google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Demokrasi yang Dikhianati, Rakyat yang Menjadi Nadi Perlawanan

Faldi Ramli. (Istimewa)

Oleh: Faldi Ramli

_______________

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

SEJARAH bangsa ini selalu penuh dengan luka yang membekas di tubuh rakyatnya. Dari masa kolonial hingga era modern, demokrasi selalu diposisikan sebagai harapan yang ditunggu, namun berkali-kali pula harapan itu berubah menjadi kekecewaan. Demokrasi seharusnya lahir dari darah dan air mata rakyat yang memperjuangkan kemerdekaan, tetapi ironinya, setelah merdeka, rakyat yang sama justru sering dikorbankan demi kepentingan segelintir elit. Demokrasi menjadi semacam janji manis yang ditulis di kertas konstitusi, tetapi pengkhianatan terhadapnya berulang kali terjadi di ruang praktik kekuasaan. Dan dalam pengkhianatan itu, rakyat selalu hadir sebagai nadi yang berdenyut, menolak untuk mati, meski berkali-kali tubuh bangsa ini ingin dilumpuhkan oleh kekuasaan yang rakus.

Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi rakyat untuk menyuarakan pendapatnya, tetapi realitas hari ini menunjukkan bahwa ruang itu makin sempit. Ketika rakyat bersuara lantang, mereka kerap dihadapkan dengan stigma, ancaman, bahkan represi. Kritik dianggap ancaman terhadap stabilitas, padahal sejatinya kritik adalah bentuk cinta terhadap bangsa. Aparat hukum lebih sering diarahkan untuk menjaga kenyamanan elit ketimbang mendengarkan suara rakyat. Hal ini memperlihatkan wajah demokrasi yang pincang: demokrasi yang mengaku hidup, tetapi sebenarnya tengah sekarat. Di sinilah rakyat muncul sebagai nadi perlawanan, karena hanya melalui mereka demokrasi bisa kembali berdiri tegak.

Sejarah Indonesia mencatat banyak tokoh yang menjadi saksi sekaligus korban dari pengkhianatan demokrasi. Salah satunya adalah Munir Said Thalib, pejuang HAM yang berani menegakkan suara mereka yang dibungkam oleh negara. Munir tidak pernah takut mengungkap kebenaran, meski akhirnya ia harus membayar dengan nyawanya. Ia diracun di atas pesawat, simbol bahwa kekuasaan bisa sangat takut pada suara kebenaran seorang manusia biasa. Munir adalah cermin demokrasi yang terluka: ia menunjukkan bahwa tanpa keberanian untuk mengungkap pelanggaran, demokrasi hanya menjadi nama tanpa isi. Kisah Munir adalah pengingat bahwa rakyatlah yang menjadi benteng terakhir dari demokrasi, dan bahwa ketika demokrasi dikhianati, rakyat berhak melawan.

Selain Munir, sejarah juga mencatat nama Marsinah, seorang buruh perempuan yang memperjuangkan hak-hak pekerja di era Orde Baru. Marsinah adalah potret nyata rakyat kecil yang berani melawan ketidakadilan. Ia tidak punya kekuasaan, tidak punya panggung politik, tetapi suaranya mengguncang struktur penindasan yang mapan. Marsinah akhirnya ditemukan tewas mengenaskan, tubuhnya menyimpan luka sebagai bukti betapa berbahayanya menjadi rakyat yang berani melawan di negeri yang mengaku demokratis. Namun kematian Marsinah tidak pernah sia-sia; justru dari sana lahir gelombang solidaritas yang menyadarkan bangsa ini bahwa demokrasi tanpa keadilan sosial hanyalah ilusi.

Munir dan Marsinah adalah dua nama yang hidup dalam ingatan kolektif rakyat. Mereka adalah simbol bahwa demokrasi sejati lahir dari keberanian rakyat untuk melawan, bukan dari pidato manis para elit di panggung politik. Kisah mereka menegaskan bahwa setiap kali demokrasi dikhianati, selalu ada rakyat yang berdiri, meski sendirian, menolak tunduk pada kekuasaan. Mereka mengajarkan bahwa perlawanan bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan ketika kebebasan dikekang. Dari cerita mereka kita belajar bahwa demokrasi adalah ruang hidup, bukan sekadar prosedur. Dan jika ruang hidup itu dirampas, rakyat akan terus mencari jalan untuk merebutnya kembali.

