewaan, dan rasa tidak adil yang membayangi mereka seumur hidup. Mereka mungkin akan tumbuh menjadi warga negara yang sinis, tidak percaya pada negara, dan merasa bahwa keadilan hanya ada untuk segelintir orang.

Di tengah situasi ini, peran negara tidak bisa ditunda. Negara harus hadir lebih kuat dan lebih peka. Pendidikan harus dibiayai secara adil, difasilitasi tanpa diskriminasi, dan dibangun di atas prinsip keberpihakan kepada yang lemah. Jika tidak, maka pendidikan hanya akan menjadi alat untuk memperkuat ketimpangan, bukan menghapusnya. Ketika mimpi anak desa hanya bisa diwujudkan dengan uang, maka kita telah gagal menciptakan bangsa yang menjunjung tinggi keadilan sosial.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang di mana semua anak merasa diterima, diakui, dan diberi kesempatan berkembang. Tapi saat ini, ruang itu hanya tersedia bagi mereka yang punya modal cukup. Mimpi anak-anak desa yang sederhana—menjadi guru, perawat, atau bahkan sekadar tamat SMA—sering kali dianggap terlalu muluk hanya karena keluarganya miskin. Padahal, jika diberi kesempatan yang sama, mereka bisa melampaui siapa pun. Kita hanya perlu membongkar sistem yang membuat mimpi mereka selalu dihitung dalam nominal uang.

Sudah saatnya bangsa ini berhenti menilai masa depan anak-anaknya dari angka di rekening orang tua. Jika kita ingin negeri ini bangkit dan maju secara adil, maka pendidikan harus benar-benar bebas dari batasan ekonomi. Biarlah mimpi tumbuh dari siapa pun, tanpa dibatasi oleh jarak, wilayah, atau isi kantong. Anak-anak desa tak seharusnya dihitung murah hanya karena mereka lahir jauh dari pusat kekuasaan. Merekalah masa depan sejati bangsa, yang hanya butuh satu hal untuk melesat: kesempatan yang setara. (*)