google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Kasus Raya, Lemahnya Perlindungan Negara Terhadap Anak

Rahmania Mursid. (Istimewa)

Oleh: Rahmania Mursid

________________

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

MENTERI Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menyampaikan rasa prihatin mendalam atas meninggalnya seorang anak perempuan berusia 4 tahun, Raya (R), asal Sukabumi, Jawa Barat. Ia menilai tragedi ini merupakan peringatan serius bahwa hak-hak anak di negeri ini masih jauh dari kata terlindungi. Bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga pengasuhan, lingkungan, serta akses terhadap pelayanan dasar yang layak (Tribunnews.com, 21/8/2025).

Raya, putri dari pasangan Udin (32) dan Endah (38), pertama kali dibawa ke RSUD R Syamsudin SH pada 13 Juli 2025. Kondisinya kritis, tidak sadarkan diri, dan awalnya diduga mengalami komplikasi akibat TBC. Namun, selama perawatan, tim medis menemukan hal mengejutkan, yakni tubuh mungil Raya dipenuhi cacing, yang keluar dari tubuhnya dalam jumlah banyak. Tubuh kecil yang tak sadar, dengan alat bantu pernapasan, menjadi potret bisu ketidakadilan dan ketidakpedulian negara saat ini.

Temuan ini menunjukkan betapa buruknya kondisi kesehatan anak, yang sebenarnya bisa dicegah jika sejak awal ada pengasuhan dan layanan kesehatan dasar yang memadai. Dengan adanya peristiwa ini, seharusnya mampu membuka mata kita, betapa rapuhnya perlindungan negara terhadap anak-anak, terutama yang lahir dari keluarga miskin. Negara seolah lebih sibuk dengan urusan administrasi dibanding memastikan keselamatan nyawa seorang anak.

Hampir setiap tahun kita mendapatkan berita yang menyedihkan tentang anak-anak yang meninggal karena kurang gizi, stunting, ataupun penyakit lain yang sebenarnya mampu untuk diobati. Namun naasnya, persoalan utama selalu sama, yaitu kemiskinan, biaya kesehatan yang mahal, dan birokrasi yang berbelit-belit. Para penguasa di negeri ini acap kali berbicara perihal program perlindungan anak, baik itu kesehatan gratis maupun jaminan sosial.

Namun, faktanya di lapangan membuktikan masih banyak rakyat kecil yang tidak terjangkau oleh semua itu. Adapun data memperlihatkan ada jutaan anak di Indonesia hidup dengan kondisi rentan, tanpa akses gizi yang cukup, pendidikan yang memadai, maupun layanan kesehatan yang layak. Bagi rakyat kecil, mengurus administrasi seperti KK dan BPJS bukanlah perkara mudah.

Kesulitan mengurus BPJS, selain prosesnya yang panjang, terdapat berbagai syarat yang rumit. Akses untuk menjangkaunya juga terbatas. Akibatnya, kesulitan itu membuat mereka tertinggal dari sistem. Dengan demikian, ketika darurat kesehatan menimpa, saat itulah waktu berharga. Hidup seorang anak dapat berakhir hanya karena sebuah kertas.

Sistem sekuler-kapitalisme memosisikan kesehatan sebagai komoditas dan bukan termasuk hak dasar. Peraturan rumah sakit layaknya perusahaan yang mengejar keuntungan yang mana tanpa biaya, maka pelayanan terhenti ataupun tanpa dokumen, maka perawatan tertunda. Negara pun cenderung abai, alih-alih bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, justru berperan sebagai regulator yang memastikan mekanisme pasar tetap berjalan sebagimana mestinya. Negara hanya hadir sebatas slogan kosong, bukan sebagai perisai sejati bagi rakyatnya.

Jaminan nyata perlindungan anak dari keluarga bawah, rendah maupun tinggi terwujud hanya dengan sistem Islam.

Dalam sistem Islam, anak dipandang sebagai amanah besar yang harus dijaga bahkan wajib. Hak mereka atas kesehatan, pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan tidak boleh terlalaikan. Negara ditempatkan sebagai penanggung jawab utama dan bukan sekadar fasilitator. Rasulullah saw menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap jiwa yang dipimpinnya.

Adapun Khilafah Islamiyyah, kesehatan dipandang sebagai hak setiap rakyat tanpa terkecuali. Rumah Sakit tidak berjalan dengan logika profit, melainkan sebagai institusi pelayanan publik yang pembiayaannya diperoleh dari baitul mal. Dokter dan tenaga medis digaji oleh negara, sedangkan obat-obatan serta fasilitas medis disediakan untuk seluruh rakyat secara gratis. Tidak memandang adanya kelas ekonomi, setiap anak berhak mendapatkan layanan terbaik.

Selain itu, sistem Khilafah memastikan distribusi ekonomi yang adil sehingga orang tua tidak terjerat kemiskinan ekstrem. Negara mengelola sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, bukan menyerahkannya ke tangan swasta atau asing. Dengan begitu, rakyat memiliki akses hidup yang layak, termasuk pengasuhan dan lingkungan sehat bagi anak-anak.

Peristiwa Raya seharusnya mampu menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Selama kesehatan masih diperlakukan sebagai barang dagangan, selama birokrasi lebih penting daripada nyawa, tragedi serupa akan terus terulang. Umat perlu menyadari bahwa perubahan mendasar hanya akan lahir dari sistem yang menempatkan syariat Allah sebagai landasan. Khilafah Islamiyyah adalah jawaban untuk memastikan perlindungan sejati bagi anak-anak, yang bukan hanya slogan, melainkan kenyataan yang bisa dirasakan seluruh rakyat. Wallahualam bisawab. (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version