Realitas demokrasi hari ini semakin memperlihatkan wajah pengkhianatan. Pemilu yang semestinya menjadi pesta rakyat, seringkali berubah menjadi arena transaksi politik, di mana uang lebih berkuasa daripada suara jujur rakyat. Media massa yang seharusnya menjadi ruang diskusi publik, terjebak dalam kepentingan modal dan pemiliknya. Sementara undang-undang yang semestinya dibuat untuk melindungi rakyat, justru sering dilahirkan untuk melayani kepentingan oligarki. Demokrasi yang demikian tidak lagi pantas disebut demokrasi; ia hanyalah topeng yang dipakai penguasa untuk menyembunyikan wajah otoriternya.

Namun, rakyat tidak pernah sepenuhnya menyerah. Mereka yang turun ke jalan, mengibarkan spanduk, berteriak dengan suara serak, adalah bukti bahwa nadi demokrasi masih berdenyut. Mahasiswa yang menduduki gedung parlemen, buruh yang mogok massal, petani yang menolak tanahnya dirampas, semuanya adalah perwujudan bahwa rakyat menolak menjadi penonton dalam panggung demokrasi yang dikhianati. Denyut perlawanan itu mungkin sering dipatahkan dengan pentungan dan gas air mata, tetapi ia tidak pernah bisa dimatikan. Sebab setiap kali satu suara dibungkam, seribu suara baru akan lahir.

Demokrasi yang dikhianati memang menyakitkan, tetapi ia sekaligus membangkitkan kesadaran. Rakyat belajar bahwa kebebasan tidak pernah diberikan secara cuma-cuma, ia harus terus diperjuangkan. Dari luka-luka sejarah, lahirlah tekad untuk terus berdiri. Munir mungkin sudah tiada, Marsinah mungkin sudah dibungkam, tetapi semangat mereka terus hidup dalam setiap langkah rakyat yang menolak tunduk. Mereka adalah nadi yang mengalirkan keberanian ke tubuh bangsa ini, mengingatkan bahwa demokrasi tanpa rakyat hanyalah jasad tanpa nyawa.

Kini, tantangan demokrasi semakin nyata. Oligarki menguat, hukum kehilangan wibawa, dan kebebasan sipil terancam. Tetapi rakyat tetap menjadi pusat perlawanan. Mereka sadar bahwa demokrasi bukan hadiah dari penguasa, melainkan hak yang melekat sejak lahir. Dan hak itu tidak bisa dicabut, meski dengan kekerasan, penjara, atau kematian. Selama rakyat masih berani bermimpi, demokrasi tidak akan pernah mati. Selama rakyat masih berani melawan, pengkhianatan tidak akan pernah menang.

Pada akhirnya, demokrasi yang dikhianati bukan hanya tentang institusi yang gagal, atau kebijakan yang timpang, tetapi tentang luka kolektif yang dialami rakyat. Setiap ketidakadilan yang dibiarkan, setiap suara yang dibungkam, dan setiap hak yang dicabut, adalah sayatan di tubuh bangsa ini. Namun luka itu bukan tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa tubuh ini masih hidup, masih bernafas, dan masih memiliki kekuatan untuk bangkit. Dari luka itu lahir perlawanan, dari penderitaan lahir solidaritas, dan dari pengkhianatan lahir kesadaran baru bahwa demokrasi sejati hanya bisa dijaga oleh rakyat itu sendiri.

Maka, jika hari ini demokrasi tampak terpenjara, jangan kita biarkan ia mati dalam kesepian. Rakyat harus terus menjadi nadi yang mengalirkan kehidupan. Mereka yang berjalan di jalanan dengan pekik perlawanan, mereka yang menulis kata-kata kritis meski terancam sensor, mereka yang menolak tunduk meski tubuhnya ditindas, adalah tanda bahwa demokrasi belum mati. Demokrasi mungkin dikhianati, tetapi ia tidak pernah padam, sebab rakyat adalah jantungnya. Dan selama jantung itu berdetak, demokrasi akan selalu menemukan jalannya kembali menuju cahaya kebebasan. (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version