google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Daerah  

Sagu untuk Makanan Bergizi Gratis, Mungkinkah?

TERNATE, NUANSA – Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI) menggelar diskusi bertajuk “Sagu for MBG, Mungkinkah?”. Diskusi ini dilaksanakan di Bacamu Food Court Ternate, Maluku Utara, Sabtu (6/9) pekan lalu. Tema yang diangkat berkenaan dengan ditetapkannya sagu sebagai program strategis nasional dan program makan bergizi gratis (MBG) yang mengutamakan bahan baku lokal. Sagu yang sudah lama ditinggal oleh pemerintah daerah, menyebabkan kebun sagu luasannya semakin berkurang akibat alih fungsi lahan, baik untuk pembangunan, industri pertambangan, pencetakan sawah, gedung maupun program perkebunan kelapa.

Program MBG yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, diharapkan bisa menjadi ujung tombak bagi revitalisasi kebun sagu yang kurang menjadi perhatian dari pemerintahan pusat dan daerah. Banyak lahan sagu yang terlantar karena alih fungsi lahan sagu dan juga tumbuhnya kegiatan ekonomi baru akibat dari bertumbuhnya industri-industri pertambangan di Maluku Utara. Padahal sagu merupakan bahan pokok dan identitas masyarakat Maluku Utara.

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Program MBG yang dicanangkan oleh pemerintah pusat adalah peluang untuk pengembangan produk-produk pangan lokal yang murah dan mudah yang didapatkan oleh masyarakat. Seiring dengan hal tersebut maka posisi sagu sebagai bahan pangan lokal bisa dimodifikasi menjadi beras analog yang dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga program MBG dapat memperkuat posisi sagu mulai dari hulu sampai hilir. Program MBG tidak berarti mengeksploitasi kebun sagu, karena sifat sagu yang baru bisa dipanen setelah usianya minimal 8 tahun, sehingga pemetaan sagu dilakukan dengan prinsip keberlanjutan.

Sagu untuk MBG sangat layak apabila harga tepung sagu relatif murah yang bisa dicapai dengan penggunaan mesin produksi yang efisiensi dan produktivitas tinggi. Dan apabila dibentuk seperti beras pun, harga akhirnya tidak jauh berbeda dengan harga beras padi.

Dalam diskusi ini menghadirkan narasumber seperti Ketua STPK Banau Dr Ir Anto Hoda, Guru Besar UMMU Prof Ahmad Talib, Pegiat Sagu Halteng Subhan Somola, dan Penggiat MASSI sekaligus eks ASN Halbar Dr (cd) Rajah Indrayana.

Anto Hoda dalam paparannya menyatakan, sagu sebagai sumber karbohidrat, sangat layak untuk dimasukkan dalam program MBG, mengingat kandungan karbohidratnya tidak jauh berbeda dengan beras, bahkan mempunyai kelebihan karena kandungan serat pangan yang tinggi, tidak mudah dicerna sehingga menjadikan sagu tidak menyebabkan kenaikan gula darah sebagaimana beras padi.

Sementara itu, Subhan Somola berpendapat bahwa menjadikan sagu sebagai penyedia karbohidrat agar diatur sedemikian rupa, sehingga ketersediaan bahan baku industri kecil dapat bertahan dan tumbuh dengan baik. Hal ini disebabkan karena di beberapa tempat mulai kesulitan bahan baku akibat alih fungsi lahan sagu.

“Dan tradisi makan sagu yang sudah ada saat ini seperti mengonsumsi sagu dalam bentuk sagu lempeng dan papeda perlu dipertimbangkan juga kalau sagu akan dimasukkan dalam program MBG. Memang tidak harus setiap hari, setidaknya bisa berselang-seling dengan sagu dalam bentuknya beras atau mie,” ujar Subhan.

Merangkum dari tiga pendapat tersebut, Prof Ahmad yang sudah banyak meneliti masalah pangan dan pemberdayaan masyarakat, menekankan pada persoalan hulu sampai hilir tentang pengelolaan apabila sagu akan dimasukkan dalam program MBG. Sebab, menurutnya, harus memerlukan riset dan kajian yang mendalam tentang peran sagu sebagai salah satu bahan pengganti nasi.

“Perlu dilakukan diversifikasi produk sagu menjadi berbagai produk, misalnya dalam bentuk beras analog, serta produk turunan lain baik sebagai makanan berat maupun dalam bentuk cemilan yang berbahan dasar sagu. Perlu dihitung juga tentang daya dukung sumberdaya kebun sagu di Maluku Utara, jangan sampai di tengah jalan terhambat masalah ketersediaan bahan baku, mengingat luasan kebun sagu yang semakin lama semakin menurun,” ujarnya.

Di sisi lain, lanjut dia, belum ada upaya untuk melakukan reboisasi atau penanaman kembali. Pada prinsipnya, budaya makan sagu untuk masyarakat Maluku Utara bisa digalakkan kembali dengan program one day no rice. Program ini memungkinkan apalagi dengan beragamnya sumber bahan baku lain yang bisa disinergikan dengan ketersediaan bahan baku lokal.

“Dengan demikian, maka perlu dilakukan upaya yang signifikan untuk memperbaiki kualitas dan mutu produk yang menyamai beras, sehingga produk tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Asalkan dengan harga yang terjangkau dan dengan desain kemasan yang menarik konsumen serta keamanan produk tetap terjaga, daya tahannya semakin meningkat dan ketersediaannya tetap terjaga,” jelas Ketua Yayasan PUKAT Maluku Utara ini.

Para peserta sangat antusias dengan memberikan pertanyaan dan masukan tentang manfaat sagu sebagai bahan pangan yang sangat baik untuk kesehatan, karena tinggi serat kalsium dan zat besi. Sehingga ada usulan untuk membuat industri sagu di Maluku Utara untuk memenuhi kebutuhan sagu yang terus meningkat. Bahkan ada yang mengusulkan untuk membuat sagu papeda instan dengan petunjuk cara pembuatannya sehingga orang lain di luar Maluku Utara yang ingin mencoba sudah bisa melakukan sendiri.

Diskusi semakin asyik hingga larut karena disuguhi aneka masakan berbahan dasar sagu mulai dari jenis kue, beras analog dari sagu, mie sagu dan lainnya yang sangat menggugah selera. Dan rata-rata peserta menyatakan rasanya enak, lebih kenyang, bentuknya seperti beras padi, bahannya berasa lebih lunak dan agak kenyal, walaupun warnanya tidak sebagus beras padi, yang penting menyehatkan. (tan)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version