Opini  

Tumbuh Tak Lepas Akar (catatan dari taman The Ratan)

Oleh: Agus SB

——-

SORE ini, Sabtu 31 Mei ’25, langit tampak mendung di atas area taman The Ratan, pinggiran jalan raya, kawasan Sewon, Bantul, DI. Yogyakarta. Pengunjung masih dalam hitungan puluhan. Sebagian duduk di kedai kopi, sebagian di ruang pameran buku, beberapa di ruang pameran lukisan, beberapa sedang berdiskusi tentang novel. Menuju malam pengunjung makin ramai: banyak mahasiswa, ibu-ibu, bapak-bapak, anak anak usia SMA.

Keluar dari mushallah yang sederhana sore itu, saya melintas di depan sebuah rumah kayu kecil (gubuk) dengan pintu tertutup. Di dekat pintu tertutup itu, (di)tergantung sebuah sepeda tua, orang Yogya namakan sepeda Ontel. Di sampingnya,  tertulis “kampung Mataraman”. Entah, apakah mulanya ini adalah sebuah kampung kecil. Tak jauh dari rumah kayu kecil itu beberapa pohon kayu menjulang ke angkasa dan semak tipis dibiarkan di sekitarnya. Tak jauh dari pepohonan ini, terdapat beberapa kafe tanpa dinding, diselingi bunga bunga tanpa banyak warna warni.

Ikon sepeda dan rumah kayu kecil itu hadir sebagai masa lalu. Menjadi pemicu ingatan (remembrance) bagi orang Yogya, tentu saja, dan bagi orang luar seperti saya dapat terusik oleh kesan tradisionalnya. Relatif punya pengalaman berulangkali  dengan suasana Yogyakarta, kedua ikon itu tidak mengejutkan saya. Namun, sore ini keduanya terasa mengusik, menggiring ingatan saya kepada ikon-ikon masa lalu  dalam bentuk lain, pada lokasi-lokasi di mana saya pernah melihatnya; sketsa kota Yogya lama di sebuah hotel di kawasan Cokrodiningratan, tokoh protagonis, Punakawan; Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, pernah saya lihat dalam gambar lucu dan unik pada dinding pagar selatan kantor PDAM, kelurahan Cokrodiningratan, dimana pernah saya mukim beberapa waktu; alun-alun dan keraton kerajaan Mataram, Yogya, tak jauh dari kawasan nol kilometer merupakan ikon monumental mengenai kerajaan ini. Di sekitar alun-alun itu terdapat gedung arsitektur Jawa seperti Pendopo Lawas, dan beberapa bangunan serupa lain yang digunakan sebagai warung makan dan kafe. Pada malam-malam tertentu digelar musik live, konon diisi oleh para pengamen,  bergilir di antara mereka.

Masih banyak ikon serupa yang menghadirkan masa lalu kerajaan dan budaya Jawa-Yogyakarta. Terbesit dalam pikiran saya, orang Jawa dalam wilayah kerajaan Mataram- Yogyakarta ini enggan lepas dari “masa lalu” mereka.  Fakta apakah yang lebih jelas daripada ikon-ikon di atas yang menghadirkan dan mengingatkan masa lalu mereka?

Sisi lain dari kota Yogya ini dihadirkan oleh fakta dimana tak ada gedung perkantoran pemerintahan modern yang ditinggikan sehingga jika anda jalan jalan di kota ini, dengan mata yang tak awas, akan tak tampak gedung gedung pemerintahan. Gedung kantor gubernur dan gedung DPRD provinsi DI Yogya tak akan kelihatan di jalan Malioboro jika mata anda tidak dengan sengaja mencari-carinya. Seolah gedung gedung pemerintahan ini hanya bisa berdiri menyamai ketinggian atap Keraton Yogya yang tingginya tak seberapa. Ada kesan “kerendahan hati” yang diekspresikan cara mereka membangun gedung-gedung pemerintahan; tidak meninggikan dan menonjolkan sehingga dapat mendominasi gedung atau rumah warga.  Apa yang tetap dijaga sehingga menjadi “pengayom” adalah ikon-ikon yang mengekspresikan kehadiran masa lalu, sejarah, mereka.

Di bawah pohon, tepat di sebuah kedai kopi dimana saya menarikan dua jempol pada papan handphone sore ini, saya teringat pada pernyataan Laksono, antropolog UGM. Dalam pengantarnya pada buku Orang-Orang Kalah” karya Roem Toepatimasang dkk, ia mengatakan kurang lebih; “terdapat komunitas tertentu yang dapat mengontrol sejarah mereka”. Dan, itu adalah orang Jawa di Yogyakarta. Ikon ikon masa lalu yang mereka “hadirkan” pada hampir semua sudut kota dan di lorong lorong rumah warga, membenarkan pernyataan itu. Mereka dapat mengendalikan jalannya kebudayaan mereka yang menyejarah dalam mengarungi kehidupan, dalam proses kehidupan generasi sebelumnya dan generasi saat ini dan ke depan.

Ikon -ikon budaya itu senantiasa mengingatkan “muasal mereka” dan, dengan demikian, “siapa mereka”. Mereka senantiasa merekatkan diri pada tradisi dari masa lalu sehingga tidak kehilangan pijakan di sebuah dunia yang tunggang langgang, menggunakan frase kiasan Anthony Giddens, Runaway World, seperti truk yang berjalan dalam kecepatan tinggi namun tak tahu arah tujuan. Bahkan tak tahu ke mana akan pergi pada saat tak ada tujuan yang hendak dituju.

Adzan magrib mulai terdengar, dan gerimis mulai jatuh menimpa cabang pohon, menciprat ke handphone di tangan. Saya akan mengusaikan catatan ini, namun saya menangkap pesan dari citra taman The Ratan  sederhana ini,  bersama festival buku Jogja, dan ikon-ikon “masa lalu” yang sepintas dikemukakan di atas; mengakar pada muasal, tradisi dan sejarah, tidak sama artinya dengan hidup dalam tempurung, bukan juga sebuah sikap dan tindakan resisten terhadap perubahan dan menjadi konservatif. Nama-nama jalan raya dan aturan lalulintas jalan raya di Yogyakarta dituliskan dengan aksara Jawa, ‘hanacaraka’, berdampingan dengan aksara latin (bahasa Indonesia), mengekspresikan pesan simbolik: menjadi Jawa serentak menjadi Indonesia. Meletakkan “Indonesia” lebih dahulu kemudian “Jawa” dalam kalimat yang sama tidak mengubah pengertian atau makna apapun dari kalimat itu.

Di Maluku Utara? Manusianya tampak mengarungi kehidupan dengan cara mengambang: tidak pada akar budayanya yang menyejarah, juga tak tahu ke arah mana kelana hidup mereka.  Sorak-sorak bergembira mengenai kebudayaan (tradisi) dan sejarah semata ditujukan untuk tontonan wisata dengan kekosongan makna fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari. Barangkali arus perubahan hidup sehari-hari tengah membingungkan mereka. ***