Oleh: Fitriyani Ashar
Sekretaris DPD IMM Maluku Utara
________________
SETIAP tanggal 17 Agustus, bangsa ini gegap gempita memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pawai kemerdekaan digelar dimana-mana, bendera dikibarkan, dan pidato tentang kebebasan bergema di ruang-ruang publik. Namun di tengah euforia itu, ada satu pertanyaan mendasar yang sering luput, sudahkah perempuan Indonesia khususnya di Maluku Utara benar-benar merdeka?
Dalam semangat refleksi 80 tahun kemerdekaan Indonesia, kita perlu jujur mengakui bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya milik perempuan. Jika kemerdekaan berarti bebas dari penindasan, ketakutan, dan kekerasan, maka realitas yang dihadapi banyak perempuan di Maluku Utara masih jauh dari makna sejati kemerdekaan.
Kemerdekaan yang Maskulin dan Elitis
Kemerdekaan nasional yang kita rayakan selama delapan dekade ini kerap dilihat dari kacamata maskulin ditentukan oleh tokoh laki-laki, diperingati dengan narasi militeristik, dan disimbolkan lewat dominasi kekuasaan. Sementara perjuangan perempuan dari Kartini, Cut Nyak Dien, hingga perempuan adat dan aktivis masa kini sering direduksi menjadi cerita pelengkap.
Di Maluku Utara, narasi kemerdekaan perempuan lebih sunyi lagi. Perempuan Maluku Utara menghadapi realitas yang kompleks ketimpangan sosial, minimnya representasi politik, kemiskinan struktural, hingga kekerasan seksual yang terus berulang. Kemerdekaan, bagi banyak dari mereka, masih sebatas simbol belum menjadi pengalaman hidup yang nyata.
Kekerasan Seksual: Luka dalam Tubuh Kemerdekaan
Tak ada kemerdekaan bagi perempuan jika tubuh dan martabatnya terus menjadi sasaran kekerasan. Di Maluku Utara, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat, namun sebagian besar tenggelam tanpa penyelesaian hukum yang adil. Apa arti kemerdekaan bagi perempuan jika tubuh mereka masih menjadi ladang kekerasan, kehormatan mereka terus dilanggar, dan hak hidup mereka direnggut tanpa ampun. Di Maluku Utara, deretan kasus kekerasan seksual yang brutal bukan hanya mencoreng nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga mengoyak makna kemerdekaan itu sendiri.
Ketika bangsa ini merayakan 80 tahun kemerdekaannya dengan gegap gempita, perempuan terutama di daerah-daerah masih harus berjuang keras untuk sekadar merasa aman. Bagi mereka, kemerdekaan bukan tentang seremoni bendera atau lagu kebangsaan, tetapi tentang hak paling mendasar tidak diperkosa, tidak dibungkam, dan tidak dibunuh.
Salah satu kasus yang mencederai nurani publik terjadi di Halmahera Selatan siswi SMP diduga menjadi korban pemerkosaan secara bergantian oleh 16 orang pria dewasa sejak kelas 1 SD hingga kelas tiga SMP. Belum selesai luka itu, publik dikejutkan lagi oleh tragedi kemanusiaan yang menimpa Karya Listianty Pertiwi, atau Tiwi, seorang pegawai BPS Halmahera Timur. Ia diperkosa dan dibunuh oleh rekan kerjanya sendiri di rumah dinasnya tempat yang seharusnya menjadi ruang aman. Kedua kasus ini bukan kasus biasa. Ini adalah alarm keras bahwa kekerasan seksual telah menjadi penjajahan baru dalam tubuh bangsa yang mengaku telah merdeka. Jika anak perempuan dan perempuan dewasa bisa diperkosa, dibunuh, dan dilupakan, maka apa arti dari 80 tahun kemerdekaan yang terus kita rayakan?
Momentum 80 Tahun Kemerdekaan: Saatnya Radikal, Bukan Seremonial
Kita tidak bisa terus merayakan kemerdekaan dengan lomba makan kerupuk, sambutan gubernur dan bupati, dan pengibaran bendera, tanpa menyentuh luka terdalam bangsa ini ketidakadilan terhadap perempuan.
Di momen 80 tahun Indonesia merdeka, saatnya kita berhenti romantis terhadap sejarah dan mulai radikal dalam perubahan. Pemerintah daerah harus memastikan pengesahan dan implementasi Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, menyediakan layanan terpadu korban kekerasan, serta memastikan sekolah dan ruang publik menjadi tempat aman dan bebas dari kekerasan berbasis gender. Masyarakat sipil harus bergerak bersama mendidik anak sejak dini tentang kesetaraan, melawan budaya diam terhadap kekerasan, dan membuka ruang aman bagi perempuan untuk bersuara.
Merdeka yang Menghidupi Semua
Dari Kartini ke masa kini, kemerdekaan perempuan belum selesai. Kita tidak bisa bicara tentang Indonesia merdeka jika separuh rakyatnya masih dibungkam, ditindas, dan dilukai oleh sistem yang timpang.
Merdeka bukan hanya hak laki-laki. Merdeka adalah hak perempuan untuk hidup aman, bebas, dan bermartabat di Maluku Utara, dan di seluruh penjuru negeri. (*)